Fenomena bendera One Piece ‘Jolly Roger’ berkibar jelang HUT RI ke-80 memicu perdebatan. Apakah ini bentuk protes senyap generasi muda atau sekadar kreativitas? Simak analisis mendalam dan tanggapan resmi Istana Negara yang tak terduga.
INDONESIAONLINE – Menjelang fajar kemerdekaan yang ke-80, cakrawala Indonesia tidak hanya dihiasi oleh Sang Saka Merah Putih. Di berbagai sudut negeri, dari gang sempit perkotaan hingga tiang darurat di pedesaan, sebuah simbol yang tak lazim berkibar menantang angin: bendera hitam dengan logo tengkorak bertopi jerami.
Ini bukan invasi, melainkan fenomena ‘Jolly Roger‘ dari anime One Piece yang viral. Namun, di balik euforia budaya pop, tersembunyi sebuah pertanyaan besar: apakah ini sekadar kreativitas tanpa batas, atau sebuah bentuk protes senyap dari generasi yang merasa suaranya tak lagi didengar? Istana Negara pun akhirnya angkat bicara.
Simbol Perlawanan dalam Selembar Kain Hitam
Fenomena ini meledak di media sosial. Foto dan video bendera kru Bajak Laut Topi Jerami, yang dipimpin oleh Monkey D. Luffy, menyebar laksana api. Namun, ini bukan sekadar tentang fandom. Beberapa unggahan menyertainya dengan narasi yang sarat akan kritik sosial.
“Maaf Jenderal, Kami Terpaksa Mengibarkan Bendera Hitam. Karena Suara Kami Tak Kau Hiraukan, Bukan?!” tulis akun @choliesmajid dalam sebuah unggahan viral.
Kalimat tersebut mengubah konteks secara drastis. Kibaran bendera hitam, yang dalam sejarah sering menjadi simbol perlawanan atau duka, kini dipinjam oleh generasi muda.
Anime One Piece, dengan narasi tentang perjuangan mencari kebebasan dan melawan Pemerintah Dunia yang tiran, memberikan kanvas yang sempurna. Jolly Roger bukan lagi sekadar logo, ia telah menjadi metafora perlawanan terhadap kondisi yang dianggap belum ideal, sebuah “bendera alternatif” bagi mereka yang merasa aspirasinya terabaikan oleh “Jenderal” atau penguasa.
Istana Merespons: Lampu Hijau dengan Garis Merah Tegas
Di tengah riuh perdebatan warganet—antara yang mendukung sebagai ekspresi kreatif dan yang mengecam karena dianggap menodai momen sakral—sikap resmi pemerintah justru datang dengan nada yang terukur. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi, memberikan respons yang mengejutkan banyak pihak: pemerintah tidak mempermasalahkannya, selama tidak melewati batas.
“Yang jadi masalah itu kalau ada pihak-pihak yang memanfaatkan kreativitas tersebut untuk hal-hal yang menodai kesakralan peringatan kemerdekaan. Itu yang kita harap jangan sampai terjadi,” tegas Pras di Kompleks Parlemen, Senin (4/8/2025).
Pernyataan ini adalah lampu hijau dengan catatan tebal. Pemerintah, menurut Pras, menghargai kebebasan berekspresi. Namun, ia menggarisbawahi sebuah “garis merah” yang tak boleh dilintasi: kreativitas tersebut tidak boleh menggantikan atau menghalangi pengibaran bendera pusaka Merah Putih sebagai simbol utama negara.
“Tolonglah ini jangan dimanfaatkan untuk hal-hal yang mengganggu kesakralan,” ujarnya, seraya mengajak seluruh bangsa untuk bersatu padu dan optimis menyambut 80 tahun Indonesia Merdeka.
Sebuah Pengakuan dan Refleksi Bangsa
Lebih dari sekadar menanggapi fenomena bendera, Mensesneg juga menyentuh akar masalah yang mungkin memicu ekspresi “protes” tersebut. Dalam sebuah momen reflektif, ia menyampaikan permohonan maaf atas kondisi bangsa yang mungkin belum sepenuhnya memuaskan harapan rakyat.
“Kalaupun hari ini ada kondisi di bangsa kita yang, mohon maaf, masih belum sesuai yang diharapkan. Mari kita bekerja keras mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan dan cita-cita para pendiri bangsa,” katanya.
Pengakuan ini secara tidak langsung menjadi jembatan antara keresahan yang diekspresikan lewat simbol Jolly Roger dengan komitmen pemerintah. Ini adalah sinyal bahwa “suara” di balik bendera hitam itu, setidaknya, telah sampai ke telinga Istana.
Pemerintah menegaskan penghormatannya terhadap kreativitas komunitas, selama nilai-nilai kebangsaan tetap menjadi fondasi utamanya.
Pada akhirnya, fenomena Jolly Roger menjelang HUT RI ke-80 ini lebih dari sekadar tren viral. Ia adalah cermin dialog budaya yang kompleks antara generasi, teknologi, dan nasionalisme. Di satu sisi, ia adalah perayaan kreativitas. Di sisi lain, ia adalah termometer sosial yang mengukur suhu kekecewaan dan harapan.
Pertanyaannya kini bukan lagi boleh atau tidak, melainkan pesan apa yang sesungguhnya ingin mereka sampaikan melalui kibaran tengkorak bertopi jerami itu (ina/dnv).