INDONESIAONLINE – Jawa Timur, sebuah provinsi yang kaya akan sejarah dan budaya, juga memiliki banyak bangunan bersejarah yang menjadi saksi bisu perjalanan waktu. Salah satu warisan berharga dari masa Hindia Belanda adalah Pabrik Gula Modjopanggung.
Bangunan megah ini bukan hanya menjadi simbol kejayaan industri gula pada tahun 1926, tetapi juga menyimpan cerita inspiratif tentang kebaikan, emansipasi, dan perjuangan.
Dalam sejarah yang tercatat, Pabrik Gula Modjopanggung di Tulungagung, Jawa Timur, mencatat perannya sebagai salah satu industri utama pemerintah kolonial pada masanya. Bangunan yang dihiasi oleh arsitektur khas Belanda ini bukan hanya tempat pengolahan tebu menjadi butiran gula pasir, tetapi juga merupakan penanda berbagai nilai historis yang luas.
Mengikuti jejak beberapa surat kabar Belanda, kita dapat menyusuri awal pembangunan Pabrik Gula Modjopanggung dan melibatkan sepasang suami istri Belanda yang memiliki pengetahuan yang luas. Nama pemilik pabrik ini adalah Tuan Dinger (Toean Dinger). Mereka berdua memegang prinsip-prinsip yang mengedepankan kebaikan, disiplin, dan kesetaraan.
Setiap hari, Tuan Dinger dan istrinya dengan sepenuh hati mengelola dan merawat pabrik ini. Dan perlakuan mereka terhadap para buruh selalu penuh kebaikan. Mereka tidak pernah memeras atau menekan buruh tebu untuk bekerja di luar batas, sehingga Pabrik Gula Modjopanggung dikenal sebagai tempat pengolahan tebu yang tidak terpengaruh oleh segala jenis pemogokan. Para buruh di pabrik ini setia karena Tuan Dinger selalu memperlakukan mereka dengan baik.
Namun, suatu hari, Tuan Dinger meninggal dunia, dan tongkat kepemimpinan Pabrik Gula Modjopanggung berpindah ke tangan istrinya, Ny Dinger. Ny. Dinger bukan hanya seorang pengelola yang tangguh, tetapi juga seorang tokoh emansipasi wanita Belanda yang selalu mempromosikan kesetaraan gender di antara kaum hawa pribumi.
Tuan Dinger, ketika masih hidup, telah membangun Pabrik Gula Modjopanggung dari hasil keringatnya setelah ia pensiun dari pekerjaan sebagai bankir. Tuan Dinger merupakan tokoh Belanda yang produktif, dan setelah pensiun, ia menyibukkan diri dengan mengabdi pada bank partikelir milik orang Eropa di Jawa Timur. Namun, banyak yang berpendapat bahwa kematian Tn Dinger akibat kelelahan karena aktivitas yang tiada henti.
Ny Dinger kemudian memilih pensiun dari pengelolaan Pabrik Gula Modjopanggung karena pekerjaan keras membuatnya sakit-sakitan. Anak-anaknya yang sudah sukses bersedia menggantikan tugas sang ibu dan berjanji untuk menjalankannya dengan baik.
Ny Dinger mengisi hari-harinya dengan memberikan pengajaran emansipasi kepada wanita-wanita pribumi di sekitar Tulungagung, Jawa Timur, dan merawat warisan tanah dan kebun suaminya.
Selain sebagai pengelola pabrik, keluarga Dinger juga memiliki sungai dan pulau buatan di sekitar tanah mereka. Tempat ini menjadi tempat diskusi bagi kaum feminis Belanda yang membahas kesetaraan gender dan emansipasi wanita. Mereka bahkan mengajak wanita pribumi untuk bergabung dalam diskusi tersebut. Tempat ini juga menjadi tempat peristirahatan terakhir sang suami, Tn Dinger, yang ingin beristirahat dengan tenang di pulau sekitar tempat tersebut. Ny Dinger merawat makam sang suami dengan penuh kasih sayang.
Ny Dinger juga sering mengurus tanah warisan sang suami di lereng Gunung Arjuno. Di sana, dia menanam kentang dan beberapa sayuran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama mondok di sana. Terkadang, ia juga mengurus kebun Kina warisan suaminya di daerah Djoenggo dan Poenten. Meskipun telah dipaksa untuk pensiun, jiwa yang terlatih untuk terus produktif membuat Ny Dinger selalu merasa kesepian jika tidak bekerja.
Sungai dan pulau buatan di sekitar tanah keluarga Dinger di lereng Gunung Arjuno juga dijadikan pusat diskusi bagi kaum feminis Belanda yang membahas kesetaraan gender dan emansipasi wanita. Tempat tersebut digunakan untuk mengedukasi dan mendiskusikan berbagai persoalan tentang perjuangan kesetaraan gender, yang diangkat sebagai nilai yang sangat penting oleh Ny Dinger.
Kadang-kadang kelompok diskusi Ny Dinger juga mengajak wanita pribumi untuk bergabung. Mereka menjadi tempat para wanita pribumi mendapatkan pelajaran untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan memahami definisi kesetaraan gender.
Tempat ini juga merupakan tempat peristirahatan terakhir Tn Dinger, yang ingin beristirahat dengan tenang di pulau sekitar tempat tersebut. Ny Dinger merawat makam sang suami dengan penuh kasih sayang, menunjukkan cintanya yang mendalam.
Kisah Ny Dinger dan keluarganya di Pabrik Gula Modjopanggung adalah kisah yang memperlihatkan kebaikan, emansipasi, dan perjuangan yang patut diingat dan dihargai. Pabrik gula yang mereka tinggalkan adalah bangunan bersejarah yang tidak hanya menjadi warisan dari masa lalu, tetapi juga menyimpan makna yang mendalam tentang kebaikan dan kesetaraan yang menjadi dasar bagi sebuah masyarakat yang adil.
Pabrik Gula Modjopanggung dan kisah Ny Dinger adalah bagian integral dari kekayaan sejarah dan budaya Jawa Timur yang patut kita pelajari dan kita lestarikan.
Pabrik Gula Modjopanggung, dengan arsitektur khas Belanda, mengingatkan kita akan periode sejarah yang penting. Ini adalah warisan berharga yang harus dijaga agar generasi mendatang dapat terus menghargai dan memahami masa lalu. Selain itu, Pabrik Gula Modjopanggung juga memiliki potensi untuk menjadi daya tarik wisata bersejarah, yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.
Upaya pelestarian Pabrik Gula Modjopanggung dan cerita-cerita inspiratif yang terkait dengannya adalah tanggung jawab kita bersama. Kita dapat memastikan bahwa bangunan ini terus ada dengan menjaga struktur fisiknya dan merawat sejarahnya. Masyarakat lokal, pemerintah, dan organisasi pelestarian bersejarah harus berkolaborasi untuk menjaga warisan ini tetap hidup.
Selain pelestarian fisik, pendidikan tentang sejarah Pabrik Gula Modjopanggung dan perjuangan Ny Dinger dalam mempromosikan kesetaraan gender harus disebarkan kepada masyarakat, terutama generasi muda. Menceritakan cerita ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang, membangkitkan semangat emansipasi dan kebaikan. (ar/hel)