Beranda

Kasus Agus Buntung: Momentum Reformasi Lapas untuk Narapidana Disabilitas

Kasus Agus Buntung: Momentum Reformasi Lapas untuk Narapidana Disabilitas
Kasus Agus Buntung juga menjadi bahan refleksi pemerintah terkait aksesibilitas bagi narapidana disabilitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) (Ist)

INDONESIAONLINEKasus pidana yang melibatkan Agus Buntung, seorang penyandang disabilitas, menguak karut marutnya sistem pemasyarakatan Indonesia. Tak hanya soal hukuman yang dijatuhkan, kasus ini menyorot minimnya aksesibilitas bagi narapidana disabilitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Kondisi memprihatinkan ini mendesak perhatian dan aksi nyata pemerintah untuk melakukan reformasi sistem pemasyarakatan.

Kukuh Dwi Kurniawan dosen hukum dari salah satu kampus swasta di Malang, menegaskan urgensi pembenahan fasilitas dan layanan di Lapas. Sebagian besar Lapas di Indonesia masih menggunakan infrastruktur peninggalan kolonial Belanda yang tidak memadai untuk jumlah tahanan saat ini.

Overkapasitas yang mencapai 800 persen di beberapa Lapas, seperti Lapas Bagansiapiapi, menjadikan rehabilitasi narapidana sangat sulit.

“Narapidana dituntut berebut napas di dalam lapas. Bayangkan saja, dalam satu sel dengan kapasitas 17 orang, dihuni oleh 60 orang dalam pengawasan satu sipir. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan butuh solusi konkret dari negara,” ungkap Kukuh.

Permasalahan semakin kompleks bagi narapidana disabilitas. Fasilitas pendukung kebutuhan mereka nyaris tidak ada. Mulai dari mobilitas, perawatan kesehatan, hingga akses terhadap layanan rehabilitasi, semuanya menjadi tantangan berat. Hal ini bertentangan dengan asas hukum Equality before the law yang menjamin kesetaraan di hadapan hukum.

“Pelaku pidana penyandang disabilitas tetap dikenai hukuman yang setara, kecuali terdapat alasan pemaaf atau kondisi darurat,” tegas Kukuh.

Namun, ia juga menekankan tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan dasar narapidana disabilitas, termasuk penyediaan fitur mobilitas, akses layanan kesehatan khusus, dan program rehabilitasi yang inklusif. Tanpa perhatian khusus, penjara justru dapat memperburuk kondisi fisik dan mental mereka.

Kukuh mengusulkan kolaborasi antara Lapas dan balai kerja untuk memberikan pelatihan keterampilan mandiri bagi narapidana, termasuk yang menyandang disabilitas. Program ini diharapkan dapat memudahkan reintegrasi mereka ke masyarakat pasca pembebasan. Dukungan masyarakat juga penting untuk mencegah hukuman sosial yang seringkali dialami mantan narapidana.

“Negara yang maju membutuhkan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait. Penjara bukan hanya tempat penghukuman, tetapi juga penginsafan. Kita harus memastikan bahwa proses rehabilitasi berjalan optimal untuk semua pihak, tanpa terkecuali,” pungkasnya.

Kasus “Agus Buntung” menjadi momentum refleksi bagi sistem pemasyarakatan Indonesia. Reformasi mendasar harus dilakukan, bukan hanya dari segi infrastruktur, tetapi juga perubahan paradigma yang lebih manusiawi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk hak penyandang disabilitas.

Harapannya, tidak ada lagi narapidana yang kehilangan martabatnya karena fasilitas yang tidak memadai. Semoga kasus ini menjadi titik balik menuju sistem pemasyarakatan yang lebih berkeadilan bagi semua (as/dnv).

Exit mobile version