INDONESIAONLINE – Ratu Harisbaya putri dari Kerajaan Harisbaya (atau Arosbaya) di Madura, adalah sosok yang luar biasa dan penuh misteri dalam sejarah Nusantara.
Meskipun nama aslinya tidak tercatat dalam sejarah, perjalanan hidupnya yang penuh liku dan intrik menjadi bagian penting dari sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa pada abad ke-16.
Masa Muda di Pajang: Pencarian Ilmu dan Cinta
Pada abad ke-16, Kerajaan Pajang (1548-1568) berdiri sebagai salah satu kekuatan utama di Jawa. Di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya, Pajang menerapkan kebijakan strategis dengan meminta negeri-negeri bawahannya mengirimkan putra-putri mereka ke pusat kerajaan.
Kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk mendidik mereka menjadi pemimpin masa depan, tetapi juga sebagai tanda kesetiaan nyata dari setiap negeri bawahan.
Harisbaya, putri dari Kadipaten Harisbaya di Madura adalah salah satu anak bangsawan yang dikirim untuk belajar di Pajang. Dikenal karena kecantikannya yang memesona dan kecerdasannya yang luar biasa, Harisbaya menarik perhatian banyak orang.
Selama di Pajang, dia terlibat dalam lingkungan sosial yang dinamis dan bertemu dengan bangsawan muda dari berbagai daerah di Jawa, termasuk Panembahan Ratu I dari Cirebon dan Geusan Ulun dari Sumedang Larang. Ketiganya menjadi murid Sultan Hadiwijaya yang mengajarkan mereka tentang politik, administrasi, serta nilai-nilai moral dan etika.
Seiring waktu, Harisbaya dan Geusan Ulun menjalin hubungan yang lebih dari sekadar persahabatan. Namun, cinta mereka harus terpisah ketika Geusan Ulun kembali ke Sumedang untuk mengambil alih takhta. Harisbaya tetap di Pajang, membawa kenangan manis dan pahit dari cintanya dengan Geusan Ulun.
Takdir Menjadi Selir Sultan Cirebon
Setelah wafatnya Sultan Hadiwijaya, Kesultanan Pajang mengalami tekanan dari Mataram yang semakin kuat di bawah pimpinan Sutawijaya. Untuk mempertahankan dukungan dari sekutu-sekutunya, Arya Panggiri, pemimpin baru Pajang, memberikan Harisbaya kepada Sultan Cirebon, Panembahan Ratu I, sebagai selir.
Pemberian ini bukan hanya sebagai tanda penghargaan, tetapi juga untuk memperkuat aliansi di tengah tekanan dari Mataram.
Di istana Cirebon, Harisbaya menjalani kehidupannya sebagai selir. Namun, takdir membawanya kembali bertemu dengan Geusan Ulun, yang datang ke Cirebon dalam kunjungan kenegaraan. Pertemuan ini membangkitkan kembali perasaan lama mereka, meskipun Harisbaya sudah menjadi selir Sultan Cirebon.
Setelah bertahun-tahun, Geusan Ulun, kini Raja Sumedang Larang, melakukan kunjungan tahunan ke Pajang. Dalam perjalanan pulang, rombongan Geusan Ulun mampir ke Cirebon, di mana Harisbaya dan Geusan Ulun bertemu kembali.
Cinta lama mereka kembali menyala, dan pada tahun 1585, Geusan Ulun memutuskan untuk membawa Harisbaya kembali ke Sumedang Larang, meskipun harus menghadapi konsekuensi perang dengan Cirebon.
Perang Cirebon dan Sumedang: Harga Diri yang Tersinggung
Peristiwa ini menjadi pukulan besar bagi Panembahan Ratu I, yang merasa harga dirinya terinjak-injak. Dia mengumumkan perang terhadap Sumedang. Geusan Ulun, yang sangat mencintai Harisbaya, tidak gentar dengan ancaman tersebut.
Perang antara Cirebon dan Sumedang berlangsung sengit, tetapi akhirnya berakhir dengan kesepakatan damai. Setelah kematian Jayaperkasa, salah satu senopati Sumedang, kedua belah pihak merundingkan perdamaian.
Panembahan Ratu memutuskan untuk menceraikan Harisbaya, dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah Sindangkasih kepada Cirebon. Geusan Ulun juga berjanji bahwa anak yang dikandung Harisbaya dari Panembahan Ratu akan menjadi pewaris tahta Sumedang.
Kehidupan Baru di Sumedang Larang
Setelah semua peristiwa tersebut, Harisbaya menjalani hidupnya di Sumedang Larang sebagai istri Geusan Ulun. Meskipun hidupnya penuh dengan liku-liku, Harisbaya berhasil menjadi bagian penting dari sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa.
Kisahnya mencerminkan betapa kompleksnya hubungan antara kerajaan-kerajaan pada masa itu, serta bagaimana politik dan cinta saling berkaitan dan mempengaruhi nasib individu dan negeri.
Harisbaya tetap dikenang dalam sejarah Nusantara sebagai sosok wanita yang kuat, yang mampu mengubah jalan hidupnya di tengah dinamika politik kerajaan-kerajaan besar di Jawa.
Kisahnya adalah bukti nyata bahwa sejarah tidak hanya ditulis oleh para raja dan penguasa, tetapi juga oleh wanita-wanita kuat yang mampu membentuk nasib mereka sendiri di tengah intrik politik pada masa itu (ar/dnv).