JIMAT: Saat Siswa MAN 1 Malang Terjemahkan Iman Lewat Bahasa Sinema

JIMAT: Saat Siswa MAN 1 Malang Terjemahkan Iman Lewat Bahasa Sinema
Adegan film pendek JIMAT karya siswa MAN 1 Kota Malang di Festival Literasi Keagamaan 2025 (ig)

Mengupas kemenangan film pendek JIMAT karya siswa MAN 1 Kota Malang di Festival Literasi Keagamaan 2025. Sebuah bukti evolusi pendidikan madrasah, di mana dogma agama tidak lagi hanya dihafal, melainkan diterjemahkan menjadi visual yang menyentuh hati generasi Z.

INDONESIAONLINELampu sorot di Auditorium H.M. Rasjidi, Gedung Kementerian Agama, Jakarta, Rabu (20/11/2025) itu mungkin menyilaukan, namun tidak lebih terang dari pendar kreativitas yang dibawa oleh sekelompok remaja dari Kota Malang. Di tengah riuh rendah tepuk tangan yang menggema, sebuah tesis lama tentang pendidikan madrasah perlahan runtuh: bahwa siswa madrasah hanya berkutat pada kitab kuning dan hafalan teks, kini telah usang.

Mereka membuktikan bahwa dakwah dan literasi keagamaan kini telah bermigrasi ke layar sinema. Adalah JIMAT, sebuah film pendek besutan siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Kota Malang, yang berhasil menyihir dewan juri dan menyisihkan ribuan pesaing. Bukan sekadar juara, kemenangan ini adalah simbol kebangkitan narasi visual di lingkungan pendidikan agama.

Melampaui Angka Statistik

Kemenangan JIMAT sebagai Juara 1 Lomba Video Kreatif dalam Festival Literasi Keagamaan 2025 bukanlah pencapaian yang jatuh dari langit. Kompetisi yang digagas oleh Pusat Penilaian Buku Agama, Lektur, dan Literasi Keagamaan (PBAL2K) Kemenag ini adalah “medan perang” kreativitas yang sesungguhnya.

Data panitia mencatat lebih dari 3.600 peserta turut ambil bagian. Mereka datang dari berbagai latar belakang—mulai dari madrasah di pelosok, sekolah umum unggulan, hingga perguruan tinggi bergengsi.

Fakta bahwa sebuah karya siswa tingkat MA mampu berdiri di podium tertinggi mengisyaratkan kualitas produksi dan kedalaman pesan yang tidak main-main. Kompetisi ini menjadi barometer bahwa isu literasi keagamaan bukan lagi sekadar wacana di ruang kelas, melainkan kebutuhan mendesak yang diterjemahkan generasi muda melalui lensa kamera.

Dapur Kreatif di Balik ‘JIMAT’

Kekuatan JIMAT tidak hanya terletak pada visual yang memanjakan mata, tetapi pada orkestrasi kerja tim yang solid di belakang layar. Film ini adalah buah pikir kolektif yang matang.

M. Ramadhani Harya Saputra, sang sutradara sekaligus produser, mengambil risiko kreatif dengan mengangkat tema yang dekat namun sering luput: bagaimana nilai spiritualitas bekerja dalam keseharian yang pelik.

Di depan layar, tiga aktor muda—M. Faizal Akbar (sebagai Iman), Ahmad Amin Quthby (Ayah), dan Septian Adi Kurniawan (Guru BK)—berhasil menghidupkan naskah dengan emosi yang raw dan jujur. Mereka tidak sedang berakting menjadi orang suci; mereka memainkan karakter manusia biasa yang bergulat dengan nilai-nilai kehidupan.

Namun, sebuah film adalah kerja teknis. Di sinilah peran krusial lini belakang layar. Mahyana Diza Hayu sebagai penulis naskah berhasil meramu dialog yang tidak menggurui—sebuah tantangan terbesar dalam film bertema religi.

Sementara itu, Rifat Alimadin Fitrianto sebagai sinematografer dan A. Faiq Abdillah selaku DOP dan editor, membungkus cerita tersebut dalam shot-shot sinematik yang berbicara. Kehadiran Original Soundtrack (OST) bertajuk ‘Sesuatu Berharga’ menjadi penyempurna, mengunci emosi penonton tepat di ulu hati.

Judul JIMAT sendiri menawarkan ambiguitas yang cerdas. Dalam kultur masyarakat, jimat sering diasosiasikan dengan benda mistis pelindung diri. Namun, film ini mendekonstruksi makna tersebut. Jimat bagi generasi ini bukanlah benda klenik, melainkan pegangan nilai, integritas, dan spiritualitas yang menjadi perisai di era modern.

Transformasi Wajah Madrasah

Kepala MAN 1 Kota Malang, Dr. Sutirjo, M.Pd, melihat fenomena ini dengan kacamata yang lebih luas. Baginya, piala hanyalah bonus. Substansi utamanya adalah integrasi kompetensi.

“Prestasi ini menunjukkan bahwa siswa madrasah mampu bersaing secara nasional dan tetap membawa pesan moderasi beragama,” tegas Sutirjo.

Pernyataan ini menggarisbawahi arah baru pendidikan madrasah: mencetak siswa yang tidak hanya saleh secara ritual, tetapi juga cakap secara digital. JIMAT menjadi bukti empiris bahwa pendidikan karakter bisa “dikawinkan” dengan estetika seni, menghasilkan pesan dakwah yang soft namun menancap kuat.

Di sisi regulator, Kepala PBAL2K, Dr. H. Sidik Sisdiyanto, M.Pd., menangkap sinyal positif dari antusiasme ribuan peserta. Ia menekankan bahwa festival ini bukan sekadar seremonial bagi-bagi hadiah. Ini adalah strategi budaya.

“Kegiatan kreatif semacam ini sejalan dengan arah kebijakan Kemenag untuk memperkuat literasi keagamaan yang moderat dan membumi,” ujar Sidik.

Kata “membumi” menjadi kunci. Agama seringkali dianggap kaku dan berjarak bagi anak muda. Melalui medium film pendek seperti JIMAT, narasi keagamaan turun dari menara gading, masuk ke dalam gawai, dan menjadi relevan dengan kegelisahan anak muda hari ini. Kemenag menyadari bahwa untuk merangkul Gen Z, bahasa yang digunakan tidak bisa lagi sekadar teks satu arah, melainkan bahasa audiovisual yang dialogis.

Puncak perhelatan pada 20 November 2025 tersebut menjadi momentum sakral bagi dunia literasi agama di Indonesia. Kehadiran Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, memberikan legitimasi politik dan moral bahwa negara hadir mendukung kreativitas positif ini.

Acara yang dimeriahkan dengan penganugerahan Tokoh Literasi Keagamaan, pertunjukan seni, hingga podcast pelajar tersebut, menegaskan bahwa ekosistem literasi di Indonesia sedang tumbuh subur. Dan di tengah ekosistem raksasa itu, siswa MAN 1 Kota Malang telah menanamkan tonggak sejarah mereka sendiri.

Melalui JIMAT, mereka mengirim pesan kepada dunia luar: Madrasah hari ini adalah laboratorium peradaban, tempat di mana iman dan imajinasi berpadu menghasilkan karya yang menggetarkan jiwa. Ini bukan akhir, melainkan awal dari gelombang baru sineas muda berbasis pesantren dan madrasah di Indonesia (as/dnv).