Saat 160 guru Sekolah Rakyat (SR) mundur nasional karena penempatan, SR di Kota Malang justru solid. Apa rahasia mereka menjaga stabilitas dan kualitas pendidikan?
INDONESIAONLINE – Kabar mengejutkan datang dari program pendidikan unggulan. Di tengah semangat mencetak generasi emas, Menteri Sosial Saifullah Yusuf membeberkan sebuah ironi: sebanyak 160 guru Sekolah Rakyat (SR) di berbagai daerah telah mengundurkan diri. Akar masalahnya klasik namun krusial, yakni penempatan yang terlalu jauh dari domisili.
Fenomena ini menjadi alarm keras bagi keberlanjutan program yang bertujuan memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan gratis dan berasrama ini. Ketika guru sebagai garda terdepan merasa tidak nyaman, bagaimana nasib para siswa yang menggantungkan asa pada mereka?
Namun, di tengah awan kelabu itu, secercah cahaya datang dari Kota Malang. Dua institusi, Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 16 dan Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 22, berdiri tegak tanpa kehilangan satu pun tenaga pendidiknya. Mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga menunjukkan sebuah model yang berhasil.
Lalu, apa resep rahasia Kota Malang?
Kunci Pertama: Faktor Kedekatan dan Stabilitas
Di SRMP 16 Kota Malang, suasana belajar mengajar setelah dua pekan berjalan tetap kondusif. Kepala Sekolah, Rida Afrilyasanti, memastikan stabilitas ini bukanlah kebetulan.
“Alhamdulillah, di SRMP 16 Malang tidak ada guru yang mengundurkan diri. Jumlah tenaga pendidik kami tetap 12 orang, termasuk guru agama,” ungkap Rida, Kamis (31/7/2025).
Kunci utamanya, kata Rida, adalah kebijakan penempatan. “Sebagian besar guru yang mengajar di sini berdomisili di Kota Malang. Ini sangat mendukung kelancaran aktivitas dan mengurangi beban psikologis mereka,” tambahnya.
Dengan rasio 12 guru untuk 100 siswa, SRMP 16 mampu menjalankan program matrikulasi literasi dan numerasi secara intensif. Program ini penting untuk memetakan kemampuan awal siswa yang berasal dari latar belakang beragam, sehingga intervensi pendidikan bisa lebih tepat sasaran.
Berdasarkan studi Bank Dunia (2018) tentang pendidikan di Indonesia, tingginya rotasi dan absensi guru seringkali disebabkan oleh jarak tempuh yang jauh ke sekolah. Guru yang tinggal dekat dengan sekolah cenderung memiliki tingkat kehadiran lebih tinggi dan kepuasan kerja yang lebih baik, yang secara langsung berdampak positif pada prestasi siswa.
Kunci Kedua: Solidaritas dan Kewajiban Sosial
Kondisi serupa juga ditemukan di SRMA 22 Kota Malang. Kepala Sekolah, Rahmah Dwi Nor Wita Imtikanah, dengan tegas menyatakan timnya solid. “Alhamdulillah tidak ada yang mengundurkan diri. Solidaritas tenaga pendidik kami luar biasa,” ujarnya.
Menurut Wita, menjadi guru di Sekolah Rakyat bukan sekadar mengajar di kelas. Ada kewajiban sosial yang lebih dalam untuk menumbuhkan empati dan karakter. Ini membutuhkan sinergi kuat antara guru, wali asrama, dan wali asuh.
“Fokus kami selama dua bulan matrikulasi ini adalah pembinaan karakter. Nilai-nilai kemandirian, kepemimpinan, dan kerja sama kami tanamkan agar siswa mampu beradaptasi dengan kehidupan berasrama,” jelas Wita.
Pendekatan holistik ini menciptakan ikatan yang kuat, tidak hanya antar siswa, tetapi juga di antara para pendidik itu sendiri. Mereka merasa menjadi bagian dari sebuah misi besar, bukan sekadar pekerja.
Malang sebagai Cerminan Solusi
Kasus di Kota Malang menawarkan sebuah cerminan penting bagi pengelola Sekolah Rakyat di daerah lain. Masalah pengunduran diri 160 guru bukanlah sekadar angka, melainkan sinyal bahwa kesejahteraan dan kenyamanan guru adalah fondasi utama dari sebuah program pendidikan yang sukses.
Keberhasilan Malang menunjukkan bahwa solusi bisa jadi sederhana namun sering diabaikan:
Rekrutmen Lokal: Memprioritaskan guru yang berdomisili dekat dengan lokasi sekolah.
Pembangunan Budaya Kerja: Menciptakan lingkungan kerja yang solid, suportif, dan berorientasi pada misi sosial.
Fokus Holistik: Memberi guru peran lebih dari sekadar pengajar, yakni sebagai pembentuk karakter yang membuat pekerjaan mereka lebih bermakna.
Sementara pemerintah pusat dan daerah mencari solusi untuk mengatasi krisis guru SR secara nasional, kisah dari SRMP 16 dan SRMA 22 di Kota Malang telah memberikan cetak biru yang jelas: sekolah yang kuat dibangun oleh guru yang betah dan bahagia (ir/dnv).