Israel Gempur Jantung Militer Suriah di Tengah Bentrokan dengan Kelompok Druze

Israel Gempur Jantung Militer Suriah di Tengah Bentrokan dengan Kelompok Druze
Pasukan keamanan Suriah mengamankan daerah selama bentrokan di Kota Sweida pada hari Rabu. (foto: Sam Hariri/AFP/Getty Images)

INDONESIAONLINE –  Suriah semakin diliputi ketegangan  setelah Israel melancarkan serangan udara ke gedung Kementerian Pertahanan Suriah di Damaskus, Rabu (16/7/2025). Serangan ini terjadi di tengah bentrokan mematikan antara pasukan pemerintah Suriah dan kelompok pejuang Druze di wilayah selatan negara itu.

Menurut keterangan pejabat Suriah, dua kali serangan udara menghantam gedung kementerian hingga menyebabkan empat lantai bangunan runtuh dan merusak seluruh fasad. Satu orang dilaporkan tewas dan 18 lainnya luka-luka akibat serangan tersebut.

Ini menjadi serangan pertama Israel terhadap Damaskus sejak Mei lalu. Ini juga hari ketiga berturut-turut Israel melancarkan serangan udara terhadap militer Suriah.

Juru bicara militer Israel menyebut serangan ini sebagai pesan langsung kepada Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa terkait konflik yang sedang berlangsung di Sweida.

Israel juga dilaporkan menghancurkan tank-tank milik Suriah pada awal pekan ini dan melanjutkan serangkaian serangan drone yang menewaskan sejumlah tentara. Pemerintah Israel menyatakan tidak akan membiarkan militer Suriah dikerahkan di wilayah selatan dan berkomitmen untuk “melindungi komunitas Druze” dari rezim Damaskus.

Namun klaim tersebut ditolak oleh sebagian besar masyarakat Druze, yang khawatir dukungan Israel hanya akan memperburuk kondisi mereka dan menjadikan mereka target sebagai “proxy asing”.

Sementara itu, bentrokan yang terjadi antara pasukan pemerintah, suku Arab Badui, dan pejuang Druze telah menewaskan lebih dari 250 orang hanya dalam empat hari, menurut laporan dari Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) yang berbasis di Inggris.

Pemerintah Suriah bersama salah satu dari tiga pemimpin spiritual Druze sempat mengumumkan gencatan senjata pada Rabu (16/7). Namun kelangsungan kesepakatan itu diragukan karena pemimpin spiritual lain, Sheikh Hikmat al-Hijri, menolak dan bersumpah akan terus melawan pemerintah yang ia sebut sebagai “gerombolan bersenjata”.

Sebelumnya, gencatan senjata pada Selasa (15/7) juga gagal bertahan lama. Dewan Keamanan PBB dijadwalkan menggelar pertemuan pada Kamis (17/7) untuk membahas situasi genting ini. Kekerasan yang memicu konflik sektarian antara pasukan pemerintah yang mayoritas Sunni dan komunitas Druze yang minoritas semakin mengkhawatirkan.

Dalam peristiwa sebelumnya pada Maret lalu, serangan dari sisa-sisa rezim Bashar al-Assad terhadap pasukan keamanan menewaskan lebih dari 1.500 orang, sebagian besar dari komunitas Alawi yang juga merupakan minoritas di Suriah.

Ketegangan terbaru ini dipicu oleh insiden perampokan terhadap seorang warga Druze oleh anggota suku Badui di jalan utama selatan Damaskus. Peristiwa ini memicu aksi balas dendam dan memunculkan siklus kekerasan antarkelompok.

Milisi-milisi Druze pun bersumpah akan mencegah masuknya pasukan pemerintah ke wilayah Sweida dan mulai menyerang konvoi tentara Suriah. Saat pasukan pemerintah berhasil memasuki Sweida pada Minggu lalu, muncul laporan pelanggaran hak asasi manusia yang mengejutkan.

