Sidang perdana kasus korupsi Sritex Iwan Lukminto memanas. Hotman Paris ajukan keberatan gunakan dalil UU BUMN terbaru dan pertanyakan audit BPK Rp 1 triliun.
INDONESIAONLINE – Ruang sidang utama Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Jawa Tengah, mendadak menjadi panggung pertarungan hukum kelas kakap pada Senin (22/12/2025). Dua figur sentral dari raksasa tekstil Asia Tenggara, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Iwan Lukminto (eks Direktur Utama) dan Iwan Kurniawan, duduk di kursi pesakitan.
Namun, sorotan tidak hanya tertuju pada rompi tahanan mereka, melainkan pada manuver hukum yang dilancarkan oleh kuasa hukum kawakan, Hotman Paris Hutapea, yang berpotensi mengubah lanskap penegakan hukum korporasi di Indonesia.
Sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan ini menyingkap tabir dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan korupsi yang disebut-sebut merugikan negara hingga Rp 1 triliun.
Angka yang fantastis ini muncul dari skandal fasilitas kredit himpunan bank negara (Himbara) yang macet. Namun, di balik angka tersebut, terdapat perdebatan fundamental mengenai definisi “Kerugian Negara” dalam tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pertarungan Tafsir UU No. 1 Tahun 2025
Hotman Paris tidak membuang waktu. Usai sidang, ia langsung melancarkan “serangan balik” terhadap konstruksi hukum Jaksa Penuntut Umum (JPU). Inti dari keberatan (eksepsi) yang akan diajukan kubu Sritex berpusat pada dualisme hukum antara ranah pidana korupsi dan ranah korporasi.
Hotman berargumen bahwa dakwaan jaksa menjadi obscuur libel (kabur) karena mengabaikan payung hukum terbaru, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN. Menurut Hotman, regulasi anyar ini telah mengubah paradigma penyaluran kredit BUMN dari ranah “Keuangan Negara” menjadi ranah “Bisnis Korporasi”.
“Penyaluran kredit terkait BUMN diatur oleh UU No. 1 Tahun 2025. Undang-undang itu masih berlaku dan tegas memisahkan kekayaan negara yang dipisahkan. Ini bukan lagi kewenangan kejaksaan, melainkan risiko bisnis perbankan murni,” tegas Hotman dengan nada tinggi.
Argumen ini menyentuh aspek krusial dalam hukum bisnis modern. Jika majelis hakim menerima dalil ini, maka status kredit macet Sritex bisa bergeser dari ranah pidana korupsi (Tipikor) menjadi ranah perdata. Ini adalah pertaruhan besar.
Jaksa mendakwa kedua bos Sritex menggunakan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 UU Tipikor, yang mengancam pelakunya dengan hukuman penjara seumur hidup jika terbukti memperkaya diri sendiri dan merugikan negara.
Misteri Audit BPK dan Angka Rp 1 Triliun
Selain aspek legal formal, pertahanan Hotman juga menukik pada validitas angka kerugian negara. Dalam kasus korupsi, actual loss (kerugian nyata) harus dibuktikan oleh lembaga auditor negara yang sah, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bukan sekadar perhitungan internal penyidik atau asumsi.
“Kami belum melihat hasil audit resmi BPK. Angka Rp 1 triliun itu dasarnya apa? Asumsi atau fakta? Kami akan meminta hasil audit pada sesi berikutnya. Jadi nanti di eksepsi bakal lebih jelas,” ujar Hotman.
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa kubu terdakwa akan menantang legal standing perhitungan kerugian negara yang diajukan jaksa.
Kasus ini menjadi sorotan tajam karena Sritex bukan sekadar perusahaan biasa. Sebagai salah satu pilar industri tekstil nasional yang mempekerjakan ribuan buruh, jatuhnya Sritex ke jurang kasus hukum berdampak sistemik.
Kejaksaan Agung sebelumnya telah menyita aset-aset strategis, termasuk Hotel Ayaka Suites, sebagai bagian dari upaya pengembalian kerugian negara (asset recovery).
Preseden Hukum Bagi Debitur Kakap
Pengamat hukum pidana korporasi menilai, sidang Sritex ini akan menjadi preseden (tolok ukur) baru. Jika argumen UU No. 1 Tahun 2025 yang dibawa Hotman Paris berhasil mematahkan dakwaan jaksa, maka akan terjadi gelombang baru dalam penanganan kasus kredit macet BUMN di masa depan.
Batas antara “Risiko Bisnis” dan “Niat Jahat” (mens rea) korupsi akan diuji habis-habisan di Pengadilan Tipikor Semarang dalam beberapa pekan ke depan.
Bagi Iwan Lukminto dan Iwan Kurniawan, eksepsi pekan depan adalah benteng pertahanan pertama. Namun bagi publik, kasus ini adalah ujian transparansi: apakah kerugian triliunan rupiah uang rakyat di bank pelat merah benar-benar akibat risiko bisnis yang gagal, atau akibat perampokan berkerah putih yang terstruktur? Palu hakim di Semarang yang akan menjawabnya.













