Kisah Dramatis Raden Patah dan Raden Kusen, Penutup Majapahit dan Pendiri Demak

Kisah Dramatis Raden Patah dan Raden Kusen, Penutup Majapahit dan Pendiri Demak
Ilustrasi perjalanan Raden Patah (Ist)

INDONESIAONLINE – Di penghujung abad ke-15, ketika cahaya Hindu-Buddha di timur Nusantara mulai meredup dan fajar keislaman perlahan menapaki pesisir-pesisir utara Jawa, sebuah mozaik takdir terlukis untuk dua pemuda bersaudara. Mereka adalah Raden Patah dan Raden Kusen, dua nama yang kelak tak terpisahkan dari lembaran akhir kejayaan Majapahit dan babak awal lahirnya Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa.

Kisah mereka adalah perpaduan antara darah bangsawan, pencarian spiritual, dan benturan peradaban yang mengubah arah sejarah Nusantara selamanya.

Asal-Usul yang Membelah Dunia

Raden Patah, sosok sentral dalam narasi ini, adalah sebuah paradoks historis. Sumber-sumber seperti Babad Tanah JawiSerat Kandaning Ringgit Purwa, dan Carita Purwaka Caruban Nagari menyebutnya putra Prabu Brawijaya, Raja Majapahit terakhir. Namun, identitas sang raja dan ibu Raden Patah ini penuh drama.

Versi populer menyebutkan ibunya adalah seorang selir Tionghoa yang cantik, bernama Siu Ban Ci, putri dari Tan Go Hwat (Syekh Bantong), seorang Muslim Tionghoa dari Gresik. Kecemburuan permaisuri memicu Prabu Brawijaya menyerahkan selir yang tengah hamil itu kepada Arya Damar, penguasa Palembang.

Di sanalah Raden Patah lahir, membawa dalam dirinya persilangan dua dunia: aristokrasi Hindu-Jawa dan imigran Muslim yang kala itu seringkali dipandang rendah (mleccha).

Raden Patah tumbuh di bawah asuhan Arya Damar, dididik dalam nilai-nilai Hindu-Buddha, namun benih keislaman telah ditanamkan oleh sang ibu. Ketidakpuasannya akan pemahaman agama yang mendalam memuncak dalam perdebatan sengit dengan Arya Damar.

Naskah Serat Kandaning Ringgit Purwa menggambarkan Arya Damar berpegang pada “ngelmu Buda,” sementara Raden Patah memilih jalur tauhid. Kekecewaan itu begitu dalam, hingga ia mengambil langkah ekstrem: meninggalkan istana Palembang, menyepi, dan melakukan uzlah di Gunung Sumirang.

Di tengah pengasingan spiritual itu, Raden Kusen, putra kandung Arya Damar, muncul. Ia melihat kecemerlangan visi spiritual sang saudara tiri dan tanpa ragu memutuskan untuk meninggalkan ayahnya.

“Pejah gesang paman kula, andherek panduka,” sumpahnya—hidup dan mati akan diabdikan bagi Raden Patah. Sebuah deklarasi kesetiaan yang mengukuhkan ikatan persaudaraan mereka di tengah gejolak perubahan.

Perjalanan mereka adalah sebuah epik. Melintasi hutan, menyusuri sungai, hingga ke tepi samudra, dalam kelaparan dan kelelahan. Takdir mempertemukan mereka dengan seorang pelaut Tiongkok yang membawa mereka menyeberang ke tanah Jawa.

Di sanalah, sebuah pertemuan monumental terjadi dengan Sunan Ampel, ulama terkemuka Wali Songo, yang kelak menjadi guru spiritual utama mereka.

Sunan Ampel tak hanya menerima mereka sebagai murid, tetapi juga mengikat mereka dalam ikatan kekeluargaan. Raden Patah dinikahkan dengan Dewi Murtosimah, putri Sunan Ampel, sementara Raden Kusen dengan cucu sang Sunan, Nyai Wilis.

Ikatan ini bukan sekadar legitimasi sosial, melainkan penguatan jaringan dakwah dan legitimasi spiritual yang akan merajut kekuatan Islam di pesisir utara Jawa.

Dilema di Batas Dua Kekuasaan

Kabar tentang dua pemuda bangsawan Palembang yang berguru kepada Sunan Ampel sampai ke telinga Prabu Brawijaya, Raja Majapahit. Dengan kearifan khasnya, Prabu Brawijaya menyambut baik. Raden Kusen dipanggil ke istana dan diangkat sebagai Adipati Terung (kini Sidoarjo), sebuah wilayah strategis di perbatasan Majapahit dan kekuatan Islam yang tumbuh.

Penunjukan ini menunjukkan Majapahit, meski bercorak Hindu-Buddha, tidak sepenuhnya menolak Islam, melainkan mencoba mengintegrasikannya.

