Jaranan Jur Ngasinan: Warisan Budaya Blitar Raih Pengakuan Nasional

Jaranan Jur Ngasinan: Warisan Budaya Blitar Raih Pengakuan Nasional
Kesenian tradisional Jaranan Jur Ngasinan resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2024 (youtube)

INDONESIAONLINE – Kabupaten Blitar kini beroleh kebanggaan. Kesenian tradisional Jaranan Jur Ngasinan resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2024. Pengakuan ini bukan hanya sebuah prestasi, tetapi juga sebuah pengukuhan atas nilai historis, religius, dan sosial yang terkandung dalam kesenian berusia lebih dari seabad ini.

Berasal dari Desa Sukorejo, Kecamatan Sutojayan, Jaranan Jur Ngasinan – yang awalnya bernama Jaranan Ngasinan, merujuk pada mata air asin di desa tersebut – telah melewati perjalanan panjang.

Berdiri sejak tahun 1921, perubahan nama menjadi Jaranan Jur pada tahun 1949 berkaitan erat dengan penemuan Gong Kyai Pradah, sebuah pusaka keramat yang konon berasal dari masa Kerajaan Mataram Islam.

Legenda Gong Kyai Pradah dan kaitannya dengan Jaranan Jur begitu kuat. Pusaka yang dulunya dikenal sebagai Bendil Kiai Bicak ini, dipercaya memiliki kekuatan magis dan pernah digunakan oleh Panembahan Senopati.

Setelah melalui berbagai perjalanan, termasuk dibawa oleh Pangeran Prabu ke Lodoyo, gong ini akhirnya ditemukan kembali pada tahun 1949 di rumah Mbok Rondo Dadapan, dalam sebuah peristiwa yang dibalut kisah mistis. Konon, petunjuk penemuan gong tersebut didapat melalui mimpi dan dihubungkan dengan Dewi Sekartaji yang menuntun kepada lokasi terkuburnya.

Uniknya, gong tersebut hanya dapat dipindahkan melalui arak-arakan Jaranan Ngasinan, sehingga menandai perubahan nama menjadi Jaranan Jur. Sejak saat itu, Gong Kyai Pradah diarak menuju Sanggar Pusaka dengan iringan Jaranan Jur.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Blitar Suhendro Winarso menekankan nilai historis dan spiritual yang terkandung dalam Jaranan Jur. “Kesenian ini adalah simbol kejujuran, sesuai dengan arti kata ‘Jur’. Para pemainnya pun harus menjunjung tinggi nilai ini, dan tidak boleh terlibat dalam perilaku negatif,” tegasnya.

Lebih dari sekadar pertunjukan, Jaranan Jur memiliki peran sakral sebagai pengiring wajib ritual Siraman Gong Kyai Pradah yang diadakan dua kali setahun di Alun-Alun Lodoyo. Ritual ini menarik ribuan pengunjung yang berebut air siraman yang dipercaya membawa berkah.

Selain itu, Jaranan Jur juga tampil dalam acara Bersih Desa Sukorejo dan berbagai hajatan masyarakat, tanpa meminta bayaran, hanya menerima sesaji sebagai bentuk penghormatan.

Perjalanan menuju pengakuan sebagai WBTB Indonesia bukanlah hal yang mudah. Pemkab Blitar telah melalui proses panjang dalam mendokumentasikan dan mengajukan bukti keaslian Jaranan Jur.

Menurut Suhendro, penghargaan ini memberikan perlindungan terhadap kesenian ini dari klaim budaya lain, sekaligus memperkuat identitas Kabupaten Blitar sebagai pusat seni tradisional Jawa Timur.

“Ini seperti hak paten budaya, sebuah kebanggaan dan tanggung jawab besar untuk terus melestarikannya,” tambahnya.

Jaranan Jur Ngasinan merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah Blitar, menghubungkan narasi panjang dari Ki Ageng Selo hingga Pangeran Prabu, dan merefleksikan transformasi budaya dari masa Hindu-Buddha ke Islam di Jawa. Kini, dengan sekitar 20 pelaku seni, Jaranan Jur menghadapi tantangan globalisasi dan modernisasi.

Namun, penghargaan WBTB memberikan harapan baru bagi kelangsungan kesenian ini. Latihan rutin dan partisipasi dalam berbagai acara seni terus dilakukan untuk menjaga eksistensi Jaranan Jur.

“Ini adalah warisan leluhur yang harus kita jaga, bukan hanya untuk kebanggaan, tetapi juga untuk identitas kita sebagai orang Blitar,” pungkas Suhendro (ar/dnv).