Jerat Hukum Menanti Lora Bangkalan di Kasus Pencabulan Santri

Jerat Hukum Menanti Lora Bangkalan di Kasus Pencabulan Santri
Ilustrasi kasus dugaan pencabulan santri perempuan di ponpes Kecamatan Galis, Bangkalan, Madura oleh Lora (anak kiai pemilik ponpes) (io)

Kasus pencabulan santri oleh Lora di Bangkalan kini naik ke penyidikan. mengungkap modus relasi kuasa dan urgensi perlindungan korban di lingkungan pesantren.

INDONESIAONLINE – Tembok tinggi Pondok Pesantren Nurul Karomah di Kecamatan Galis, Bangkalan, yang seharusnya menjadi benteng moral, kini menjadi saksi bisu dugaan pengkhianatan kepercayaan. Kasus dugaan pencabulan yang menyeret seorang ‘Lora’ (putra kiai) berinisial UF, kini memasuki babak baru yang lebih serius: tahap penyidikan.

Polda Jawa Timur mengambil langkah tegas setelah menemukan bukti permulaan yang cukup. Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Jules Abraham Abast, mengonfirmasi bahwa status kasus ini telah ditingkatkan.

“Tahap penyidikan sudah berjalan. Saksi dan korban akan dipanggil untuk BAP,” tegasnya, Rabu (10/12/2025).

Modus Klasik: Perangkap ‘Takzim’ dan Relasi Kuasa

Berdasarkan penelusuran kasus, peristiwa yang terjadi dua tahun silam ini menyoroti sisi gelap penyalahgunaan relasi kuasa di lembaga pendidikan berbasis asrama. Korban, yang saat kejadian masih berusia 15 tahun, terjebak dalam dilema kepatuhan.

Modus operandi yang digunakan tergolong manipulatif. UF diduga memanfaatkan posisinya yang dihormati untuk meminta “bantuan domestik” seperti memasak atau melipat pakaian di area pribadinya.

Dalam kultur pesantren, permintaan dari seorang Lora seringkali dimaknai sebagai ngalap berkah atau bentuk pengabdian, sehingga korban tidak menaruh curiga.

Namun, di balik pintu tertutup, kepercayaan itu dirusak. Bukan tugas rumah tangga yang menanti, melainkan dugaan tindakan pemerkosaan disertai ancaman pembungkaman. Ancaman inilah yang membekukan keberanian korban selama dua tahun hingga akhirnya berani bersuara.

Fenomena Gunung Es Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan

Kasus di Bangkalan ini menambah deretan panjang catatan kelam kekerasan seksual di lingkungan pendidikan agama. Data ini penting untuk melihat bahwa kasus UF bukanlah kejadian tunggal, melainkan bagian dari fenomena yang lebih besar.

Merujuk pada Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2023, lembaga pendidikan, termasuk yang berbasis keagamaan, menempati urutan tinggi sebagai lokasi terjadinya kekerasan seksual. Faktor ketimpangan relasi kuasa antara pengajar/tokoh agama dengan murid menjadi pemicu utama korban sulit melapor.

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mencatat tren serupa. Sepanjang Januari hingga pertengahan 2024 saja, KPAI menerima ratusan pengaduan kasus kekerasan terhadap anak di satuan pendidikan, di mana kekerasan seksual mendominasi.

Pola yang terjadi di Bangkalan—pelaku dengan status sosial tinggi dan korban anak di bawah umur—adalah pola yang kerap berulang dan membutuhkan penanganan ekstra hati-hati.

Pendekatan Hukum dan Psikologis

Mengingat korban adalah anak di bawah umur saat kejadian, penyidik Polda Jatim menerapkan prosedur khusus. Penanganan tidak sekadar mengejar pengakuan tersangka, tetapi juga melindungi mental korban yang rentan reviktimisasi.

Penyidikan kini melibatkan pendampingan psikolog dan tim P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak). Pemeriksaan dilakukan di ruang aman (safe room) untuk meminimalkan trauma saat korban harus mengingat kembali peristiwa kelam tersebut.

Secara yuridis, jika terbukti, UF tidak hanya berhadapan dengan pasal pencabulan biasa. Ia terancam jerat berlapis:

  1. UU Perlindungan Anak (Pasal 76D UU 35/2014): Ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.

  2. Pemberatan Hukuman: Jika pelaku adalah tenaga pendidik atau pengasuh, hukuman dapat ditambah 1/3 dari pidana pokok.

  3. UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS): Yang mengakomodasi definisi pemaksaan hubungan seksual dengan memanfaatkan kerentanan atau ketergantungan seseorang.

Publik kini menanti transparansi penegak hukum. Status sosial “Lora” yang disandang tersangka menjadi ujian bagi integritas kepolisian untuk membuktikan bahwa di mata hukum, semua warga negara memiliki kedudukan yang sama (equality before the law), tanpa pandang bulu dan tanpa intervensi (ina/dnv).