Beranda

Kisah Serangan Sultan Agung ke Batavia: Perang Dahsyat Mataram v Belanda

Kisah Serangan Sultan Agung ke Batavia: Perang Dahsyat Mataram v Belanda
Sultan Agung (naik kuda kiri) dan petinggi Kesultanan Mataram memimpin serangan ke Batavia pada 1628. (sultan agung the movie)

INDONESIAONLINE – Pulau Jawa dilanda ketegangan yang luar biasa tahun 1628. Sultan Agung, penguasa Kesultanan Mataram, melancarkan serangan besar-besaran ke Batavia, pusat perdagangan penting yang dikuasai oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) Belanda.

Serangan ini, yang dikenal sebagai serangan pertama Mataram ke Batavia, bukan hanya menandai awal dari ketegangan antara Mataram dan VOC, tetapi juga menjadi bab penting dalam sejarah kolonial Indonesia. Artikel ini akan menggali rincian serangan tersebut, mulai dari perencanaan hingga eksekusi, serta dampaknya terhadap kedua belah pihak.

Sebelum serangan pertama Mataram ke Batavia pada bulan Agustus 1628, hubungan antara Kesultanan Mataram dan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) terbilang harmonis. Pada awal abad ke-17, ketika VOC masih berpusat di Ambon, Kepulauan Maluku, kedua belah pihak menjalin hubungan dagang yang saling menguntungkan. Namun, ketegangan mulai meruncing seiring dengan ambisi VOC yang semakin jelas terhadap Pulau Jawa.

Sultan Agung, penguasa Mataram, sejak awal sudah memberi peringatan bahwa hubungan ini dapat tetap berlangsung dengan syarat VOC tidak memiliki niat untuk menduduki Pulau Jawa. Namun, situasi berubah drastis ketika VOC, di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen, merebut Jayakarta dari Kesultanan Banten pada tahun 1619 dan mengubah namanya menjadi Batavia. Setahun kemudian, VOC memindahkan pusat pemerintahannya dari Ambon ke Batavia, dengan alasan kota ini lebih strategis untuk pengembangan usaha dagang mereka. Langkah ini dianggap Sultan Agung sebagai ancaman langsung terhadap kekuasaan Mataram dan pelanggaran terhadap peringatan yang telah diberikan.

Selain itu, ketegangan semakin meningkat setelah serangan VOC ke Jepara pada tahun 1618. Serangan ini adalah balasan terhadap tindakan Mataram yang menyerbu kantor dagang VOC di Jepara setelah pemimpin VOC di sana, Balthasar van Eynthoven, melakukan tindakan provokatif. Van Eynthoven dilaporkan merampok kapal-kapal Mataram dan menghina tempat ibadah umat Islam. Balasan VOC berupa pembakaran kapal-kapal Jawa di Jepara dan Demak semakin memperburuk hubungan antara Mataram dan VOC.

Walaupun hubungan sudah memanas, Sultan Agung sempat mencoba memperbaiki hubungan dengan menawarkan pasokan beras kepada VOC dengan syarat bantuan angkatan laut. Namun, permintaan ini ditolak oleh VOC, yang lebih memilih fokus pada penguatan posisinya di Batavia. Kegagalan negosiasi ini memperkuat tekad Sultan Agung untuk menyerang Batavia dan mengusir VOC dari Jawa.

Serangan pertama ke Batavia dimulai pada bulan Agustus 1628, dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa dari Kendal. Sultan Agung merencanakan serangan ini dengan cermat, berupaya menguasai Batavia dan menjadikannya pangkalan strategis untuk melanjutkan serangan ke Kesultanan Banten. Rencana ini melibatkan diplomasi cerdik yang dirancang untuk mengecoh VOC. Armada Bahureksa, terdiri dari 59 perahu dan membawa 900 prajurit, membawa persediaan yang tampak seperti barang dagangan: 150 ekor sapi, ribuan karung beras, gula, dan kelapa.

Namun, VOC yang curiga memperketat penjagaan pelabuhan dan akhirnya, pasukan Mataram mulai mendarat di depan Kasteel, benteng utama VOC di Batavia. Pada tanggal 27 Agustus 1628, pasukan Mataram menyerang benteng kecil “Hollandia” di tenggara Batavia. Meskipun awalnya memberikan perlawanan keras, serangan ini berhasil dipukul mundur oleh pasukan VOC yang diperkuat dengan bantuan dari Banten dan Pulau Onrust.

