Selami intrik diplomatik dan deklarasi jihad Ottoman di Hindia Belanda selama Perang Dunia I. Rafet Bey: antara provokasi kolonial dan asa umat muslim.
INDONESIAONLINE – Di jantung koloni Hindia Belanda yang kian mengukuh, di tengah riuhnya pasar dan aroma rempah Batavia, seorang negarawan Ottoman tiba membawa serta gejolak dunia. Namanya Rafet Bey, Konsul Ottoman terakhir di Batavia, yang mengemban tugas diplomatik di masa yang tak kalah bergolak dari arus laut yang memisahkan Istanbul dan Nusantara.
Kehadirannya, seperti dicatat Frial Ramadhan Supratman dalam jurnal Studia Islamika, dalam artikel “Rafet Bey: The Last Ottoman Consul in Batavia during the First World War 1911-1924,” bukan sekadar rutinitas birokrasi, melainkan sebuah simpul krusial dalam jaringan intrik geopolitik Perang Dunia Pertama.
Perang Dunia I bukan hanya tentang parit-parit lumpur di Eropa. Ia adalah gelombang badai yang mengocok setiap sudut dunia, termasuk koloni-koloni jauh di Asia dan Afrika. Konsul-konsul Jenderal Ottoman di seberang lautan, termasuk Rafet Bey, adalah pion-pion penting yang tak hanya mendukung negara mereka yang tengah berperang, tetapi juga harus berjibaku dengan berbagai pihak yang memusuhi Ottoman.
Di Batavia, mata Belanda tak henti menyorot Rafet Bey, kecurigaan mengendap seperti kabut pagi. Alasannya tak lain adalah deklarasi jihad yang diumumkan oleh Ottoman pada tahun 1914 di Masjid Fatih, Istanbul. Deklarasi ini dimaksudkan untuk memprovokasi umat Muslim di seluruh dunia agar mendukung Ottoman melawan kekuatan kolonial non-Muslim.
Jihad: Antara Spirit Perlawanan dan Realitas Politik
Bagi orientalis seperti C. Snouck Hurgronje, penasihat kolonial Belanda yang tersohor, deklarasi jihad adalah ancaman nyata. Ia adalah bara api yang bisa membakar dominasi kolonial atas umat Muslim, terutama di Hindia Belanda.
Namun, seperti yang diungkapkan Mustafa Aksakal dalam karyanya, The Ottoman Road to War in 1914: The Ottoman Empire and the First World War, jihad memiliki dimensi yang jauh lebih kompleks. “Jihad juga bisa menjadi ideologi yang bermusuhan terhadap non-Muslim di dalam kekuasaan Ottoman. Bahkan, jihad bisa digunakan untuk melawan umat Muslim maupun Kristen. Oleh karena itu, deklarasi jihad harus ditempatkan dalam konteks kepentingan Ottoman,” jelas Aksakal.
Ini adalah masa di mana Ottoman, ironisnya, menjalin aliansi dengan kekuatan non-Muslim seperti Jerman—sebuah kontradiksi yang menelanjangi narasi tunggal jihad sebagai “Perang Suci” melawan kaum Kristen.
Pertarungan narasi ini bahkan memicu friksi di kalangan akademisi Eropa. Hurgronje mengkritik koleganya dari Jerman, Carl Heinrich Becker, yang dianggap memprovokasi Ottoman untuk mendeklarasikan jihad demi kepentingan politik Jerman. Ini bukan sekadar perbedaan pandangan akademis, melainkan benturan mengenai pengambilan keputusan strategis yang berimbas pada jutaan jiwa di seluruh dunia.
Batavia: Medan Perang Terselubung
Peran penting konsulat Ottoman selama Perang Dunia I adalah menyebarkan “berita jihad” kepada seluruh umat Muslim. Instruksi jihad ini, menurut arsip, dikirimkan pada 6 Februari 1915 ke berbagai perwakilan di luar negeri, termasuk Singapura, Penang, dan pantai Swahili (Afrika Timur), mendorong umat Muslim untuk bergabung “melawan Inggris dan Prancis.”
Di Batavia, pesan ini tak hanya disebarkan oleh konsulat Ottoman, tetapi juga oleh konsulat Jerman. Frial Ramadhan Supratman menegaskan, “Kita tahu bahwa konsulat Jerman terlibat untuk memengaruhi umat Muslim di Hindia Belanda agar melawan Inggris dan Prancis.” Ini adalah aliansi yang taktis, mengingat konsulat Inggris di Batavia melarang Ottoman menggunakan jalur telegraf Inggris untuk mendapatkan berita perang.
Akibatnya, Batavia menjelma menjadi medan perang diplomatik yang terselubung. Konsulat-konsulat di sana terpolarisasi. Inggris mencurigai aktivitas Jerman dan Ottoman yang proaktif menyebarkan jihad. Meskipun Belanda menyatakan netral di Eropa, mereka secara de facto mendukung Inggris, melihat deklarasi jihad sebagai bibit anti-kolonialisme.
Ketika sebuah deklarasi jihad tidak resmi yang diterbitkan di Istanbul menyebut “Muslim Jawa,” pemerintah Belanda segera bertindak, menuntut koreksi resmi dari Ottoman yang menyatakan bahwa deklarasi jihad tidak berlaku bagi umat Muslim di Hindia Belanda. Ottoman akhirnya memenuhi tuntutan ini pada Juni 1915, enam bulan setelah deklarasi awal muncul.
