Beranda

Kisah Guru Pensiun di Blitar: Tertipu Dukun, Berakhir Meracik Uang Palsu dengan Microsoft Word

Kisah Guru Pensiun di Blitar: Tertipu Dukun, Berakhir Meracik Uang Palsu dengan Microsoft Word
Pensiunan guru SD di Blitar saat diamankan warga dan kepolisian setelah melakukan transaksi pembayaran dengan uang palsu hasil cetakannya sendiri (jtn/io)

Sebuah tragedi kemanusiaan di Blitar. Terjerat utang setelah ditipu dukun pengganda uang, seorang kakek pensiunan guru nekat mencetak uang palsu bermodal printer rumahan dan Microsoft Word. Simak kisah ironisnya.

INDONESIAONLINE – Pagi di Pasar Tugurante, Kecamatan Ponggok, Blitar, seharusnya berjalan seperti biasa. Riuh tawar-menawar, aroma sayuran segar, dan kesibukan para pedagang yang melayani pembeli. Namun, pada Kamis pagi, 31 Juli 2025 itu, sebuah kejanggalan mengusik ketenangan.

Selembar uang pecahan Rp50 ribu yang disodorkan seorang kakek terasa aneh di tangan seorang pedagang sayur. Warnanya sedikit pucat, tekstur kertasnya lebih mirip kertas manila ketimbang uang sungguhan.

Kakek itu adalah JH, 64 tahun. Sosok yang seharusnya dihormati sebagai pensiunan guru Sekolah Dasar, seorang yang pernah mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan anak bangsa. Namun hari itu, langkahnya terhenti. Asa yang ia coba rajut dengan cara keliru, buyar seketika.

Itulah awal terkuaknya sebuah drama pilu: seorang pendidik yang terpaksa menjadi pemalsu, bukan karena keserakahan, melainkan karena keputusasaan yang memuncak.

Dari Ruang Kelas ke Meja Cetak Darurat

JH, warga Desa Jatilengger, tak pernah membayangkan sisa hidupnya akan dihabiskan di balik jeruji besi. Namun, takdir berkata lain. Setelah diamankan warga pasar, ia diserahkan ke pihak kepolisian. Dari sana, cerita yang lebih dalam dan tragis mulai terungkap.

“Pelaku mengaku mulai mencetak uang palsu sejak awal Juli dan mengedarkannya menjelang akhir bulan,” ujar Kasi Humas Polres Blitar Kota Iptu Samsul Anwar, Sabtu (2/8/2025).

Modus yang digunakan JH jauh dari kata canggih. Ia tak punya mesin cetak offset atau jaringan kriminal yang rapi. Senjatanya hanyalah sebuah ponsel pintar untuk memotret uang asli, komputer jinjing dengan program Microsoft Word untuk mengedit seadanya, dan printer rumahan yang biasa digunakan untuk mencetak tugas sekolah.

Kertas manila menjadi kanvasnya. Primitif, nekat, dan penuh risiko.

Polisi menyebut, JH telah memproduksi 8 lembar uang palsu pecahan Rp50 ribu dan 12 lembar pecahan Rp20 ribu. Uang-uang itulah yang ia gunakan untuk menyambung hidup, membeli kebutuhan dapur di pasar-pasar tradisional yang ia anggap lengah.

Jalan Pintas Akibat Asa yang Remuk

Lalu, apa yang mendorong seorang pensiunan guru mengambil jalan pintas yang berbahaya ini? Jawabannya adalah sebuah luka yang lebih dulu menganga.

“Pelaku mengaku stres dan butuh uang cepat setelah tertipu dukun pengganda uang,” tambah Samsul.

Rupanya, JH adalah korban. Sebelum menjadi pelaku, ia terperosok dalam bujuk rayu praktik penggandaan uang gaib. Uang senilai Rp35 juta, mungkin hasil jerih payahnya selama mengabdi, raib ditelan janji manis sang penipu.

Terlilit utang dan dengan dapur yang harus tetap mengepul, JH panik. Jalan pintas yang ia kira solusi, ternyata adalah jurang yang lebih dalam.

Ia mencoba meniru penipunya, “menggandakan uang”, namun dengan caranya sendiri yang serba terbatas. Sebuah ironi yang menusuk kalbu: korban penipuan kini menjadi pelaku kejahatan, didorong oleh sistem kepercayaan yang sama-sama keliru.

Ancaman 15 Tahun dan Pelajaran Pahit

Kualitas uang palsu cetakan JH memang tak seberapa. Warnanya yang ganjil dan tekstur kertasnya yang kasar membuatnya mudah dikenali oleh tangan-tangan yang setiap hari bersentuhan dengan uang. Kejahatannya tak berumur panjang.

Dari tangan JH, polisi menyita barang bukti berupa sisa uang palsu senilai Rp270 ribu, satu unit printer, beberapa lembar kertas manila, dan ponsel yang menjadi alat kejahatannya.

Kini, peribahasa “tua-tua keladi, makin tua makin jadi” terasa getir. Di usianya yang senja, JH bukan makin bijaksana, tapi makin nekat karena terdesak. Ia dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 36 Ayat 3 UU Mata Uang dan Pasal 245 KUHP. Ancaman hukumannya tak main-main: maksimal 15 tahun penjara.

“Kasus ini masih terus kami dalami untuk melihat kemungkinan adanya keterlibatan pihak lain, meski pelaku mengaku beraksi seorang diri,” terang Samsul.

Kisah JH adalah cermin buram tentang bagaimana keputusasaan bisa mengubah seorang terhormat menjadi pesakitan. Sebuah pelajaran pahit bahwa tak ada jalan pintas menuju kesejahteraan, dan janji-janji gaib seringkali hanya berujung pada kerugian dan penyesalan yang tak berkesudahan (ar/dnv).

Exit mobile version