Selasa siang, sekelompok pria bersenjata menyerbu aula resepsi milik keluarga Radwan di Sweida dan membantai 15 pria tak bersenjata serta satu wanita, menurut kesaksian tiga anggota keluarga kepada The Guardian. SOHR mencatat jumlah korban sebanyak 12 orang.

“Saya kehilangan sembilan kerabat dan teman dekat. Saya sangat sedih. Tidak ada senjata di dalam aula itu, bukan markas militer,” kata Maan Radwan, seorang warga London berusia 46 tahun yang keluarganya menjadi korban.

Rekaman video menunjukkan tubuh-tubuh tak bersenjata tergeletak di genangan darah. Keluarga korban mengklaim tentara berseragam militer menghalangi akses ambulans ke lokasi, yang mereka curigai sebagai upaya agar korban luka meninggal karena kehabisan darah.

“Kami tidak tahu siapa yang dari intelijen, siapa jihadis, siapa orang Badui. Mustahil membedakan siapa yang membunuh kami,” kata seorang guru berusia 52 tahun, kerabat keluarga Radwan, dikutip The Guardian.

Seorang dokter bedah di rumah sakit nasional Sweida mengatakan tubuh para korban menunjukkan luka tembak dari jarak dekat. Ia menambahkan bahwa dirinya mengenal banyak dari korban secara pribadi.

Presiden Ahmed al-Sharaa mengeluarkan pernyataan pada Rabu (16/7) yang mengutuk kekejaman tersebut. “Tindakan kriminal dan ilegal ini tidak dapat diterima dalam keadaan apa pun dan bertentangan dengan prinsip dasar negara Suriah,” katanya. Ia berjanji para pelaku akan dihukum.

Utusan khusus AS untuk Suriah, Tom Barrack, menyerukan untuk menghentikan kekerasan, mengusut pelanggaran HAM, dan melindungi semua warga Suriah. Namun belum ada kejelasan siapa pihak yang paling bertanggung jawab atas kekerasan terhadap warga sipil.

Di media sosial, dua anggota pasukan pemerintah memicu kemarahan setelah memposting ujaran kebencian sektarian terhadap komunitas Druze. Salah satu dari mereka bahkan merekam dirinya sedang memegang parang sambil berkata, “Kami akan membagikan bantuan,” kemudian merobek foto pemimpin spiritual Druze dan menginjaknya.

“Kami datang dengan membawa sektarianisme. Jika Tuhan memberimu kemenangan, tak seorang pun bisa mengalahkanmu,” ucapnya dalam video.

Kementerian Pertahanan Suriah mengklaim tetap mematuhi aturan keterlibatan untuk melindungi warga sipil. Namun warga di Kota Sweida mengaku terjebak di rumah mereka karena pertempuran yang belum mereda. Listrik dan pasokan dasar terputus.

Seorang guru bahasa Inggris berusia 52 tahun menceritakan bahwa ia melihat tetangganya ditembak oleh penembak jitu, tapi tak ada yang berani mengambil jenazahnya. Sementara warga lain, pria 31 tahun, menyaksikan toko di bawah rumahnya dibakar oleh pria bersenjata yang menyebut warga Druze sebagai “babi”.

Pembunuhan masal di Sweida memicu kemarahan komunitas Druze di seluruh Timur Tengah. Sejumlah warga Druze di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel bahkan nekat menyeberangi perbatasan ke Suriah sebelum akhirnya diamankan kembali oleh militer Israel.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengimbau warga untuk tidak melintasi perbatasan. “Jangan menyeberangi perbatasan. Anda mempertaruhkan nyawa Anda; bisa saja dibunuh, disandera, dan menghambat operasi IDF,” katanya.

Padahal, sebelumnya hubungan Israel dan Suriah dikabarkan mulai mencair dengan sejumlah pertemuan keamanan dan koordinasi militer. Namun sejak kejatuhan rezim Assad, militer Israel telah meluncurkan ratusan serangan udara dan menduduki sebagian besar wilayah selatan Suriah. (bn/hel)