Direktur Eksekutif IPO, Dedi Kurnia Syah, menilai daya tarik Jokowi memudar di mata Budi Arie Setiadi, mendorong Ketua Umum Projo itu memilih Gerindra daripada PSI. Ini adalah analisis mendalam tentang motif pragmatis di balik manuver politik.
INDONESIAONLINE – Keputusan Ketua Umum Relawan Projo, Budi Arie Setiadi, untuk merapat ke Partai Gerindra daripada Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mencuatkan pertanyaan besar tentang loyalitas politik pasca-era kekuasaan. Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menganalisis bahwa pergeseran ini bukan sekadar manuver biasa, melainkan cerminan pragmatisme politik yang mengikis daya tarik simbolis Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), di mata politisi.
Menurut Dedi, sosok Jokowi, yang kini tidak lagi berada di puncak kekuasaan, secara inheren kehilangan magnet politiknya. “Jokowi sendiri tidak lagi menarik karena bukan penguasa, posisi Gibran (Rakabuming Raka) juga tidak berpengaruh,” kata Dedi, Minggu (2/11/2025).
Penilaian ini menjadi fondasi kuat mengapa PSI, partai yang kerap diidentikkan dengan trah Jokowi, tak lagi menjadi opsi menarik bagi politisi pragmatis seperti Budi Arie.
Kalkulasi Untung Rugi: Lebih dari Sekadar Ideologi
Analisis Dedi menunjukkan bahwa pilihan Budi Arie ke Gerindra didasari oleh kalkulasi “untung rugi” dalam menjaga dan mengamankan karier politiknya, alih-alih loyalitas ideologis semata. Hal ini sejalan dengan tren politik di Indonesia, di mana seringkali elit politik cenderung berkoalisi atau berpindah partai berdasarkan kepentingan sesaat atau prospek kekuasaan, bukan hanya kesamaan ideologi.
Data dari Indikator Politik Indonesia pasca-Pemilu 2024 menunjukkan bahwa elektabilitas partai yang berkuasa cenderung lebih tinggi, menawarkan jaminan posisi dan akses politik yang lebih besar bagi kadernya.
Budi Arie secara terbuka menyatakan keinginannya bergabung dengan Gerindra dalam Kongres III Projo di Jakarta, Sabtu (1/11/2025). “Ya secepatnya (gabung Gerindra),” ujar Budi Arie, seraya menegaskan komitmennya untuk memperkuat agenda politik Presiden Prabowo Subianto. Pernyataan ini memperkuat asumsi bahwa langkahnya adalah bagian dari strategi adaptasi kekuasaan.
Gerindra: Suaka Politik dan Jaminan Karier
Lebih jauh, Dedi menyoroti faktor perlindungan hukum dan politik sebagai pendorong utama. Ia membeberkan bahwa Budi Arie “membutuhkan perlindungan politik” akibat sejumlah isu hukum yang membayanginya.
“Dengan bergabung ke PSI, Budi Arie tidak miliki perlindungan, tetapi Gerindra tentu berbeda, karena partai penguasa, sehingga alasan memilih Gerindra lebih pada soal suaka hukum,” jelas Dedi.
Klaim ini diperkuat oleh fakta bahwa partai politik yang menjadi bagian dari koalisi pemerintahan seringkali memiliki kapabilitas lebih besar dalam memberikan “perlindungan” atau dukungan bagi kadernya yang menghadapi masalah hukum.
Sebuah studi kasus oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2023 menunjukkan bahwa politisi yang berafiliasi dengan partai berkuasa memiliki tingkat keberhasilan lebih tinggi dalam menghadapi gugatan hukum atau sengketa politik.
PSI, meskipun memiliki potensi dan telah berhasil menempatkan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden terpilih, dinilai Dedi belum mampu menawarkan jaminan politik yang setara dengan partai penguasa.
“Dari sisi politik, terhitung tepat bergabung ke Gerindra, selain partai penguasa, juga ada jaminan Gerindra menjaga karir kekuasaan Budi Arie. Sementara PSI, masih belum ada jaminan apapun,” tutup Dedi.
Manuver Budi Arie ini menjadi representasi nyata dari dinamika politik Indonesia pasca-pergantian kekuasaan, di mana pragmatisme dan kalkulasi kepentingan pribadi seringkali mengalahkan loyalitas yang pernah terbangun. Ini adalah gambaran dari realitas politik yang terus berubah, di mana power menjadi mata uang paling berharga.













