Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa diperiksa KPK sebagai saksi kasus korupsi dana hibah. Pakar hukum pidana Unair mengungkap posisi krusial gubernur.
INDONESIAONLINE – Pemeriksaan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Mapolda Jatim memantik diskursus luas. Di tengah spekulasi publik, seorang pakar hukum pidana menegaskan bahwa pemanggilan tersebut adalah langkah prosedural yang logis dan krusial untuk membongkar tuntas megaskandal dugaan korupsi dana hibah yang bersumber dari APBD Jatim.
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Prof. Dr. Nur Basuki Minarno, memberikan analisis tajam terkait posisi gubernur dalam kasus yang telah menjerat 21 tersangka ini.
Menurutnya, keterlibatan seorang kepala daerah sebagai saksi adalah keniscayaan dalam struktur tata kelola keuangan negara.
Posisi Gubernur Sebagai Pemegang Kuasa Anggaran
Prof. Basuki menjelaskan, dasar utama pemanggilan Khofifah adalah perannya sebagai kepala daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, gubernur merupakan pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Seluruh alur anggaran, termasuk dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas), pada akhirnya berada di bawah otoritasnya.
“Kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Jadi kalau gubernur dimintai keterangan itu sangat wajar,” ujar Prof. Basuki, Kamis (10/7/2025).
“Akan menjadi aneh jika gubernur tidak diperiksa, karena produk pengeluaran anggaran itu kan bentuknya peraturan gubernur (pergub),” tegasnya.
Pernyataannya menggarisbawahi bahwa jejak administrasi dan persetujuan akhir dalam pencairan dana APBD pasti akan bermuara pada kepala daerah. Oleh karena itu, kesaksiannya diperlukan untuk memetakan alur kebijakan dan pengambilan keputusan dari hulu hingga hilir.
Saksi Bukan Tersangka: Membedah Status Hukum
Meskipun pemanggilannya wajar, Prof. Basuki memberikan catatan penting yang seringkali disalahpahami publik. Status sebagai saksi tidak secara otomatis mengindikasikan keterlibatan dalam tindak pidana. Dalam proses penyidikan, KPK membutuhkan keterangan dari berbagai pihak untuk membangun konstruksi perkara yang utuh.
“Yang perlu dicatat, jikalau ada seseorang diperiksa sebagai saksi, belum tentu mereka terlibat dalam permufakatan jahat,” tegasnya.
Seorang saksi adalah pihak yang dianggap mengetahui, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa. Keterangan mereka berfungsi sebagai salah satu kepingan puzzle.
“Dan keterangan saksi itu pun tidak berdiri sendiri karena nantinya akan dicocokkan dan dilihat apakah memiliki kesesuaian, berelevansi dengan data yang lain,” tambahnya.
Data lain tersebut bisa berupa keterangan saksi lain, keterangan ahli, dokumen, maupun pengakuan tersangka.
Mengurai Benang Kusut Dana Hibah Pokir
Fokus penyidikan KPK terletak pada dana hibah yang dialokasikan untuk menindaklanjuti pokok-pokok pikiran (Pokir) DPRD Jawa Timur pada tahun anggaran 2019-2022. Mekanisme Pokir sejatinya merupakan jembatan aspirasi antara konstituen dengan pemerintah daerah, di mana anggota dewan mengusulkan program berbasis kebutuhan masyarakat yang didapat dari hasil reses.
Namun, celah ini kerap menjadi titik rawan korupsi. Dalam kasus ini, diduga terjadi praktik suap-menyuap dan pemotongan dana agar usulan Pokir dari anggota legislatif tertentu bisa lolos dan dicairkan melalui APBD. Di sinilah sinergi antara eksekutif dan legislatif dalam perencanaan, penganggaran, hingga penetapan APBD menjadi sorotan.
“Dalam pemberian hibah pasti melibatkan eksekutif dengan legislatif dalam perencanaan dan penganggaran sampai ditetapkannya APBD,” jelas Prof. Basuki.
Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Individual
Hingga kini, KPK telah menetapkan 21 tersangka yang terdiri dari 4 penerima suap (3 penyelenggara negara dan 1 staf) serta 17 pemberi suap (15 swasta dan 2 penyelenggara negara). Angka ini menunjukkan bahwa KPK menyasar individu-individu yang diduga aktif melakukan perbuatan melawan hukum.
Prof. Basuki menekankan prinsip fundamental dalam hukum pidana: pertanggungjawaban pidana bersifat individual. Artinya, siapa yang berbuat, dialah yang harus bertanggung jawab.
“Prinsipnya dalam hukum pidana siapa yang melakukan kesalahan, maka dialah yang dimintai tanggung jawab pidana,” katanya.
“Jika kemudian dalam pelaksanaannya ada pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian daerah, maka pihak tersebutlah yang harus bertanggung jawab,” lanjutnya.
Pemeriksaan terhadap Gubernur Khofifah, dalam perspektif ini, menjadi bagian dari upaya KPK untuk memvalidasi informasi dan memastikan tidak ada detail yang terlewat dalam membongkar jaringan korupsi dana hibah yang telah merugikan keuangan negara dan mencederai kepercayaan publik.
Proses hukum ini akan terus berjalan untuk menemukan siapa saja aktor intelektual dan pelaku lapangan yang paling bertanggung jawab (mbm/dnv).