Ketua PW GP Ansor Jatim, Musaffa Safril, soroti ironi pendapatan cukai tembakau Rp 216,9 triliun berbanding terbalik dengan kesejahteraan petani. Negara berutang besar pada petani tembakau.
INDONESIAONLINE – Di tengah gemerlap angka penerimaan negara yang fantastis, sebuah ironi pahit menyelimuti nasib para penopang utamanya: petani tembakau. Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur, Musaffa Safril, dengan tegas mengingatkan pemerintah akan “utang besar” yang dimiliki bangsa ini kepada para petani tembakau, khususnya di Jawa Timur.
Ia menyoroti paradoks menyakitkan: negara menikmati triliunan rupiah dari cukai, namun kesejahteraan petani jauh dari kata layak.
Pada tahun 2024, sektor cukai hasil tembakau mencatatkan rekor penerimaan negara sebesar Rp 216,9 triliun. Angka ini secara mengejutkan melampaui pendapatan dari sektor migas maupun dividen BUMN.
“Tahun 2024, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau mencapai Rp 216,9 triliun. Angka yang mengungguli migas dan BUMN. Dan lebih dari separuhnya disumbang oleh Jawa Timur,” ungkap Musaffa, membeberkan fakta yang sulit dibantah.
Ia kemudian merinci perbandingan kontribusi ini:
-
Cukai Hasil Tembakau: Rp 216,9 triliun
-
Sumber Daya Alam (Migas dan Non Migas): Rp 207 triliun
-
Dividen BUMN: Rp 85,8 triliun
Data ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah. Namun, di balik angka-angka megah tersebut, Musaffa melihat realitas yang kontras. “Negara menikmati, tapi petani merana,” ujarnya dengan nada prihatin.
Menurutnya, kontribusi raksasa sektor tembakau ini tidak sebanding dengan tingkat kesejahteraan yang dirasakan oleh para petani. Kebijakan pemerintah selama ini dinilai belum sepenuhnya berpihak kepada mereka, padahal merekalah fondasi utama industri yang menyumbang ratusan triliun rupiah setiap tahun.
Ansor Bersama Petani
Melihat kondisi ini, GP Ansor Jatim menyatakan sikap tegas. “Ansor tidak boleh diam. Kita harus berdiri bersama para petani tembakau. Mereka adalah bagian penting dari kekuatan ekonomi bangsa, tapi sering kali paling terpinggirkan,” tegas Musaffa.
Sebuah perspektif menarik lainnya diungkapkan Musaffa terkait kontribusi riil warga Nahdliyin terhadap pendapatan negara ini. Ia menyoroti fakta bahwa perokok terbesar di Indonesia adalah warga Nahdliyin, termasuk di dalamnya kader Ansor.
“Kalau kita jujur, perokok terbesar di negeri ini adalah warga NU dan di dalamnya ada Ansor. Maka artinya, kita ini sebenarnya investor utama pendapatan negara dari cukai tembakau. Tapi ironisnya, petani yang menanam tembakau justru belum menikmati kesejahteraan yang layak,” ucapnya, menyiratkan adanya kesadaran kolektif yang harus dibangun.
Jihad Sosial Ansor: Memperjuangkan Kesejahteraan Petani
Lebih lanjut, Musaffa mengajak seluruh kader Ansor di Jawa Timur untuk menjadikan perjuangan ekonomi rakyat sebagai bagian integral dari gerakan keumatan dan kebangsaan mereka. Keberpihakan kepada petani, menurutnya, adalah manifestasi nyata dari pengamalan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) dalam memperjuangkan kemaslahatan sosial.
“Menolong petani, memperjuangkan kesejahteraan rakyat kecil itulah bentuk jihad sosial Ansor hari ini,” pungkas Musaffa.
Pernyataan ini bukan sekadar seruan, melainkan ajakan konkret bagi pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk melihat lebih dalam ironi di balik angka-angka besar pendapatan negara.
Nasib petani tembakau, yang menjadi tulang punggung perekonomian triliunan rupiah, harus segera menjadi prioritas utama demi terciptanya keadilan ekonomi yang merata (mba/dnv).
