INDONESIAONLINE – Sejarah Jawa abad ke-17 mencatat sebuah fragmen peristiwa yang kerap terluput dari ingatan kolektif, namun dampaknya begitu getir bagi Dinasti Mataram: kekalahan telak pasukan Mataram dalam Ekspedisi Panji Karsula pada tahun 1676.
Ribuan prajurit Mataram yang megah dibuat takluk dan porak-poranda oleh taktik gerilya cerdik yang dipimpin Karaeng Galesong, seorang bangsawan Makassar buronan VOC.
Peristiwa ini bukan sekadar kekalahan militer, melainkan cerminan runtuhnya kedisiplinan dan strategi militer Jawa di hadapan kelompok kecil yang terorganisir. Kekalahan ini menjadi penanda awal erosi legitimasi kekuasaan Amangkurat I dan membuka gerbang bagi intervensi asing yang lebih dalam di kemudian hari.
Ekspedisi Ambisius dengan Akhir Tragis
Ekspedisi militer yang memalukan ini bermula pada Maret 1676. Panji Karsula, bangsawan asal Japan (Mojokerto), menerima mandat langsung dari Sunan Amangkurat I untuk memimpin kampanye besar-besaran ke Bang Wetan (Jawa Timur) dengan tujuan menumpas laskar Makassar yang berkubu di pesisir.
Panji Karsula tidak sendiri. Ia didampingi tokoh-tokoh penting seperti Tumenggung Darmayuda, Anggajaya, Tumenggung Butaijo, dan Raden Wiraatmaja. Kontingen militer yang mereka pimpin sangat besar: 1.000 prajurit Panumping, 1.000 Numbakanyar, dan ribuan pasukan mancanagara.
Serat Kandha bahkan menyebut jumlah total mencapai 50.000 orang, meski laporan Residen Couper di Jepara (24 Maret 1676) memperkirakan sekitar 30.000 prajurit yang berhasil mencapai Surabaya. Dari sisi laut, sekitar 40 kapal disiapkan untuk mendukung operasi ini.
Eksistensi kekuatan Mataram ini tidak luput dari perhatian Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Jan Franszen, perwira VOC, sempat merancang koordinasi serangan gabungan di pesisir dengan Panji Karsula. Namun, ketidakpaduan niat dan komunikasi sejak awal sudah menjadi bibit kegagalan ekspedisi ini.
Arogansi dan Kecorobohan Fatal
Sesampainya di Demung, pasukan Mataram mendapati benteng sudah dikuasai sekitar 2.000 orang Makassar di bawah pimpinan Karaeng Galesong. Ironisnya, bukannya merancang strategi pengepungan yang matang, pasukan Jawa justru menunjukkan kelengahan, arogansi, dan sifat rakus.
Menurut Babad Bedhahing Pajang, setelah sempat terjadi kontak senjata singkat yang membuat laskar Makassar mundur ke hutan, pasukan Mataram malah larut dalam perayaan kemenangan prematur. Mereka sibuk merampok desa-desa sekitar, bersantai di perkemahan tanpa sistem pertahanan malam hari, dan menertawakan peringatan Panji Karsula yang mencium adanya potensi kontra-serangan. Ini adalah kecerobohan fatal yang berujung petaka.
Pada malam yang gelap, Karaeng Galesong melancarkan serangan gerilya ke jantung perkemahan Mataram. Dengan kekuatan tak lebih dari seratus orang – menurut laporan kapal Grootebroek – pasukan Makassar berhasil membakar markas Mataram, menimbulkan kepanikan massal, dan memaksa ribuan tentara Mataram lari tunggang-langgang meninggalkan segalanya.
Serat Kandha mencatat bahwa Panji Karsula melarikan diri ke Japan dalam kondisi sakit perut parah dan akhirnya meninggal dalam kondisi memalukan. Sementara Darmayuda menyerah bersama sejumlah bupati dari wilayah timur. Sejarah mencatat bahwa strategi Galesong malam itu adalah kemenangan psikologis dan taktis, bukan semata kekuatan senjata, tetapi kejutan, nyali, dan kecepatan.
Implikasi Berkelanjutan: Runtuhnya Moral dan Sekutuisasi Anti-Mataram
Setelah berita kehancuran tentara Mataram menyebar, Residen Jan Franszen dari VOC kembali mencoba mengkoordinasikan serangan gabungan. Namun, pada hari-H yang ditetapkan, tidak ada satu pun prajurit Jawa yang muncul.
Pasukan Jawa bahkan menuduh kapal-kapal Belanda hanya menembakkan peluru kosong, menunjukkan memburuknya hubungan antar-sekutu. Jan Franszen melaporkan kepada pusat bahwa semangat pasukan Jawa sudah runtuh dan mereka menyerahkan sepenuhnya urusan perang kepada Belanda.
Lurah Nayapatra, syahbandar Garuda, dalam suratnya kepada Speelman pada 10 Juni 1677, dengan sinis menuliskan kisah kekalahan Mataram:
“mula-mula terjadi sedikit bentrokan… kemudian pertarungan umum… tak diketahui siapa menang siapa kalah, lalu masing-masing bubar.” Ia menegaskan bahwa tidak pernah terjadi pertempuran besar, yang ada hanyalah kekacauan, kepanikan, dan runtuhnya komando.
Dari berbagai sumber, dapat disimpulkan bahwa kehancuran ekspedisi Panji Karsula bukan disebabkan oleh kekuatan superior Makassar, melainkan oleh buruknya kepemimpinan, disiplin, dan koordinasi internal pasukan Mataram.
Seratus orang Makassar mampu menghancurkan ekspedisi militer terbesar di Jawa saat itu bukan karena keajaiban, melainkan karena ketidaksiapan sistem militer Mataram menghadapi strategi gerilya modern yang dibawa oleh eksil Gowa seperti Karaeng Galesong.
Peristiwa ini menjadi permulaan keruntuhan legitimasi dinasti Amangkurat I di Bang Wetan. Setahun kemudian, pemberontakan besar yang dipimpin Pangeran Trunajaya meletus. Karaeng Galesong, yang telah membuktikan kecerdikannya, menjadi sekutu strategis Pangeran Madura tersebut dalam menggempur Mataram dari luar dan dalam.
Kekalahan Panji Karsula pada 1676 adalah pertanda nyata: kekuatan militer Mataram tidak lagi disegani, bahkan di tanahnya sendiri.
Maka, sejarah mencatat tahun 1676 bukan hanya sebagai kekalahan ekspedisi, tetapi titik nadir supremasi Mataram dalam pentas geopolitik Jawa dan Nusantara, membuka jalan bagi intervensi VOC yang semakin merajalela (ar/dnv).