Asa Umat Muslim dan Beban Sang Konsul
Di tengah semua intrik ini, Rafet Bey memikul beban yang berat. Pemerintah kolonial Belanda tak henti mengawasi aktivitas konsulat Ottoman, terutama karena simpati yang kuat dari banyak umat Muslim Hindia Belanda terhadap Kekhalifahan. Surat-surat yang diterima Rafet Bey menjadi saksi bisu akan kepercayaan ini.
Salah satunya datang dari seorang pangeran Jawa dari Yogyakarta, Raden Mas Adhihardjo Ningrat IV, yang pada tahun 1914 menyatakan keinginannya untuk belajar di sekolah militer Konstantinopel.
Dalam suratnya yang tulus, pangeran muda itu berharap Sultan Ottoman berkenan mengizinkannya menimba ilmu militer, sebuah manifestasi dari ikatan spiritual yang melampaui batas geografis.
Tak hanya itu, pada 25 Maret 1916, Rafet Bey menerima surat keluhan yang pilu dari Enthong Maliki, seorang pemimpin dari Batu Ampar, Batavia. Bersama Enthong Gendut dan Enthong Modin, ia memohon bantuan Rafet Bey untuk umat Muslim di Condet yang rumahnya dibakar oleh tuan tanah.
“Jika Anda tidak bisa membantu kami umat muslim, lebih baik kami mati saja,” tulis Enthong Maliki, menggambarkan keputusasaan dan penderitaan mereka di bawah penindasan kolonial dan tuan tanah.
Surat ini bukan hanya keluhan, tetapi juga seruan putus asa kepada satu-satunya entitas yang mereka yakini mampu memberikan pertolongan: Konsul Ottoman.
Surat-surat ini menunjukkan bahwa Rafet Bey bukan hanya seorang diplomat, tetapi juga figur harapan bagi umat Muslim Hindia Belanda yang melihat Ottoman sebagai pelindung dan simbol kebangkitan Islam. Tugasnya adalah menjaga reputasi Ottoman, menyebarkan citra positif, dan meyakinkan umat Muslim bahwa Ottoman berada di pihak yang benar.
Propaganda dan Simpati di Balik Kabar Perang
Rafet Bey menggunakan media massa lokal untuk menyebarkan “berita jihad” dan membangun dukungan. Melalui surat kabar Pantjaran Warta, ia menerjemahkan instruksi dari Sadrazam (Perdana Menteri Ottoman) Said Halim Pasha yang meminta umat Muslim Hindia untuk mendoakan Sultan dengan gelar “Gazi,” sebuah gelar kehormatan bagi pejuang yang menang dalam perang suci. Ini adalah upaya strategis untuk menggalang dukungan moral, menyebarkan semangat “Perang Suci” melawan Inggris dan Prancis.
Tak berhenti di situ, dalam surat kabar Sin Po, Rafet Bey menginformasikan kementeriannya bahwa “berita tentang kekalahan musuh kita di Semenanjung Gallipoli telah membawa kebahagiaan dan kesenangan di kalangan umat Muslim di sini” di Hindia Belanda.
Ia juga memastikan penyebutan gelar Gazi untuk Khalifah dalam khotbah Jumat di masjid-masjid. Pada 11 Juni 1915, ia melaporkan kepada Kementerian Luar Negeri bahwa “dalam khotbah yang sangat jelas selama salat Jumat kemarin di Masjid Agung Batavia, sang khatib menyebut nama Khalifah kita yang mulia dengan gelar Gazi,” diiringi doa untuk kemenangan tentara Muslim.
Meskipun upaya Rafet Bey dalam menyebarkan deklarasi jihad di kalangan Muslim tidak selalu efektif karena pengawasan ketat Belanda, perannya sangat krusial. Bersama konsulat Jerman, ia harus menghadapi propaganda negatif dari konsulat Inggris. Untuk melawannya, Rafet Bey menulis beberapa artikel di surat kabar berbahasa Melayu, terus-menerus mendorong umat Muslim untuk berdoa bagi Sultan Ottoman dan kemenangan tentara Muslim.
Kisah Rafet Bey di Batavia adalah cerminan dari kompleksitas Perang Dunia Pertama, di mana garis depan pertempuran tak hanya ada di medan perang, tetapi juga di meja-meja diplomatik, di halaman-halaman surat kabar, dan di hati umat manusia yang jauh dari pusat konflik. Ia adalah kisah tentang bagaimana Pan-Islamisme, diplomasi, dan gejolak geopolitik membentuk takdir sebuah bangsa di ujung dunia Melayu.
Referensi:
-
Aksakal, Mustafa. The Ottoman Road to War in 1914: The Ottoman Empire and the First World War. Cambridge University Press, 2008. (Sudah disebutkan dalam teks, validasi ulang penting).
-
Supratman, Frial Ramadhan. “Rafet Bey: The Last Ottoman Consul in Batavia during the First World War 1911-1924.” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 25, No. 3 (2018): 421-450. (Sudah disebutkan dalam teks, validasi ulang penting).
-
McVey, Ruth T. Southeast Asian Transitions: Approaches Through Area Studies. Yale University Press, 1978. (Untuk konteks Pan-Islamisme dan respon kolonial di Asia Tenggara).
-
Landau, Jacob M. The Politics of Pan-Islam: Ideology and Organization. Oxford University Press, 1990. (Memberikan latar belakang lebih dalam tentang Pan-Islamisme sebagai ideologi).