Namun, jalan Raden Patah berbeda. Setelah ditugaskan Sunan Ampel membuka pedukuhan di Glagah Wangi, ia menghadapi penolakan keras dari bupati lokal. Ia mundur ke wilayah Demak, membangun komunitas baru yang berkembang pesat.

Majapahit kembali mengendus pertumbuhan ini. Raden Patah pun diangkat menjadi Adipati Bintara, dengan kewajiban menghadap Majapahit setiap tahun.

Akan tetapi, catatan Babad Tanah Jawi dan Sadjarah Banten menyiratkan konflik yang lebih dalam. Lembu Sora, adipati Bintara sebelumnya, menentang keras dakwah Islam yang digencarkan Raden Patah. Konfrontasi tak terhindarkan.

Raden Patah, bersama pengikutnya, menggulingkan Lembu Sora dalam serangan malam. Ia kemudian menyatukan Bintara dengan Demak, melahirkan entitas baru: Demak Bintara. Ini bukan sekadar peristiwa politik, melainkan transisi simbolik: dari kekuasaan lama menuju kekuasaan Islam yang sah secara sosial dan spiritual. Raden Patah bahkan mengangkat anak Lembu Sora, Lembu Peteng, sebuah gestur rekonsiliasi yang cerdas.

Raden Patah akhirnya mendeklarasikan misi besarnya dengan gelar lengkap: Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Ini adalah deklarasi kekuasaan sekaligus misi penyebaran Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Demak di bawah pimpinannya menjadi kerajaan Islam pertama yang berdaulat penuh, sekaligus poros kekuatan baru yang menandai akhir era Majapahit.

Konflik Saudara, Rekonsiliasi Peradaban

Puncak drama terjadi saat Majapahit dan Demak, dua entitas yang dipimpin saudara seayah, saling berhadapan. Raden Kusen, sebagai Adipati Terung, berada di tengah dilema terberatnya. Ia memimpin pasukan Majapahit melawan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah sendiri. 

Babad Tanah Jawi mencatat getirnya pertempuran, di mana Raden Kusen bahkan berhasil membunuh Sunan Ngudung—panglima militer Demak sekaligus ayah dari Sunan Kudus, murid Wali Songo yang kelak menjadi menantunya.

Meski kemenangan awal berpihak pada Majapahit, kekuatan spiritual dan militer Demak kian menguat. Serangan ketiga pada 1517 M, tahun yang oleh banyak sejarawan dijadikan penanda resmi berakhirnya Majapahit, menjadi titik balik.

Di saat genting, Raden Kusen, menyadari bahwa yang memimpin pasukan lawan adalah menantunya sendiri (Sunan Kudus kelak menikah dengan putrinya), memilih untuk mundur. Mundurnya Adipati Terung ini menandai pecahnya pertahanan terakhir Majapahit.

Namun, kisah Raden Kusen tak berakhir di sana. Sebuah babak rekonsiliasi yang mengharukan tercatat dalam Kronik Sam Poo Kong dan Mertasinga. Sunan Kudus mengirim surat pribadi kepada Raden Kusen, menawarkan pengampunan atas kematian ayahandanya.

Dengan kebesaran jiwa dan kesadaran akan perubahan zaman, Raden Kusen menyerahkan diri ke Demak. Ia disambut hormat oleh Raden Patah dan Sunan Kudus, menandai integrasi elite lama ke dalam tatanan baru.

Raden Kusen menikah dengan Nyai Wilis dari garis keturunan Sunan Ampel, dan anak-anak mereka, Arya Balitar (Adipati Balitar) dan Ki Ageng Sengguruh (Adipati Sengguruh), kemudian menjadi penguasa lokal di bawah struktur Kesultanan Demak.

Mereka melanjutkan misi dakwah Islam di pedalaman Jawa Timur, bahkan hingga wilayah keras seperti Malang Selatan. Aliansi ini semakin kuat ketika Sunan Kudus menikahi Dyah Ayu Uttari, putri Raden Kusen, menyatukan darah bangsawan Majapahit dan Wali Songo, serta memperkokoh legitimasi Demak.

Loyalitas Raden Kusen kepada Majapahit menjadikannya tokoh tragis sekaligus monumental. Ia adalah simbol kesetiaan pada tatanan lama, tetapi juga jembatan kunci menuju era baru. Perjalanannya dari panglima Majapahit yang setia menjadi bagian dari elite baru Demak, menunjukkan kompleksitas perubahan politik di Nusantara.

Perang saudara antara Raden Kusen dan Raden Patah bukan sekadar konflik kekuasaan, melainkan pertarungan nilai, identitas, dan masa depan. Dalam peristiwa itulah, sejarah Jawa bergeser dari Majapahit yang bercorak Hindu-Buddha menuju Demak yang bercorak Islam, tanpa sepenuhnya menghapus warisan lama—melainkan menyerapnya dalam bentuk baru.

Mereka adalah anak yang diasingkan, raja yang bangkit, dan benteng terakhir yang akhirnya menjadi jembatan menuju fajar peradaban baru (ar/dnv).