Beranda

Jebol Tembok Griya Shanta: Solusi Macet Malang atau Ancaman Warga?

Jebol Tembok Griya Shanta: Solusi Macet Malang atau Ancaman Warga?
Gambar hanya ilustrasi dari artikel (io)

Polemik perobohan tembok Perumahan Griya Shanta Malang memicu konflik sosial. Analisis mendalam benturan kepentingan antara solusi macet jalan tembus vs privasi warga.

INDONESIAONLINE – Puing-puing reruntuhan tembok di perbatasan RW 9 dan RW 12 Kelurahan Mojolangu, Kecamatan Lowokwaru, bukan sekadar sisa material bangunan yang hancur. Di balik debu bata dan semen yang berserakan di Perumahan Griya Shanta tersebut, tersimpan bara konflik sosial yang kini memanas di tengah dinginnya udara Kota Malang.

Apa yang bermula dari rencana tata kota untuk mengurai kemacetan, kini bermetamorfosis menjadi gesekan horizontal antarwarga yang menguji ketegasan Pemerintah Kota (Pemkot) Malang.

Polemik tembok Griya Shanta ini menjadi potret mikrokosmos dari tantangan besar pembangunan urban di Indonesia: benturan keras antara kepentingan publik (aksesibilitas umum) dan kepentingan privat (kenyamanan hunian). Hingga saat ini, ketegangan masih terasa kental, terlebih setelah aksi perobohan tembok yang dilakukan oleh sejumlah masyarakat beberapa waktu lalu, yang justru memicu polarisasi tajam di akar rumput.

Urat Nadi Kemacetan dan Dalih Jalan Tembus

Untuk memahami mengapa seonggok tembok menjadi begitu krusial, kita harus melihat konteks yang lebih luas: kemacetan Kota Malang. Berdasarkan data dari Inrix Global Traffic Scorecard, Malang kerap masuk dalam jajaran kota termacet di Indonesia.

Kawasan Soekarno-Hatta (Suhat), yang menjadi akses utama menuju Universitas Brawijaya dan Politeknik Negeri Malang, adalah salah satu titik neraka lalu lintas dengan volume kendaraan yang jauh melampaui kapasitas jalan (V/C Ratio).

Pemerintah Kota Malang, dalam rencana strategisnya, melihat pembukaan “jalan tembus” sebagai solusi taktis yang murah dan cepat dibandingkan membangun infrastruktur layang (flyover). Tembok di Griya Shanta dinilai sebagai sumbatan arteri yang menghalangi konektivitas antarwilayah di Mojolangu, yang jika dibuka, diprediksi mampu memecah kepadatan lalu lintas di jalur utama.

Dalih Pemkot Malang jelas: tembok harus diruntuhkan demi kelanjutan pembangunan jalan tembus di wilayah RW 9 dan RW 12. Narasi ini didukung oleh sebagian masyarakat—khususnya pengguna jalan dan warga non-perumahan—yang merasa akses publik tidak boleh disandera oleh eksklusivitas perumahan. Bagi kelompok pro, fungsi sosial tanah dan jalan harus dikembalikan kepada publik.

Benteng Terakhir Kenyamanan Warga

Namun, narasi pembangunan tidak serta merta diterima mulus. Di sisi berseberangan, sebagian warga Perumahan Griya Shanta melakukan resistensi keras. Bagi mereka, tembok tersebut bukan sekadar pembatas fisik, melainkan benteng terakhir keamanan dan kenyamanan yang mereka beli bersamaan dengan unit rumah tersebut.

Argumen kontra didasarkan pada kekhawatiran yang sangat manusiawi. Jika jalan perumahan yang sempit difungsikan sebagai jalan umum atau jalan tembus, maka volume kendaraan akan meningkat drastis. Ini membawa serta risiko kecelakaan lalu lintas di area permukiman, polusi suara, polusi udara, hingga potensi kriminalitas yang meningkat karena akses keluar-masuk yang tak terkendali. Konsep gated community atau sistem klaster yang menjanjikan ketenangan, seketika terancam punah.

Ironisnya, polarisasi tidak hanya terjadi antara “warga perumahan” melawan “warga kampung” atau “pemerintah”. Di internal Perumahan Griya Shanta sendiri terjadi perpecahan. Sayangnya, tak semua warga satu suara menolak pembongkaran.