Pertempuran ini menjadi sangat sengit, dengan pasukan Mataram mencoba berbagai taktik untuk menembus pertahanan VOC. Pada bulan Oktober 1628, Sultan Agung mengirim pasukan tambahan di bawah pimpinan Pangeran Mandurareja, yang membawa sekitar 10.000 prajurit. Namun, upaya ini juga gagal karena kekurangan perbekalan dan persiapan yang tidak memadai. Kekalahan ini memicu kemarahan Sultan Agung, yang memerintahkan eksekusi terhadap Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. VOC mencatat bahwa setelah pertempuran, mereka menemukan 744 mayat prajurit Mataram berserakan, sebagian besar tanpa kepala, menggambarkan betapa brutalnya pertempuran tersebut.

Tanda-tanda persiapan serangan Mataram sudah mulai terlihat pada awal tahun 1628. Tumenggung Bahureksa memerintahkan penutupan hampir seluruh pantai Jawa, mencegah orang asing memasuki Kerajaan Mataram. Langkah ini menunjukkan betapa seriusnya Mataram mempersiapkan serangan tersebut. Bahkan, kantor dagang Inggris di Jepara juga ditutup sementara. Desas-desus tentang serangan besar-besaran dengan jumlah pasukan yang sangat banyak semakin memperburuk suasana. Serangan yang diatur oleh Banten pada Hari Natal 1627 juga menambah ketegangan di kawasan tersebut.

Pada 13 April 1628, Kiai Rangga, atas nama Tumenggung Tegal, tiba di Batavia dengan 14 kapal bermuatan beras. Kiai Rangga meminta bantuan VOC untuk melawan Banten, namun permohonan ini hanya sebagian dipertimbangkan karena VOC telah menutup semua pelabuhan dengan ketat. Pada 22 Agustus 1628, Tumenggung Bahureksa tiba dengan armada besar yang memuat 150 ekor ternak dan ribuan barang lainnya. Penutupan pelabuhan oleh Belanda dan kekhawatiran atas kedatangan kapal-kapal Mataram memicu ketegangan yang lebih tinggi.

Pada malam 24 Agustus, datang tujuh kapal dengan tujuan Malaka yang juga dikaitkan dengan serangan. Kapal-kapal ini ingin memisahkan diri dari kapal-kapal lainnya agar tidak memberikan senjata kepada pasukan Mataram. Meskipun usaha Belanda untuk memisahkan kapal-kapal ini gagal, pasukan Mataram yang mendarat pada 26 Agustus 1628, langsung menghadapi perlawanan sengit. Belanda, yang telah melakukan evakuasi kota satelit bagian selatan dan membakar bangunan-bangunan liar, dapat memukul mundur pasukan Mataram dengan taktik pertahanan yang efektif.

Namun, serangan pasukan Mataram pada 21 September 1628 ke benteng Hollandia menunjukkan bahwa mereka tidak menyerah begitu saja. Pertempuran sengit berlanjut dengan Mataram berusaha menaiki benteng dengan tangga dan balok. Meskipun pasukan Belanda berjuang keras, serangan ini akhirnya dapat dipukul mundur. Pasukan Mataram mengalami kerugian besar, dengan sekitar 1.200 hingga 1.300 orang gugur dan ribuan lainnya ditawan.

Mataram belum menyerah. Serangan kedua dilancarkan pada 27 November 1628 dengan tujuan untuk merebut benteng Hollandia. Pada 1 Desember 1628, Tumenggung Sura Agul-Agul memerintahkan eksekusi terhadap Pangeran Mandurareja dan Upa Santa, serta anak buah mereka karena kegagalan merebut Batavia. Banyak dari mereka dipancung atau ditikam dengan tombak dan keris. Setelah serangan ini, pasukan Mataram meninggalkan Batavia pada 3 Desember 1628, meninggalkan 744 mayat prajurit sebagai sisa-sisa pertempuran yang mengerikan.

Serangan pertama Mataram ke Batavia adalah contoh dramatis dari konflik antara kekuatan lokal dan kolonial. Meskipun Sultan Agung dan pasukannya gagal merebut Batavia pada percobaan pertama, peristiwa ini menunjukkan ambisi besar Sultan Agung dan kekuatan militer Mataram. Serangan ini tidak hanya mempengaruhi hubungan antara Mataram dan VOC tetapi juga menjadi bagian penting dalam sejarah kolonial Indonesia, menandai awal dari persaingan yang sengit di wilayah tersebut. Sejarah ini memberikan wawasan yang mendalam tentang strategi militer, diplomasi, dan dampak jangka panjang dari konflik kolonial di Indonesia. (ar/hel)

 

Exit mobile version