Polemik internal PBNU berakhir damai. Gus Yahya dan Rais Aam sepakati islah dan muktamar bersama di Lirboyo. Simak fakta lengkap rekonsiliasi nu ini.
INDONESIAONLINE – Suhu politik di tubuh organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), akhirnya mendingin. Setelah melewati fase ketegangan internal yang menyita perhatian publik, Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, Jawa Timur, menjadi saksi sejarah tercapainya rekonsiliasi vital antara dua pucuk pimpinan PBNU.
Pada pertemuan bersejarah yang digelar Kamis (25/12/2025), Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar dan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sepakat mengakhiri perbedaan pandangan melalui jalan islah (damai). Kesepakatan ini melahirkan keputusan strategis: penyelenggaraan Muktamar ke-35 NU secara bersama-sama.
Kemenangan Tradisi Tabayyun
Dinamika yang terjadi di PBNU belakangan ini berakar pada perbedaan tafsir kewenangan dan kepatuhan terhadap Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Gesekan antara lembaga Syuriyah (pimpinan tertinggi/pengarah) dan Tanfidziyah (pelaksana) sempat memicu kekhawatiran di kalangan akar rumput (nahdliyin).
Namun, pertemuan di Lirboyo membuktikan ketangguhan tradisi musyawarah dan tabayyun para kiai. Keterlibatan para masyayikh sepuh dan jajaran Mustasyar PBNU menjadi kunci penyelesaian konflik ini.
Wakil Presiden RI periode 2019–2024, KH Ma’ruf Amin, yang hadir dalam kapasitasnya sebagai Mustasyar, memainkan peran sentral sebagai jembatan dialog. Kehadiran tokoh-tokoh senior ini menegaskan bahwa dalam tradisi NU, keutuhan jam’iyah (organisasi) selalu diletakkan di atas ego sektoral maupun personal.
Muktamar Sebagai Solusi Konstitusional
Kesepakatan untuk menggelar Muktamar ke-35 NU secara bersama bukan sekadar seremoni damai, melainkan langkah konstitusional untuk menata ulang organisasi. Muktamar ini diproyeksikan menjadi forum tertinggi untuk mengonsolidasikan barisan yang sempat merenggang.
“Alhamdulillah, hari ini kita semua menyaksikan peristiwa yang menyejukkan. Islah telah tercapai dan kami bersama Rais Aam sepakat bahwa jalan terbaik bagi jam’iyah adalah melalui Muktamar bersama,” tegas Gus Yahya dalam keterangan resminya di Jakarta, pasca-pertemuan.
Pernyataan ini memberikan kepastian hukum bagi struktur organisasi di bawahnya. Hingga muktamar digelar, status quo kepemimpinan tetap berlaku: KH Miftachul Akhyar tetap sebagai Rais Aam dan Gus Yahya sebagai Ketua Umum Tanfidziyah.
Implikasi Bagi Warga Nahdliyin
Islah di Lirboyo membawa dampak psikologis dan sosiologis yang besar. Pertama, Stabilitas Akar Rumput: Kesepakatan elite meredam potensi polarisasi di tingkat Pengurus Wilayah (PWNU) dan Pengurus Cabang (PCNU) yang sebelumnya terbelah menyikapi konflik pusat.
Kedua, Fokus Program: Dengan selesainya polemik kepemimpinan, PBNU dapat kembali fokus pada program-program kemaslahatan umat, pendidikan, dan ekonomi keumatan yang sempat terganggu fokusnya. Ketiga, Penguatan Marwah Organisasi: Penyelesaian konflik secara internal tanpa intervensi pihak luar menunjukkan kemandirian dan kedewasaan politik PBNU.
Sebagai tindak lanjut konkret, PBNU segera membentuk panitia bersama (Steering Committee dan Organizing Committee) yang merepresentasikan kedua belah pihak untuk mempersiapkan Muktamar ke-35.
“Kita akan bersama-sama menyukseskan forum tertinggi jam’iyah ini secara damai dan bermartabat,” pungkas Gus Yahya.
Peristiwa Lirboyo di penghujung tahun 2025 ini akan dicatat sebagai momen krusial di mana kebijaksanaan para kiai sepuh kembali menyelamatkan perahu besar Nahdlatul Ulama dari gelombang perpecahan (ina/dnv).
