Karaeng Naba: Loyalis di Pusaran Dendam Mataram Abad XVII

Karaeng Naba: Loyalis di Pusaran Dendam Mataram Abad XVII
Ilustrari (io)

Selami intrik politik abad ke-17 di Jawa. Kisah Karaeng Naba, bangsawan Makassar yang menjadi loyalis Amangkurat II, menyingkap jaring-jaring kekuasaan, diplomasi berdarah, dan loyalitas keluarga di tengah Perang Trunajaya yang menghancurkan Mataram.

INDONESIAONLINE – Abad ke-17 di Jawa adalah kanvas yang dilukis dengan darah, intrik, dan ambisi. Di tengah badai Perang Trunajaya (1674–1680) yang mengoyak Kerajaan Mataram, kisah seorang bangsawan Bugis-Makassar muncul sebagai penjelajah labirin loyalitas: Karaeng Naba.

Ia, yang seharusnya berada di kubu pemberontak bersama  Karaeng Galesong, justru memilih jalan sunyi kesetiaan pada Amangkurat II, raja yang baru bangkit dari puing kehancuran. Kisah ini bukan sekadar catatan perang, melainkan cerminan dramatis dari kerumitan politik, ikatan keluarga, dan takdir yang membentuk dinasti-dinasti penting di Jawa.

Mataram di Titik Nadir: Dari Dendam Amangkurat I ke Lahirnya Raja Baru

Musim kemarau 1677, Mataram berdarah. Istana Plered yang megah hancur dilumat pasukan Trunajaya dan Karaeng Galesong. Sang penguasa, Sunan Amangkurat I, yang sejak naik takhta pada 1646 memerintah dengan tangan besi—memangkas kekuasaan pangeran, menyingkirkan bangsawan Surabaya, hingga membantai ribuan ulama pesantren pada 1648–1649—kini menjadi raja terusir, sakit dalam pelarian.

Kebijakan kerasnya, yang semula menciptakan stabilitas, justru menumbuhkan dendam laten yang meledak dalam pemberontakan Trunajaya.

Di tengah kekacauan itu, muncul sosok Raden Mas Rahmat, putra sulung Amangkurat I. Kelahirannya sebagai Amangkurat II tidak terjadi di keraton, melainkan di tempat pengungsian yang penuh kehinaan di Tegalarum, Tegal, pada 13 Juli 1677.

Peristiwa ini dicatat Residen VOC Pieter van Goens sebagai “kehinaan seorang raja yang ditolak oleh rakyatnya sendiri,” di mana penduduk desa enggan memberikan bantuan kepada raja yang dulunya disegani. Momen ini sekaligus menandai babak baru dalam hubungan Mataram dengan VOC, yang kelak akan menjadi sandaran utama sang raja baru.

Darah Raden Mas Rahmat adalah warisan dua dinasti besar: Mataram dari ayahnya dan Surabaya dari ibunya, Kanjeng Ratu Pangayun, putri Pangeran Pekik—Adipati Surabaya, ulama keturunan Sunan Ampel, dan menantu Sultan Agung. Namun, nasib Rahmat sejak lahir diwarnai tragedi.

Ibunya wafat tak lama setelah melahirkannya, dan kakeknya, Pangeran Pekik, dieksekusi Amangkurat I sekitar tahun 1670 dan dimakamkan di Banyusumurup. Dendam darah ini membentuk karakternya. Namanya, “Rahmat,” seolah merujuk pada Sunan Ampel (Raden Rahmat), mengingatkan pada wahyu pesisir yang terpaksa masuk ke jantung Mataram.

Kematian Amangkurat I di Tegalarum, Tegal, menjadi inti transisi kekuasaan yang pahit. Meski catatan Belanda menyebutkan penyakit lambung, sumber Babad Tanah Jawi memberikan tafsir lebih dalam: Rahmat sengaja membiarkan ayahnya wafat tanpa pertolongan.

Dialog terakhir yang getir antara keduanya—”Anakku, engkau kelak menjadi raja. Tetapi ingat, dosa-dosaku adalah warisanmu,” kata Amangkurat I;

“Aku hanya akan mengambil beban yang tak sanggup lagi engkau pikul,” jawab Rahmat dingin—menggambarkan pewarisan takhta yang diselimuti kutukan.

