INDONESIAONLINE – Sebuah tepukan di punggung. Itulah yang diterima Pemerintah Kota Malang dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyusul kunjungan stafnya pada Jumat, 12 September 2025. Di tengah gelombang gejolak sosial yang melanda berbagai daerah, Malang diklaim berhasil menjaga ‘kondusivitas‘. Namun, di balik narasi pujian ini, terselip pertanyaan: harga apa yang harus dibayar warga untuk ‘kedamaian’ yang dijaga ketat itu?
Wali Kota Malang, Wahyu Hidayat, dengan bangga menyampaikan apresiasi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) atas “gerak cepat” Pemkot dan jajaran Forkopimda. Klaimnya, Malang mampu mengantisipasi potensi kerawanan, bahkan sukses mendongkrak kunjungan wisatawan di masa liburan.
“Kota Malang dinilai bagus menghadapi kejadian-kejadian kemarin, kondusif, dan tidak membuat masyarakat resah,” ujar Wahyu, seraya menyebut laporan mereka sesuai 11 arahan Mendagri.
Namun, ‘kejadian-kejadian kemarin’ yang dimaksud Wahyu bukan sekadar riak kecil. Laporan internal Pemkot sendiri menyebut penanganan insiden di Polresta Malang Kota, di mana 15 pos polisi sempat menjadi sasaran amuk massa.
Sebuah insiden yang seharusnya memicu alarm serius, bukan hanya apresiasi semata. Pertanyaannya, apakah ‘kondusivitas’ yang diagung-agungkan ini lahir dari solusi akar masalah, ataukah sekadar penumpukan dan penindakan cepat terhadap demo yang membuat pemerintah gerah?
Lebih jauh, ‘resep’ yang ditawarkan Kemendagri dan Pemkot Malang patut dicermati. Wahyu Hidayat menekankan penguatan Siskamling sebagai upaya berkelanjutan. Ide kuno yang kini kembali digembor-gemborkan, bukan melalui surat edaran, melainkan “kesadaran masyarakat dan sinergi antarwarga.”
Sebuah diksi halus untuk mendorong warga agar saling mengawasi, membangun jaring pengawasan yang tak terlihat, demi ‘keguyuban’ yang diimpikan pemerintah.
Wajib Lapor: Gotong Royong atau Jaring Informasi?
Anwar Harun Damanik, Staf Ahli Mendagri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik, semakin memperjelas arahnya. “Deteksi dini kerawanan harus dimulai dari lingkungan terkecil,” katanya, menunjuk RT/RW sebagai garda terdepan.
Mekanisme wajib lapor bagi setiap pendatang ditegaskan sebagai kunci. “Kalau ini tidak dilakukan, bisa terjadi penumpukan massa tanpa terdeteksi siapa yang membelakanginya.”
Sebuah pernyataan yang ambigu, mengimplikasikan bahwa setiap pertemuan warga yang tak terdaftar berpotensi menjadi ancaman.
Sistem informasi perlindungan masyarakat, yang berjenjang dari RT, kelurahan, kecamatan, hingga ke Bakesbangpol, siap menjadi gudang data potensi ‘ancaman’ dari masyarakat itu sendiri. Gotong royong, kini, adalah wajib lapor. Bukan lagi sekadar bahu-membahu membangun fasilitas, melainkan bahu-membahu menyediakan informasi bagi pengawasan.
Seluruh dinamika masyarakat, menurut Anwar, harus diawasi sejak dini agar pemerintah bisa “mengambil langkah pencegahan sebelum terjadi eskalasi masalah.”
Jadi, ketika Kemendagri memberikan apresiasi atas ‘kondusivitas’ Pemkot Malang, patutkah kita bertepuk tangan? Ataukah kita perlu mencermati lebih jauh, bagaimana ‘rasa aman dan nyaman’ itu diciptakan?
Apakah melalui dialog dan penyelesaian masalah substantif, atau melalui pembangunan sebuah sistem pengawasan berlapis yang memposisikan setiap warga sebagai mata-mata potensial negara? Di era pasca-gejolak, narasi ‘kondusif’ bisa jadi sekadar selubung bagi penguatan kontrol sosial yang tak kasat mata (rw/dnv).