Ironi Senayan: Saat Aspal Membara, Ruang Rapat Tetap Sejuk

Ironi Senayan: Saat Aspal Membara, Ruang Rapat Tetap Sejuk
Demo masyarakat di depan gedung DPR RI (Ist)

Di tengah demo ricuh di luar Gedung DPR, agenda legislasi tetap berjalan normal. Artikel ini mengupas ironi dua dunia di Senayan, antara suara rakyat di jalanan dan kesibukan para wakilnya di ruang ber-AC.

INDONESIAONLINE – Bau gas air mata menyengat hingga radius ratusan meter. Raungan sirene dan teriakan massa bersahutan, menciptakan simfoni kekacauan di Jalan Gatot Subroto, depan Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (25/8/2025). Di luar pagar, aspal menjadi saksi bisu bentrokan antara ribuan pengunjuk rasa dengan aparat keamanan. Batu, botol, beterbangan, dibalas dengan semburan air dari mobil water cannon.

Namun, di balik dinding beton dan kaca tebal gedung kura-kura itu, dunia seolah berjalan dalam dimensi yang berbeda. Karpet tebal meredam kebisingan, pendingin udara menjaga suhu tetap nyaman, dan denting cangkir kopi menemani para legislator yang sibuk menunaikan tugas konstitusional mereka.

Ironi itu begitu tajam, membelah Senayan menjadi dua realitas: jalanan yang membara oleh amarah publik dan ruang rapat yang tetap sejuk oleh rutinitas kekuasaan.

Dua Dunia Terpisah Tembok Beton

Pengamatan di lokasi menunjukkan kontras yang luar biasa. Saat di luar ribuan orang dari berbagai elemen—mahasiswa, buruh, hingga aktivis—berteriak menolak sejumlah rancangan undang-undang (RUU) kontroversial seperti RUU TNI dan RUU Penyiaran, di dalam, agenda legislasi justru berjalan tanpa hambatan berarti.

Di salah satu ruang rapat, Komisi I DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) mengenai RUU Penyiaran. Narasumber dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) hadir memberikan masukan.

“Walaupun di luar suasana mungkin agak sedikit memanas, jangan sampai menyurutkan amanat kita dalam menunaikan tugas untuk bangsa dan negara,” ujar Wakil Ketua Komisi I, Dave Laksono, saat membuka rapat.

Pernyataannya, meski bernada menenangkan, secara tak langsung mengakui adanya dua dunia yang terpisah itu. Rapat tersebut bahkan dipercepat. Hanya berlangsung 30 menit, agenda ditutup tanpa sesi pendalaman dengan alasan keamanan.

“Mengingat situasi di luar, kalau rapat kita berkepanjangan, justru akan menyulitkan kita semua saat keluar dari kompleks parlemen,” kata politikus Partai Golkar itu, sebuah keputusan pragmatis yang menyoroti betapa tebalnya tembok pemisah antara legislator dengan konstituennya yang tengah bergolak di depan mata.

Mesin Legislasi yang Tak Berhenti

Di ruang lain, mesin legislasi terus berputar. Panitia Kerja (Panja) bahkan merampungkan pembahasan Revisi UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah untuk disahkan di Rapat Paripurna keesokan harinya. Sebuah efisiensi kerja yang mengagumkan, sekaligus memilukan, jika disandingkan dengan suara-suara sumbang yang tak kunjung didengar di luar sana.

Suara massa aksi bukan tanpa alasan. Salah satu pemicu utama adalah pembahasan RUU yang dinilai mengancam kebebasan sipil.

“RUU Penyiaran yang dibahas hari ini, misalnya, memuat pasal-pasal karet yang berpotensi membungkam jurnalisme investigasi. Ini adalah ancaman serius bagi demokrasi,” ujar Adnan Fauzi, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Demokrasi (LSPD), saat dihubungi terpisah. “Sementara di RUU TNI, ada kekhawatiran perluasan kewenangan militer ke ranah sipil yang bisa mengembalikan Indonesia ke era represif.”

Kekecewaan massa juga dipicu oleh isu kesejahteraan legislator yang dianggap tak sebanding dengan kinerjanya. Teriakan “Gaji Buta!” dan spanduk berisi rincian tunjangan anggota DPR menjadi pemandangan umum.

Berdasarkan data Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) pada awal 2025, total pendapatan (take-home pay) seorang anggota DPR bisa mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan, terdiri dari gaji pokok, aneka tunjangan (tunjangan jabatan, kehormatan, komunikasi intensif), hingga dana reses. Angka ini terasa kontras dengan kondisi ekonomi masyarakat yang masih berjuang pulih pasca-pandemi.

Alarm Krisis Kepercayaan

Situasi di Senayan pada 25 Agustus 2025 ini lebih dari sekadar unjuk rasa. Ini adalah manifestasi dari krisis kepercayaan publik yang semakin dalam terhadap lembaga legislatif.

Menurut survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia yang dirilis Juli 2025, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR berada di angka 48%, terendah di antara lembaga tinggi negara lainnya.

“Apa yang kita saksikan adalah gejala ‘gelembung parlemen’ atau parliamentary bubble,” jelas Dr. Arya Wisesa, pengamat politik dari Universitas Nasional. “Para wakil rakyat beraktivitas dalam sebuah ekosistem yang terisolasi dari denyut nadi masyarakat. Mereka sibuk dengan target legislasi dan agenda politik internal, sementara di luar, legitimasi mereka terus tergerus.”

Keputusan untuk mempercepat rapat demi menghindari demonstran, menurut Arya, adalah simbol paling nyata dari putusnya komunikasi. “Seharusnya, momen seperti ini menjadi kesempatan bagi anggota DPR, seperti yang diimbau pimpinan mereka, untuk turun dan berdialog. Bukan justru mempercepat rapat agar bisa pulang dengan aman,” pungkasnya.

Hari itu, saat asap gas air mata perlahan memudar di Senayan, satu pertanyaan besar menggantung di udara Jakarta: Untuk siapa sebenarnya lonceng legislasi di dalam gedung itu dibunyikan, jika suaranya tak lagi beresonansi dengan detak jantung rakyat di jalanan? Gedung parlemen tetap berdiri megah, namun fondasi kepercayaan yang menopangnya tampak semakin rapuh.