Di Pasuruan 1706, kisah Untung Surapati mencapai puncaknya. Jasadnya yang diburu VOC menolak dilalap api, meninggalkan sumpah abadi yang menggetarkan kolonialisme. Selami babak terakhir sang pemberontak legendaris yang bahkan kematian pun tak mampu menaklukkannya.
INDONESIAONLINE – Pasuruan, 1706. Udara pesisir timur Jawa terasa berat, bukan hanya oleh garam laut, tetapi oleh aroma mesiu dan kematian. Di sebuah loji yang baru dibangun, para serdadu VOC berkumpul dengan wajah tegang.
Di hadapan mereka, kobaran api menjilat ganas, melahap tumpukan kayu yang disiram minyak. Namun, di tengah neraka kecil itu, sesuatu yang ganjil terjadi. Sesosok jasad duduk tegak, tak tersentuh. Kulitnya menghitam legam, namun dagingnya menolak menjadi abu.
Itulah jasad Raden Adipati Wiranegara, sang Untung Surapati. Bahkan setelah nyawanya lepas, tubuhnya masih berperang, menolak tunduk pada api kompeni.
Bagi Tuan Kenol, komisaris VOC, pemandangan itu adalah teror sunyi. Pria yang telah mereka buru hingga akhir hayatnya kini menghantui mereka dari alam baka. Ini bukan lagi sekadar penaklukan; ini adalah pertarungan melawan mitos.
Senja di Medan Bangil: Duel Dua Dunia
Kisah ini tak dimulai dari api, melainkan dari debu dan darah di Bangil beberapa waktu sebelumnya. Di sanalah takdir Surapati, budak Bali yang menjelma menjadi adipati paling ditakuti, menemui puncaknya.
Selama dua dekade, Pasuruan adalah duri dalam daging bagi VOC dan sekutunya, Mataram Kartasura. Surapati, dengan pasukan elite Bali-Jawa-nya, adalah simbol perlawanan paling keras kepala.
Maka, koalisi raksasa pun dibentuk. Pasukan Kartasura pimpinan Pangeran Purbaya, armada Madura di bawah Panembahan Mandura, prajurit Surabaya, dan tentu saja, meriam-meriam VOC. Mereka datang dari segala arah, mengepung Pasuruan bagai jaring laba-laba yang siap menjerat banteng terluka.
Di tengah kepungan itu, Surapati tak gentar. Di atas kuda kebesarannya, Kyai Papeling, ia memimpin langsung dari garis depan. Babad Kartasura melukiskan amukannya bagai badai. Peluru berdesing, namun tak satu pun menembus kulitnya yang konon kebal. Ia menerjang, kerisnya memanen nyawa, membuat barisan kompeni goyah.
Lalu muncullah Kapten Pabeber, perwira Belanda yang reputasinya setara dengan Surapati. Duel itu tak terhindarkan. Bukan sekadar adu senjata, melainkan benturan dua peradaban.
“Siapakah engkau, perwira gagah ini?” seru Pabeber.
“Aku Adipati Wiranegara! Raden Surapati—kepala yang pernah merusak Batavia!” balas Surapati, suaranya menggelegar.
Pedang Eropa beradu dengan keris Jawa. Dalam pergulatan sengit, keduanya sama-sama tak terluka oleh senjata tajam. Mereka membuang senjata, bertarung dengan tangan kosong hingga bergumul di tanah. Pabeber berhasil menggigit leher Surapati, namun sang adipati membalas dengan hunjaman belati tersembunyi yang merobek dada lawannya. Kapten Pabeber tewas seketika.
Kemenangan itu diraih dengan harga mahal. Saat senja turun, sebuah peluru aneh—tin-tak, peluru emas sebesar jeruk manis—ditembakkan kompeni. Peluru itu menghantam pinggang kiri Surapati. Tak melukai kulit, namun getarannya meremukkan organ dalamnya. Luka itulah yang memulai akhir dari segalanya.
Wasiat di Ujung Ajal: Sumpah yang Mengikat Generasi
Surapati mundur, menahan sakit yang menggerogoti dari dalam. Di pesanggrahan, dikelilingi putra dan para panglimanya, ia tahu waktunya telah tiba. Dengan napas yang memburu, ia tak mewariskan harta, melainkan sebuah sumpah yang membara:
“Dengarlah, putra dan cucuku. Sakitku ini kehendak Tuhan. Tapi pesanku adalah takdir yang kalian genggam. Jangan sekali-kali kalian berbaik-baik dengan kompeni Belanda. Jangan ada keturunanku yang bersetuju dengan mereka. Jika dilanggar, niscaya celaka hidupmu. Dan bila aku mangkat, ratakan kuburku dengan tanah. Jangan beri nisan, jangan beri tanda. Biarkan makamku menjadi rahasia abadi.”
Itu bukan sekadar wasiat, melainkan kutukan bagi para pengkhianat dan api semangat bagi para penerus. Surapati tak ingin jasadnya menjadi trofi kemenangan bagi musuh.
Pasuruan akhirnya jatuh. Para putranya terdesak mundur ke Malang. Di pengungsian itulah, sang banteng Pasuruan mengembuskan napas terakhirnya. Jasadnya dimakamkan diam-diam, persis seperti wasiatnya.
Penghormatan Palsu dan Api yang Dikutuk
Namun, VOC tak pernah puas. Misteri makam Surapati menjadi obsesi. Tuan Kenol menggelar sayembara: sekantung uang reyal bagi penunjuk lokasi kubur. Iman rakyat yang lelah perang akhirnya luluh oleh kilau perak. Seorang warga berkhianat.
Ketika makam digali, para serdadu terperangah. Bau harum bunga rampai menyeruak dari dalam tanah. Jasad Surapati ditemukan utuh, seakan baru saja tertidur. Ketakutan bercampur kekaguman menyelimuti pasukan Belanda.
Mereka mengusung jasad itu, mendudukkannya di kursi kehormatan, dan memberinya penghormatan militer dengan tembakan meriam. Satu per satu, para perwira menjabat tangan jasad dingin itu.
“Hai Surapati,” kata mereka, “Engkau prajurit sejati. Musuh abadi kompeni.”
Penghormatan itu hanyalah topeng. Setelah ritual aneh itu selesai, perintah sesungguhnya datang: bakar jasad itu hingga tak bersisa. Mereka takut, bahkan pada mayatnya sekalipun. Namun, seperti yang disaksikan Tuan Kenol, api pertama gagal. Jasad itu melawan.
Murka, Tuan Kenol memerintahkan jasad itu disiram minyak dan alkohol. Api kedua berkobar lebih dahsyat, dan kali ini, barulah tubuh sang pahlawan luluh menjadi abu. Abu itu kemudian ditanam di sebuah loji yang dijaga meriam, sebuah penjara bahkan setelah kematian.
Mereka berhasil menghancurkan jasadnya. Tapi sumpah Surapati telah terucap, meresap ke dalam tanah Jawa dan mengalir dalam darah keturunannya. VOC boleh saja memenangkan perang, tetapi mereka kalah dalam pertarungan melawan legenda. Hingga kini, nama Untung Surapati tetap hidup—bukan sebagai adipati yang kalah, melainkan sebagai roh perlawanan yang apinya tak pernah padam.