Kisah Tragis Kapal Reformation: Pengorbanan Abdi Dalem Mataram

Kisah Sultan Agung dan harapan besarnya naik haji yang berujung tragedi belasan abdi dalem Mataram di serang Belanda saat menaiki kapal reformation (Ist)

INDONESIAONLINE – Misi kehormatan dan devosi ke tanah suci Mekah dari Sultan Agung Raja Mataram, berujung tragedi. 18 abdi dalem Mataram yang diutus Sultan Agung ke Mekah harus meregang nyawa di lautan Jawa,

Kisah pengorbanan abdi dalem Mataram dimulai sejak Sultan Agung berencana menunaikan ibadah haji pada tahun 1642. Namun, tanggung jawabnya sebagai pemimpin kerajaan membuatnya tidak mungkin meninggalkan Mataram. Sebagai solusi, ia mengirim 18 abdi dalem yang setia sebagai perwakilannya.

Para abdi dalem ini menaiki kapal Inggris bernama Reformation yang direncanakan akan membawa mereka ke Tanah Suci Mekah. Perjalanan ini diharapkan menjadi simbol kehormatan dan devosi, tetapi takdir berkata lain.

Pada 11 Juli 1642, kapal Reformation berlayar melewati perairan di sebelah barat Pulau Onrust, yang sekarang dikenal sebagai bagian dari Kepulauan Seribu, di utara Batavia.

Di sinilah nasib malang menimpa mereka. Armada Belanda yang sudah lama bersaing sengit dengan Inggris di wilayah ini, menyerang kapal tersebut tanpa peringatan. Serangan ini adalah bagian dari kebijakan agresif Belanda untuk mengamankan dominasi mereka di Nusantara dan memblokir setiap usaha Inggris yang mungkin mengganggu perdagangan mereka.

Menurut catatan sejarawan De Graaf, pertempuran singkat namun brutal terjadi, mengakibatkan korban jiwa yang besar. Dari 18 abdi dalem Mataram, hanya tiga yang selamat.

Lima belas lainnya tewas dalam serangan yang brutal tersebut. Kejadian ini menghancurkan harapan Sultan Agung untuk menjalankan ibadah haji tahun itu dan menandai babak kelam dalam sejarah hubungan antara kekuatan kolonial dan kerajaan lokal.

Serangan ini memicu kemarahan di kalangan penguasa Mataram. Sultan Agung yang merasa dihina dan dikhianati, merespons dengan tindakan keras terhadap para tawanan Belanda di Mataram.

Dalam langkah yang mencerminkan betapa seriusnya situasi ini, Sultan memerintahkan agar para tawanan Belanda diperlakukan dengan kejam. Antonie Paulo, seorang pemimpin kerohanian di antara tawanan, menjadi korban dari tindakan balas dendam ini.

Paulo dituduh melakukan sihir dan dipasung sebelum akhirnya dilempar ke kolam buaya sebagai hukuman mati. Namun, karena buaya tidak mau memakannya, Sultan akhirnya memerintahkan agar Paulo dikuburkan dengan hormat, menunjukkan penyesalan dan pengakuan bahwa Paulo mungkin tidak bersalah (ar/dnv).