Setelah wafatnya Amangkurat I, Raden Mas Rahmat segera menyatakan diri sebagai Amangkurat II. Namun, tanpa legitimasi kuat dan dukungan militer, takhtanya rapuh. Ia dengan cepat mencari sandaran pada VOC, kekuatan paling dominan saat itu.

Di Tegal, ia menghimpun pasukan, dengan prajurit Kompeni Belanda di garis terdepan, menabuh tambur serempak, diikuti para adipati dan Amangkurat II sendiri di belakang bersama istri-istri keraton. Ini bukan hanya prosesi militer, melainkan simbol lahirnya aliansi baru yang kelak akan membelenggu Mataram berabad-abad.

Perjalanan laut menuju Jepara, di mana ia disambut Amral VOC dan Ki Wangsa Dipa dengan tembakan meriam penghormatan, menegaskan kelahiran raja yang diarak bukan oleh rakyatnya, melainkan oleh kekuatan asing.

Dilema di Tengah Konflik: Karaeng Naba dan Galesong

Situasi Amangkurat II penuh intrik. Ia harus menghadapi bangsawan lokal, VOC, dan pemberontak Trunajaya. Di Kediri, Trunajaya mengukuhkan posisi dengan menunjuk Karaeng Galesong, putra Sultan Hasanuddin dari Makassar, sebagai Prabu Anom—panglima perang yang memimpin pasukan diaspora Makassar. Keterlibatan Makassar ini menegaskan bahwa Perang Trunajaya bukan konflik lokal, melainkan jaringan kekuasaan regional.

Amangkurat II, yang dikenal cerdik, menerima informasi kunci: Karaeng Galesong memiliki saudara/sepupu Karaeng Naba, yang saat itu menjabat mayor bawahan Kompeni di Mataram. Babad Tanah Jawi mencatat air mata Naba saat mendengar kabar ini, menunjukkan konflik emosional antara loyalitas pada raja dan ikatan darah keluarga.

Amangkurat II memutuskan langkah berani: mengirim Naba ke Kediri dengan misi diplomatik berisiko tinggi. Tujuannya: membujuk Galesong agar tunduk atau menunda pertempuran. Naba ditemani Mirna Gati, diplomat fasih lima bahasa, serta Adipati Martalaya dan Martapura yang menyamar sebagai abdi. Penyamaran ini menunjukkan kombinasi diplomasi dan kecerdikan militer klasik Jawa.

Perjalanan Naba penuh bahaya. Di jalur Kediri, rombongan bertemu emban setia Galesong yang segera merangkul kaki Naba sambil menangis, sebuah gambaran betapa perang di abad ke-17 sarat dengan kode etik dan simbolisme sosial-moral.

Di rumah Galesong, pertemuan berlangsung tegang. Galesong, meski siap menunda pertempuran, tetap mempertahankan idealismenya, sebuah dilema antara kepentingan politik dan ikatan keluarga. Misi ini, digambarkan Babad Tanah Jawi, sebagai contoh kesetiaan, kecerdikan, dan keberanian yang berdimensi etis dan spiritual.

Insiden kritis terjadi saat kepulangan. Rombongan diserang dua ratus orang Madura di tepi bengawan banjir. Naba menyelamatkan Mirna Gati dengan melompat menyeberang, diikuti Martapura dan Martalaya. Tindakan heroik ini, ditekankan Babad Tanah Jawi, menampilkan “kesaktian dan keberanian” yang membuat musuh ternganga, sekaligus menandai kemenangan moral atas kekuatan lawan dan alam.

Loyalitas yang Rapuh: Tewasnya Martalaya dan Intrik VOC

Loyalitas Karaeng Naba bukan sekadar formalitas, melainkan berakar pada struktur kekuasaan dan dendam sejarah. Ia mewakili integrasi bangsawan Makassar ke dalam lingkaran kekuasaan Mataram, sementara Galesong adalah gabungan aspirasi lokal, identitas diaspora, dan ambisi pribadi.

Dimensi spiritual pun kuat: tindakan heroik Naba menyeberangi bengawan banjir dikaitkan dengan kesaktian dan keberkahan, menegaskan legitimasi sosial-politik.

