Telusuri kisah We Tenriolle, ratu Tanette yang visioner (1856-1910) dengan makam mirip bangsawan Eropa. Mengungkap perannya dalam kemajuan pendidikan dan sastra Bugis di tengah intrik kekuasaan kolonial.
INDONESIAONLINE – Di jantung Pancana, Tanette, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, berdiri sebuah makam yang memecah keheningan tradisi. Bukan sekadar gundukan tanah biasa, makam ini menyerupai bangunan kecil megah, mengingatkan pada peristirahatan terakhir para pembesar Eropa.
Namun, di baliknya, terbaring bukan seorang pejabat kolonial, melainkan seorang perempuan. Dia adalah Datu Tanette yang berkuasa selama lebih dari setengah abad, seorang visioner yang jauh melampaui zamannya: We Tenriolle.
Kisah We Tenriolle tak bisa dilepaskan dari pendahulunya, sang nenek, La Rumpang Megga Dulung Lamuru, yang memerintah Tanette dari 1840 hingga 1855. La Rumpang sendiri naik takhta menggantikan La Patau (1829-1840) yang kehilangan kekuasaannya setelah menentang pemerintahan Hindia Belanda.
Dalam intrik kekuasaan yang kompleks, La Rumpanglah yang mengusulkan cucunya, We Tenriolle, untuk menjadi pemimpin Tanette, sebuah langkah yang menyingkirkan cucu laki-lakinya, La Makkawaru, yang terjerat candu judi dan madat.
We Tenriolle, lahir dengan nama Siti Aisyah, putri dari pasangan La Tunampare’ alias To Apatorang (Arung Urung) dan Colliq Pudjie (Arung Pancana), resmi naik takhta pada tahun 1856.
Sebuah catatan dari D.A.F. Brautigam dalam “Nota Betreffende Het Zelfbestuurend landschap Tanette” menegaskan pengangkatan ini. Meski Colliq Pudjie, ibunya sendiri, sempat menentang, pemerintah kolonial justru memberikan restu, sebuah ironi yang memaksa sang ibu untuk pindah ke Makassar.
Pada masa pemerintahannya yang panjang, yakni dari tahun 1856 hingga 1910, Kerajaan Tanette adalah entitas yang terdiri dari sejumlah banua (daerah) semi-otonom dan beberapa palili atau daerah vasal, seperti dicatat oleh Harsya Bachtiar dalam esainya “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” yang termuat dalam “Satu Abad Kartini”.
Sebuah gambaran geografis dan demografis Tanette diungkapkan oleh J.A. Bakkers dalam “Tanette en Barroe (Celebes)”, bahwa luas kerajaan ini diperkirakan mencapai 61.180 hektare dengan populasi sekitar 13.362 jiwa pada tahun 1861.
Sang Ratu Modern di Mata Kolonial
Berbeda dari citra tradisional penguasa perempuan pada masanya, We Tenriolle justru dikenal modern dan dihormati oleh pihak Belanda, bahkan akrab disapa “Tante Netje“. Ia bukan sekadar ratu simbolis.
We Tenriolle adalah pemimpin visioner yang membawa inovasi. Salah satu bukti kemodernannya adalah upayanya mendirikan sekolah campuran untuk anak laki-laki dan perempuan di wilayahnya sekitar tahun 1908, sebuah langkah revolusioner di tengah dominasi patriarki dan keterbatasan akses pendidikan.
Selain fokus pada pendidikan, We Tenriolle juga mewarisi minat besar ibunya, Colliq Pudjie, dalam kesusastraan kuno Bugis. Keduanya dikenal sebagai pelestari dan pengembang epos “La Galigo”, sebuah mahakarya sastra dunia yang kini diakui oleh UNESCO. Peran mereka tak hanya memperkenalkan, tetapi juga menjaga warisan budaya Bugis yang tak ternilai harganya.
Setelah 54 tahun memimpin, We Tenriolle turun takhta pada tahun 1910 dan menghabiskan masa tuanya hingga meninggal dunia pada tahun 1919. Jenazahnya dimakamkan di Pancana, di makam yang kini menjadi penanda keunikan dan kebesaran seorang ratu.
Makam besar bergaya Eropa itu, kini menjadi monumen bisu yang mengisahkan kembali jejak seorang perempuan Bugis yang tak hanya berkuasa, tetapi juga meninggalkan warisan kemajuan dan kearifan budaya.
Referensi:
-
Brautigam, D.A.F. Nota Betreffende Het Zelfbestuurend landschap Tanette.
-
Bachtiar, Harsya. “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” dalam Satu Abad Kartini.
-
Bakkers, J.A. Tanette en Barroe (Celebes).
-
Sumber-sumber sejarah lokal Kabupaten Barru dan catatan kolonial tentang Kerajaan Tanette.
-
UNESCO. La Galigo Epic.
