dikutipINDONESIAONLINE – Jas Merah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Begitulah pidato terakhir Soekarno di hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1966. Semboyan ini tepat disandangkan pada kisah tragis The Sin Nio, pejuang kemerdekaan yang di usia senjanya hidup menggelandang.

The Sin Nio adalah perempuan peranakan Tionghoa asal Wonosobo, Jawa Tengah yang ikut berjuang untuk bangsa dan negara melawan Belanda. Nyalinya besar. Bermodal golok, tombak atau bumbu runcing, Mulan Indonesia ini -julukan The Sin Nio- ikut melancaran serangan gerilya.

Kecintaannya kepada Indonesia membuat The Sin Nio mengubah namanya menjadi Mochamad Moeksin demi bisa ikut bergerilya. Ia menjadi satu-satunya tentara perempuan di Kompi 1 Batalion 4 Resimen 18.

Hidup Menggelandang di Jakarta

Di usia senja, kehidupan Sin Nio sangat tragis. Pejuang kemerdekaan yang dijuluki Mulan Indonesia karena keberaniannya mempertaruhkan nyawa di medan laga jadi gelandangan di Jakarta.

Sin Nio terlunta-lunta dalam memperoleh pengakuan atas masa lalunya sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia. Hingga akhirnya ia menempati gubuk liar di bantaran rel kereta di kawasan Stasiun Juanda, Jakarta Pusat.

Rosalia Sulistiawati, mengungkapkan sedikit kenangannya atas sang nenek yang pernah ditemuinya, 1983. Neneknya hidup di bedeng ukuran 2×3 meter “Seperti kontrakan, tapi tidak selayaknya rumah,” ucapnya.

Tak ada kamar mandi pribadi. Setiap saat deru kereta api memekakkan telinga dan membuat ruangan bergetar, seperti mau runtuh. Kehidupan Sin Nio sangatlah tragis dalam mendapatkan haknya sebagai pejuang kemerdekaan.

Baca Juga  Tombak Kiai Upas: Benteng Pelindung Tulungagung

Ia juga masih sedikit mengingat sosok neneknya itu. Wajah penuh kerutan, rambut pendek, bertubuh kecil, dan berkulit hitam.

“Untuk ukuran orang Tionghoa, Oma berkulit hitam. Mungkin karena memperjuangkan pensiunan itu, Oma jadi lebih banyak di jalan, kepanasan,” kata Rosalia.

Sin Nio Berjuang di Jakarta

Sejak 1973 Sin Nio memutuskan pergi ke Jakarta, meninggalkan keluarganya di Wonosobo, Jawa Tengah. Bertahun-tahun, ia berjibaku dengan birokrasi untuk memperoleh status veteran perang sekaligus uang tunjangan.

Pada 1976, Sin Nio akhirnya memperoleh pengakuan sebagai pejuang yang turut aktif mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mahkamah Militer Yogyakarta mengeluarkan SK Veteran untuknya.

SK veteran perang yang didapatkan ternyata tak diiringi dengan hak pensiun. Bertahun-tahun akhirnya Sin Nio hidup menggelandang karena perbekalan sudah habis. Uang pensiun sebesar Rp28.000/bulan baru cair beberapa tahun kemudian.

Sin Nio memilih untuk hidup di gubuk liar dan sebagian uang pensiunannya dikirim ke keluarga.

Sin Nio juga pernah mendapat janji dari pemerintah untuk memperoleh tunjangan perumahan, tapi belum sempat terealisasi sampai akhirnya ia tutup usia pada 1985.

“Mak Sin sedang memperjuangkan hak-hak dia supaya dapat rumah. Kadang Mak Sin cerita, belum ada progres, masih diajukan, masih belum dapat info. Cuma itu saja,” ucap Caecilia Rosy Susilowati, salah satu cucunya.

Sulitnya Jadi Pejuang Kemerdekaan

Baik Rosy dan Rosalia, kedua cucu Sin Nio meyakini, kesulitan memperoleh pengakuan sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia karena statusnya sebagai peranakan Tionghoa.

Baca Juga  Kontroversi Pajak Urine Era Romawi Kuno

Padahal, Sin Nio begitu juga pejuang kemerdekaan lainnya yang terlibat perang melawan Belanda rela mati demi negara. Sin Nio hanya ingin pengakuan dari negara yang itu sulit didapatkannya dari negara.

Keyakinan beda perlakuan terhadap veteran perang keturunan Tionghoa ini berdasarkan pengalaman Rosalia semasa sekolah di era Orde Baru yang kerap mendapat perundungan verbal.

“Kalau lihat itu sedih. Saya diperlakukan berbeda saja sudah sedih. Apalagi Oma yang istilahnya memperjuangkan haknya bertahun-tahun. Itu nggak kebayang sedihnya,” lanjut Rosalia.

Komnas Perempuan Dorong Sin Nio Jadi Pahlawan Nasional

Nama The Sin Nio sebagai pahlawan nasional, November 2022, didorong oleh Komnas Perempuan. Dorongan ini dalam konteks upaya mengubah persepsi yang melekat selama ini, bahwa sejarah tentang kepahlawanan hanya milik laki-laki.

Tercatat, sampai 2022 tokoh yang memperoleh penghargaan pahlawan nasional sebanyak 200 orang. Terdiri dari 185 laki-laki dan 15 perempuan.

Kondisi ini pula yang membuat Komnas Perempuan mendorong para tokoh perempuan  yang jadi pelopor perubahan dapat menerima penghargaan pahlawan nasional. Sin Nio jadi salah satu yang dipilih karena semangat nasionalismenya sebagai perempuan yang rela mengubah identitasnya sebagai laki-laki untuk turun gunung melawan penjajahan.

“Kita mengapresiasi apa yang beliau upayakan sebagai sebuah daya juang, mencintai negerinya,” ucap Dewi Kanti anggota Komnas Perempuan.