INDONESIAONLINE – Penahanan jenazah pasien terjadi di Rumah Sakit Islam (RSI) Unisma Malang, Selasa (11/6/2024) malam. Insiden itu menimpa warga Desa Pandanlandung Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, bernama Trisiyami (55).
Namun, jenazah Trisiyami akhirnya bisa dibawa pulang keluarganya setelah Bupati Malang HM. Sanusi turun tangan. Sanusi melunasi biaya perawatan Trisiyami melalui ajudan yang dia kirim ke RSI Unisma.
Ditemui di RSI Unisma, Selasa (11/6/2024) malam, suami almarhumah Trisiyami, Supardi (74), mengatakan istrinya sudah meninggal sejak 18.30 WIB.
Supardi mengaku, dirinya diminta untuk membayar uang jutaan rupiah sebagai biaya perawatan istrinya. Total biaya yang harus dibayar Supardi sebesar Rp 12.131.000.
“Meninggalnya sejak tadi, pukul 18.30. Jadi tidak bisa dibawa pulang jenazahnya kalau tidak melunasi. Saya tidak bisa membayar penuh sebesar Rp 12.131.000,” ujar Supardi.
Supardi menceritakan kronologi istrinya hingga di RSI Unisma. Hal itu berawal saat istrinya sakit pada Minggu (9/6/2024) lalu. Saat itu istrinya menunjukkan gejala seperti stroke.
“Awalnya istri saya ngangkat galon isi air. Dimintai tolong sama tetangga karena (saluran) airnya mati. Lalu setelah ngangkat galon, mengeluh kepalanya sakit,” ungkap Supardi.
Trisiyami pun lantas tidur. Namun gejalanya memuncak saat ia bangun tidur. Trisiyami malah kesulitan berbicara. “Ngomongnya langsung pelat saat bangun tidur,” imbuh Supardi.
Dengan kondisi tersebut, Supardi memutuskan untuk membawa istrinya ke RSI Unisma. Tetapi, Trisiyami dinyatakan meninggal pada Selasa (11/6/2024) sejak dirawat pada Minggu (9/6/2024) lalu.
“Sebenarnya saya merasa istri saya sudah meninggal sejak kemarin. Namun kata tenaga kesehatan, masih belum (meninggal) dan tetap dibantu alat bantu pernapasan. Bilangnya, dalam hari ketiga tidak ada dampak, maka alat dicabut, karena kalau terus dipasang biayanya mahal,” kata Supardi.
Sehari-hari, Supardi tinggal di sebuah rumah kos di wilayah Dau, Kabupaten Malang. Dengan biaya kos per bulan Rp 600 ribu, ia mengaku kesulitan. Apalagi, penghasilannya sebagai pekerja serabutan juga tak membawa dampak besar bagu perekonomian.
“Saya serabutan, bayar kos Rp 600 ribu per bulan kadang juga telat. Istri bantu ekonomi dengan jadi pembantu. Anak saya satu orang masih SD umur 11 tahun,” ucapnya.
Sebagai informasi, Supardi ternyata tergolong warga tidak mampu. Hal itu ditunjukkan dengan surat keterangan tidak mampu yang dikeluarkan oleh Kantor Desa Pandanlandung.
Surat keterangan tidak mampu (SKTM) itu digunakan untuk mengurus BPJS Kesehatan yang dibiayai pemerintah. Namun, Supardi mengaku malah dapat penolakan dari Dinsos Kabupaten Malang.
“Bilangnya (pihak RSI Unisma), kalau membayar hanya Rp 5 juta tidak bisa. Harus ada jaminan seharga kekurangannya. Saya tanya, seperti apa jaminannya. Bilangnya petugas, ya seperti sepeda motor,” jelas saudara Supardi, Iwan Setiawan.
Sebelum saudaranya meninggal, Iwan juga sempat menguruskan kepersertaan BPJS Kesehatan. Namun ternyata oleh Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Malang tidak diperbolehkan.
“Tidak boleh sama Dinsos, padahal sudah ada surat keterangan tidak mampu. Namun tidak bisa karena alasan dirawat di RS swasta,” pungkasnya. (rw/hel)