Amangkurat II terus menata jaring-jaring loyalitas. Penempatan Tumenggung Endra Nata di Demak, Adipati Martapura di Tuban, dan Adipati Martalaya di Surabaya menunjukkan strateginya mengikat bangsawan pesisir utara Jawa—simpul perdagangan, logistik militer, dan perekrutan pasukan yang vital.

Namun, loyalitas di tengah perang besar melawan Trunajaya rapuh. Kasus tewasnya Adipati Martalaya adalah buktinya. Martalaya menolak keras dominasi Belanda dalam urusan militer Jawa. Ia menganggap pasukan VOC hanya sebagai “orang mengembara, mendambakan upah, dan bisa merusak negara.”

Sikapnya yang menentang keterlibatan asing ini sampai ke telinga Laksamana VOC Cornelis Speelman, sekutu penting Amangkurat II. Speelman menganggap Martalaya penghalang kerja sama, dan meminta raja menyingkirkannya.

Amangkurat II, meski ragu karena Martalaya adalah bupati andalan, akhirnya terpaksa bertindak. Dalam rapat bupati, diputuskan menguji Martalaya dengan memerintahkannya menyerang Trunajaya. Namun, Martalaya menolak hadir dengan alasan sakit, memicu kemarahan raja.

Mandat eksekusi diberikan kepada Adipati Martapura. Pertemuan Martapura dan Martalaya berakhir tragis: keduanya saling menusuk dan tewas bersama. Kehilangan dua pilar pertahanan pesisir utara ini sangat mengecewakan Amangkurat II.

Meski demikian, Amangkurat II segera menunjuk pengganti: Tumenggung Jayapati (putra Martapura) di Jepara, Angayuda (adik Martalaya) di Tegal, dan Si Wija di Pati. Ia juga memerintahkan Tumenggung Endranata menggempur Trunajaya di Kembang dan Tuban, sementara Amral bergerak lewat laut ke Gresik, Madura, dan Surabaya.

Amangkurat II sendiri merencanakan perjalanan darat ke Tuban hingga Kediri. Strategi Mataram kala itu adalah gabungan kekuatan bangsawan pesisir, jaringan lokal, dan aliansi Belanda.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa perang bukan hanya adu fisik, melainkan juga arena diplomasi dan negosiasi. Tewasnya Martalaya dan Martapura menegaskan rapuhnya loyalitas bangsawan pesisir, sementara misi Karaeng Naba menunjukkan bahwa politik halus dan diplomasi personal seringkali menjadi penentu dalam pusaran perang besar Jawa.

Jejak Dinasti: Karaeng Naba dan Pohon Keluarga Penguasa Jawa

Kisah Karaeng Daeng Naba tak berhenti di medan perang. Ia adalah bangsawan Bugis-Makassar, keponakan Sultan Hasanuddin. Setelah Gowa jatuh ke VOC pada 1669, Naba mengembara ke Jawa dan memilih berpihak pada Amangkurat II.

Atas jasanya meredam pemberontakan Trunajaya, ia dinikahkan dengan putri Tumenggung Sontoyudo II dan dianugerahi tanah perdikan di Mlati, Sleman. Ia mengganti nama menjadi Kyai Ageng Sulaiman, menandai integrasi budaya Bugis-Makassar dengan masyarakat Jawa.

Dari Kyai Ageng Sulaiman lahir Kyai Honggoyudo, yang menurunkan Raden Tumenggung Sosronegoro I. Sosronegoro I melahirkan Raden Tumenggung Sosrokusumo I, bergelar Kanjeng Jimat, Bupati Berbek pertama.

Kanjeng Jimat menjadi simbol persatuan tiga kerajaan besar: Gowa (Bima), Majapahit, dan Mataram, serta memperluas pengaruh Islam di Berbek dan Nganjuk. Kanjeng Jimat dipercaya memiliki ucapan yang menjadi kenyataan. Adik Kanjeng Jimat, Raden Tumenggung Sosrodirejo, menjabat Bupati Berbek (1832–1843), dan dari cucunya, KPH Warsokusumo (Raden Mas Sumitro), lahir garis keturunan Mangkunegaran dari ayahnya dan kearifan lokal Berbek dari ibunya.