Ratusan ibu-ibu di Sumberpucung, Malang, meriahkan HUT ke-80 RI dengan Festival Hadrah perdana. Lebih dari sekadar perayaan, ajang ini jadi simpul silaturahmi, upaya pengikisan stigma ‘Abangan’, dan pelestarian seni islami. Temukan kisah inspiratif di balik dentuman rebana.
INDONESIAONLINE – Nada rebana dan lantunan salawat menggema syahdu di pendapa Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, Rabu (27/8/2025). Bukan dari panggung megah, melainkan dari panggung sederhana yang diramaikan oleh ratusan tangan terampil para ibu-ibu.
Dalam balutan semangat kemerdekaan dan nuansa islami, Festival Hadrah Ibu-Ibu perdana ini bukan sekadar ajang adu kemampuan, melainkan simpul penting bagi perubahan sosial dan pelestarian budaya di tengah masyarakat.
Sebanyak 22 kelompok hadrah, melibatkan total 339 peserta dari hampir seluruh desa di Sumberpucung, saling unjuk kebolehan. Group-group seperti As Salam dari Desa Karangkates, Ar Ridho Senggreng, dan Baitussalam Sumberpucung menjadi bukti nyata antusiasme yang membuncah. Festival ini terasa spesial, bukan hanya karena digelar dalam rangka memperingati HUT ke-80 Kemerdekaan RI, tetapi juga sebagai momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dirayakan secara bersamaan.
Menebus Stigma dan Menggaungkan Moderasi Beragama
Di balik kemeriahan kompetisi yang memperebutkan hadiah voucher umrah senilai Rp 15 juta ini, tersimpan misi yang lebih dalam. Camat Sumberpucung Sri Pawening tak menampik bahwa wilayahnya selama ini lekat dengan stigma ‘Abangan’—sebuah terminologi yang sering merujuk pada masyarakat muslim yang kurang intens dalam praktik ritual keagamaan formal.
“Selama hampir dua tahun saya memimpin, memang Sumberpucung dikenal sebagai wilayah ‘Abangan’,” ungkap Sri Pawening dengan lugas. “Inilah salah satu alasan kami semua menggagas Festival Hadrah dalam momentum kemerdekaan ke-80 ini. Kami ingin menggaungkan nuansa Islami dengan hadrah al-banjari ini,” imbuh Sri Pawening dalam sambutannya, Rabu (27/8/2025).
Pernyataan ini sejalan dengan berbagai kajian yang menunjukkan bahwa pelibatan seni dan budaya lokal dapat menjadi jembatan efektif dalam memperkuat identitas keagamaan dan mempromosikan moderasi. Sebuah studi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Beragama Kementerian Agama (2020) menyebutkan bahwa kegiatan keagamaan berbasis budaya seperti hadrah memiliki potensi besar untuk merangkul berbagai kalangan, termasuk mereka yang sebelumnya merasa terasing dari lingkup keagamaan formal.
Silaturahmi dan Pemberdayaan Komunitas
Mayor Purn Sapardi, Ketua Panitia Hari Besar Nasional (PHBN) Kecamatan Sumberpucung, berharap festival ini menjadi agenda rutin tahunan dan menginspirasi pihak lain untuk menjadi “orang tua asuh” bagi grup-grup hadrah yang sudah eksis di desa-desa.
“Harapan besar saya seperti itu. Karena memang grup-grup ini kan sudah ada di desa-desa, tinggal bagaimana dukungannya agar tetap eksis,” papar Sapardi.
Harapan ini sangat relevan. Data dari Kementerian Koperasi dan UKM (2023) menunjukkan bahwa penguatan komunitas lokal, termasuk kelompok seni seperti hadrah, dapat menjadi katalisator bagi pemberdayaan ekonomi dan sosial perempuan.
Dengan adanya “orang tua asuh” atau dukungan berkelanjutan, potensi kelompok-kelompok ini untuk berkembang tidak hanya sebagai wadah seni, tetapi juga sebagai pilar kegiatan sosial dan ekonomi, akan semakin terbuka. Misalnya, melalui pelatihan manajemen kelompok, pengadaan alat musik yang lebih baik, atau bahkan pemasaran pertunjukan untuk kegiatan-kegiatan lokal.
Menginspirasi Generasi Muda dan Memperkuat Jaringan Ulama-Umaro-Umat
Lebih jauh, Festival Hadrah ini menjadi upaya strategis untuk mempererat tali silaturahmi antara ulama, umaro (pemerintah), dan umat. Dengan melibatkan semua elemen masyarakat dalam satu kegiatan yang positif, terbangunlah jembatan komunikasi dan pemahaman bersama.
“Jadi memang ada beberapa tujuan diadakannya festival ini. Pertama tentu untuk merayakan HUT ke-80 kemerdekaan RI dan juga kita rayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW,” imbuh Sri Pawening.
Salah satu peserta yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan kebahagiaannya. “Ini baru pertama kalinya ada festival hadrah se-kecamatan. Kami semua bisa bertemu dalam satu kegiatan. Tentunya kami mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Kecamatan Sumberpucung, panitia, dan semua pihak yang menggelar acara ini,” ucapnya penuh harap agar kegiatan ini bisa berkelanjutan.
“Harapannya biar kesenian hadrah ini semakin dikenal generasi muda juga,” tandasnya.
Antusiasme ini menjadi indikator positif. Menurut data dari Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PBNU (2024), seni hadrah memiliki daya tarik yang kuat untuk menarik minat generasi muda jika disajikan dengan inovasi dan kesempatan untuk berekspresi. Festival seperti ini bukan hanya melestarikan tradisi, tetapi juga membuka ruang bagi adaptasi dan kreasi baru.
Festival Hadrah Ibu-Ibu di Sumberpucung adalah lebih dari sekadar perlombaan. Ia adalah potret nyata semangat kebersamaan, upaya pelestarian budaya, dan strategi cerdas untuk menebus stigma lama. Dengan dentuman rebana yang merdu, Sumberpucung tidak hanya merayakan kemerdekaan, tetapi juga menegaskan identitasnya sebagai wilayah yang kaya akan budaya dan spiritualitas. Sebuah contoh inspiratif tentang bagaimana seni dapat menjadi agen perubahan sosial.