Tidak sedikit warga perumahan yang justru mendukung rencana Pemkot Malang dengan pertimbangan kemudahan aksesibilitas pribadi dan dukungan terhadap program pemerintah. Friksi internal inilah yang membuat konflik ini semakin rumit dan berpotensi merusak kohesivitas sosial jangka panjang.

Ketidaktegasan: Akar Masalah yang Sesungguhnya?

Di tengah pro dan kontra yang semakin tajam, sorotan tajam justru mengarah pada regulator, yakni Pemkot Malang. Berlarut-larutnya konflik ini dipandang sebagai buah dari ketidaktegasan pemerintah daerah dalam mengeksekusi kebijakan tata ruang dan status Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU).

Secara regulasi, merujuk pada Permendagri Nomor 9 Tahun 2009, pengembang perumahan wajib menyerahkan PSU (termasuk jalan) kepada pemerintah daerah. Jika jalan di Griya Shanta sudah diserahterimakan, maka statusnya adalah barang milik daerah yang sah digunakan untuk kepentingan umum. Namun, komunikasi publik yang buruk dan eksekusi yang ragu-ragu membuat status quo ini menjadi bola liar.

Wakil Wali Kota LIRA (Lumbung Informasi Rakyat) Kota Malang, Ahsanul Huda, memberikan kritik pedas terhadap fenomena ini. Ia menilai bahwa konflik horizontal antarwarga ini adalah residu dari sikap pemerintah yang “maju-mundur”.

“Seharusnya bisa lebih tegas. Beberapa waktu lalu, sudah sempat ada SP (surat peringatan) satu sampai tiga. Itu progres yang bagus, namun sayangnya saat eksekusi justru mundur,” ujar Huda dengan nada kecewa.

Menurut Huda, resistensi dalam sebuah pembangunan adalah hal yang lumrah dalam demokrasi. Namun, negara atau pemerintah daerah tidak boleh kalah atau gamang jika kebijakan tersebut memang didasarkan pada kajian hukum dan tata ruang yang matang.

Keraguan pemerintah justru ditafsirkan sebagai celah oleh pihak-pihak yang bertikai untuk saling menekan, yang berujung pada aksi main hakim sendiri seperti perobohan tembok secara paksa.

“Kalau dilihat, sebenarnya kan jalan tembus itu sudah direncanakan sejak lama. Berarti kan sudah ada waktu yang cukup panjang untuk merencanakannya dengan sangat matang. Hanya tinggal pelaksanaannya saja,” jelas Huda menambahkan analisisnya.

Mencari Titik Tengah di Antara Reruntuhan

Pernyataan LIRA menyoroti urgensi kepastian hukum. Jika Pemkot Malang meyakini bahwa pembukaan jalan tembus adalah solusi vital bagi kemacetan kota, maka langkah eksekusi harus dilakukan dengan dasar hukum yang kuat, transparan, dan terukur.

“Silahkan dipertegas langkahnya, kalau dalam hal ini kan membangun jalan tembus. Tapi tanpa mengesampingkan proses (hukum) yang sedang berlangsung saat ini,” pungkas Huda.

Pernyataan ini menyiratkan bahwa ketegasan tidak berarti kesewenang-wenangan. Proses hukum, mediasi, dan kompensasi sosial harus berjalan beriringan. Pemkot Malang tidak bisa hanya sekadar merobohkan tembok fisik, tetapi juga harus membangun “tembok pengaman” baru bagi warga yang terdampak.

Solusi teknis seperti pemasangan polisi tidur (speed bump), pembatasan jam operasional jalan tembus untuk non-warga, atau pemasangan portal otomatis dan CCTV, bisa menjadi opsi win-win solution untuk meredam kekhawatiran warga terkait keamanan.

Kasus Griya Shanta adalah ujian kedewasaan bagi tata kelola perkotaan di Malang. Apakah pembangunan infrastruktur harus selalu mengorbankan harmoni sosial? Jawabannya ada pada kemampuan pemerintah untuk hadir bukan hanya sebagai pemilik alat berat, tetapi sebagai wasit yang adil yang mampu menjembatani kepentingan publik tanpa menginjak hak-hak privat warganya. Sampai ketegasan itu muncul, puing-puing tembok di Griya Shanta akan tetap menjadi monumen konflik yang tak terselesaikan (rw/dnv).

Exit mobile version