Rekomendasi film bioskop akhir pekan ini: Analisis mendalam Nobody 2 karya Timo Tjahjanto, fenomena Demon Slayer: Infinity Castle, hingga drama viral La Tahzan. Temukan data box office, ulasan kritikus, dan mengapa film-film ini wajib ditonton.
INDONESIAONLINE – Layar perak Indonesia kembali bergejolak. Akhir pekan ini bukan sekadar jadwal rilis film baru, melainkan sebuah arena pertarungan antara waralaba raksasa global dan sinema lokal yang berani unjuk gigi. Dari debut sutradara Indonesia di panggung Hollywood, perang epik para pembasmi iblis, hingga drama keluarga yang diangkat dari kisah viral, penonton disuguhkan menu sinematik yang kaya dan beragam.
Fenomena ini menandakan pulihnya kepercayaan penonton pasca-pandemi, di mana studio besar tak lagi ragu melepas amunisi andalan mereka. Mari kita bedah lima film yang menjadi sorotan utama.
1. Nobody 2: Ketika ‘Sentuhan Midas’ Timo Tjahjanto Menggebrak Hollywood
Sekuel yang paling ditunggu penonton, Nobody 2, bukan hanya tentang kembalinya Hutch Mansell (Bob Odenkirk) sebagai pahlawan laga paruh baya. Film ini adalah tonggak sejarah bagi sinema Indonesia.
Kursi sutradara kini diduduki oleh Timo Tjahjanto, maestro laga brutal yang dikenal lewat The Night Comes for Us dan Sebelum Iblis Menjemput.
“Penunjukan Timo adalah langkah jenius dari Universal Pictures,” ujar Budi Dharmawan, pengamat film dan kritikus dari CinemaScope Weekly.
“Mereka tidak mencari sutradara Hollywood biasa. Mereka mencari visi. Timo membawa DNA kekerasan sinematik yang brutal, intens, dan sangat personal. Ini yang membuat John Wick sukses, dan Timo adalah salah satu pewaris takhta genre ini,” ulasnya dikutip dari berbagai media.
Data mendukung ekspektasi ini. Film pertamanya (2021) yang disutradarai Ilya Naishuller, meraup 57,5 juta USD di seluruh dunia dengan bujet hanya 16 juta USD, sebuah keuntungan signifikan.
Dengan Derek Kolstad (pencipta John Wick) kembali menulis naskah dan kehadiran nama-nama besar seperti Sharon Stone dan Christopher Lloyd, Nobody 2 diprediksi tidak hanya akan memuaskan dahaga penggemar, tetapi juga memperkenalkan gaya penyutradaraan Timo kepada audiens global.
2. Demon Slayer: Infinity Castle – Fenomena Anime yang Menolak Meredup
Jika ada waralaba yang mampu menandingi hegemoni Hollywood, itu adalah Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba. Film sebelumnya, Mugen Train (2020), secara fenomenal memecahkan rekor sebagai film Jepang terlaris sepanjang masa dengan pendapatan global melampaui $507 juta.
Kini, Infinity Castle Arc hadir sebagai pembuka babak final yang paling ditunggu. Film ini menjanjikan pertempuran kolosal antara Korps Pembasmi Iblis melawan Muzan Kibutsuji dan para Iblis Bulan Atas.
Dr. Alissa Fitri, seorang analis budaya pop dari Universitas Indonesia, menjelaskan daya tariknya. “Demon Slayer bukan sekadar animasi. Ini adalah fenomena kultural yang memadukan visualisasi Ufotable yang memukau, narasi emosional tentang keluarga dan pengorbanan, serta nilai-nilai bushido yang relevan. Infinity Castle Arc adalah puncaknya, setara dengan Avengers: Endgame bagi para penggemar anime,” ulasnya panjang lebar.
Penjualan tiket pra-penjualan di Jepang dan beberapa negara Asia Tenggara dilaporkan sudah memecahkan rekor, menandakan satu lagi tsunami box office akan segera tiba.
3. La Tahzan & Tinggal Meninggal: Wajah Ganda Sinema Lokal
Di tengah gempuran film impor, dua film Indonesia menawarkan narasi yang kontras namun sama-sama memikat. La Tahzan: Cinta, Dosa, Luka… garapan sutradara kawakan Hanung Bramantyo, mengangkat isu perselingkuhan, poligami, dan klenik yang diadaptasi dari kisah nyata viral.
Dengan jajaran bintang seperti Marshanda, Deva Mahenra, dan Ariel Tatum, film ini bermain di ranah drama emosional yang selama ini menjadi pasar kuat Hanung.
“Hanung tahu betul bagaimana meramu cerita yang dekat dengan masyarakat. Isu rumah tangga selalu punya audiens setia, dan dengan embel-embel ‘kisah nyata’, daya tariknya berlipat ganda,” kata Budi Dharmawan.
Di sisi lain, Tinggal Meninggal hadir sebagai kuda hitam dengan genre komedi gelap (dark comedy), sebuah genre yang masih jarang dieksplorasi sinema Indonesia. Kisah tentang seorang pria yang memalsukan kematian orang terdekat demi perhatian adalah premis segar yang berpotensi menjadi cult classic. Film ini menjadi bukti keberanian sineas muda untuk keluar dari formula komedi konvensional.
4. The Conjuring (Reissue): Nostalgia Horor Jelang Babak Akhir
Strategi Warner Bros. menayangkan ulang trilogi The Conjuring jelang rilis The Conjuring: Last Rites adalah langkah pemasaran yang cerdas. Ini bukan sekadar nostalgia, melainkan upaya untuk membangun kembali momentum dan mengingatkan penonton mengapa waralaba ini begitu dicintai.
The Conjuring Universe adalah salah satu waralaba horor tersukses dalam sejarah, dengan total pendapatan melampaui $2,2 miliar dari delapan filmnya.
Penayangan ulang film pertamanya (2013) yang disutradarai James Wan akan membawa kembali atmosfer horor klasik berbasis atmosfer dan jump scare yang efektif. Ini adalah kesempatan bagi generasi baru untuk merasakan teror ikonik Ed dan Lorraine Warren di layar lebar, sekaligus persiapan sempurna sebelum menyaksikan akhir perjalanan mereka (bn/dnv).