Kisah Londo Ireng di Hindia Belanda

Kisah Londo Ireng di Hindia Belanda
Londo Ireng tentara berkulit hitam dari Afrika yang berjuang di bawah panji Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) (Ist)

INDONESIAONLINE – Di tengah gegap gempita rempah-rempah dan hiruk-pikuk kota-kota bersejarah di Hindia Belanda abad ke-19, tersembunyi sebuah kisah yang sering terlupakan: kisah para Zwarte Hollanders, atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Londo Ireng – tentara berkulit hitam dari Afrika yang berjuang di bawah panji Kerajaan Hindia Belanda (KNIL).

Kehadiran mereka bermula dari keputusasaan Belanda. Pasca kemerdekaan Belgia di tahun 1830, KNIL yang baru dibentuk menghadapi kekurangan pasukan, sementara perlawanan pribumi semakin menguat. Belanda, dengan populasi terbatas di koloninya, melirik Afrika sebagai sumber tentara baru. Keyakinan bahwa orang Afrika lebih tahan terhadap iklim tropis menjadi alasan utama di balik perekrutan ini.

Dari Elmina ke Nusantara

Elmina, sebuah kota pesisir di Ghana, menjadi titik awal perekrutan. Sekitar 150 orang, termasuk keturunan keluarga Euro-Afrika, menjadi gelombang pertama Londo Ireng. Kontrak dengan Raja Ashanti di Ghana pada tahun 1830-an semakin membuka keran perekrutan, menyertakan banyak mantan budak yang mencari kehidupan baru. Pada 1872, jumlah Londo Ireng di KNIL mencapai sekitar 3.000 orang.

Londo Ireng bukan sekadar pelengkap. Mereka ditempatkan di garis depan pertempuran, termasuk Perang Aceh yang berdarah di akhir abad ke-19. Mereka berjuang bersama tentara Belanda dan pribumi, menanggung risiko dan korban yang sama.

Status mereka setara dengan tentara Eropa. Mereka mengenakan seragam KNIL, tinggal di tangsi yang layak, dan bahkan memiliki hak untuk memiliki istri pribumi (nyai). Anak-anak laki-laki mereka seringkali mengikuti jejak sang ayah, mempertahankan siklus militer lintas generasi.

Salah satu figur Londo Ireng yang menonjol adalah Kopral Jan Kooi. Keberanian dan kemampuannya dalam pertempuran menjadikannya legenda di kalangan KNIL, mendapatkan pengakuan baik dari sesama prajurit maupun dari pemerintah Belanda.

Usai masa kontrak, para Londo Ireng dihadapkan pada pilihan: pulang ke Afrika atau menetap di Jawa. Mereka yang memilih tinggal membentuk komunitas kecil, yang dikenal sebagai kampung Afrika, terutama di sekitar Jakarta dan Surabaya. Komunitas ini berbaur dengan masyarakat lokal, menciptakan perpaduan budaya yang unik.

Namun, kehidupan mereka tidak mudah. Diskriminasi dari masyarakat Belanda dan stigma sebagai “pengkhianat” dari sebagian masyarakat pribumi menjadi tantangan tersendiri. Identitas mereka seringkali terombang-ambing di antara dua dunia.

Warisan yang Kompleks dan Kontroversial

Istilah “Londo Ireng” sendiri memiliki makna yang ambigu. Selain merujuk pada tentara Afrika, istilah ini juga digunakan untuk menyebut pribumi yang bergabung dengan KNIL. Hal ini semakin menambah kompleksitas narasi sejarah mereka.

Keberadaan Londo Ireng merupakan bagian integral dari sejarah kolonial Indonesia, sebuah pengingat akan rumitnya dinamika kekuasaan dan identitas di masa lalu. Mereka adalah korban sistem kolonial, namun sekaligus menjadi instrumen dalam melanggengkan penjajahan. Kisah mereka, meski sering terpinggirkan, layak untuk diingat dan dikaji lebih dalam, sebagai bagian dari upaya memahami sejarah Indonesia secara utuh (ar/dnv).