Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) Kota Batu 2026 dipangkas pusat hingga 50% menjadi Rp16,7 miliar. SiLPA jadi tumpuan tambal anggaran kesehatan.
INDONESIAONLINE – “Lampu kuning” menyala bagi postur fiskal Pemerintah Kota (Pemkot) Batu untuk tahun anggaran 2026 mendatang. Kran dana transfer dari pemerintah pusat mengalami penyusutan drastis, salah satu yang terdampak paling signifikan adalah Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).
Tidak tanggung-tanggung, alokasi dana yang kerap menjadi tulang punggung pembiayaan kesehatan dan kesejahteraan petani ini diproyeksikan terpangkas hingga 50 persen dibanding tahun sebelumnya.
Kontraksi Anggaran yang “Menyakitkan”
Berdasarkan data dari Bagian Perekonomian dan Sumber Daya Alam (SDA) Kota Batu, grafik penerimaan DBHCHT menunjukkan tren penurunan tajam. Jika pada tahun 2025 Pemkot Batu masih menikmati kucuran dana segar sebesar Rp32,23 miliar, maka pada 2026 angka tersebut anjlok menjadi hanya Rp16,7 miliar.
Artinya, terdapat selisih atau hilangnya potensi pendapatan daerah sebesar Rp15,53 miliar dalam satu tahun anggaran.
Wolok, dari Subbag Bidang Perekonomian dan SDA Kota Batu, mengonfirmasi fenomena ini sebagai dampak domino dari kebijakan pusat.
“Pemangkasan itu tak lepas dari merosotnya dana transfer dari pusat ke daerah. Tidak hanya Dana Alokasi Khusus (DAK) atau Dana Alokasi Umum (DAU), DBHCHT juga ikut dipangkas,” ungkapnya.
SiLPA: Sekoci Penyelamat atau Tanda Ketidakefektifan?
Di tengah kabar buruk pemangkasan tersebut, Pemkot Batu masih memiliki “napas cadangan” dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) tahun berjalan. Tercatat, masih ada dana sisa sebesar Rp8,63 miliar dari alokasi sebelumnya yang belum terserap.
Rencananya, SiLPA ini akan disuntikkan kembali melalui mekanisme Perubahan Anggaran Keuangan (PAK). “Plotting anggaran DBHCHT biasanya sudah dilakukan setahun sebelum anggaran baru berjalan. Kemungkinan usai PAK nanti SiLPA akan ditambahkan,” jelas Wolok.
Namun, hitung-hitungan di atas kertas tetap menunjukkan defisit. Meski SiLPA senilai Rp8,63 miliar digabungkan dengan alokasi baru Rp16,7 miliar, total dana yang tersedia untuk 2026 diproyeksikan hanya mencapai Rp25,35 miliar. Angka gabungan ini pun masih jauh di bawah pagu murni tahun 2025 yang menembus angka Rp32 miliar lebih.
Penurunan drastis ini memaksa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kota Batu untuk memutar otak. Pasalnya, penggunaan “uang rokok” ini diikat ketat oleh regulasi pusat, yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2024.
Sesuai PMK tersebut, komposisi “kue” anggaran telah dipatok mati:
- 50% untuk Kesejahteraan Masyarakat: Termasuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi buruh tani tembakau dan pelatihan kerja.
- 40% untuk Kesehatan: Biasanya digunakan untuk pembiayaan BPJS Kesehatan (UHC) warga miskin dan peningkatan fasilitas medis.
- 10% untuk Penegakan Hukum: Sosialisasi gempur rokok ilegal dan operasi pasar.
Dengan menyusutnya total anggaran, otomatis nominal untuk pos-pos vital tersebut akan mengecil. Tantangan terbesar ada pada sektor kesehatan yang menyerap porsi 40 persen, mengingat biaya layanan kesehatan cenderung naik setiap tahunnya.
“Kami dorong SKPD lebih jeli memprioritaskan anggaran tersebut untuk digunakan,” tegas Wolok.
Peringatan ini menjadi sinyal bahwa tahun 2026 akan menjadi tahun efisiensi ketat bagi Pemkot Batu, di mana setiap rupiah dana cukai harus benar-benar menyasar program prioritas tanpa ruang untuk pemborosan (pl/dnv).
