Gejolak di Pati akibat kenaikan PBB 250% menjadi ujian bagi Bupati Sudewo, Partai Gerindra, dan Presiden Prabowo. Akankah teguran Istana dan partai berujung pada mundurnya Sudewo atau proses pemakzulan yang panjang?
INDONESIAONLINE – Gelombang unjuk rasa masif di Kabupaten Pati yang menuntut pelengseran Bupati Sudewo kini telah melampaui batas wilayah. Isu yang dipicu kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250% itu kini bergema hingga ke Istana Kepresidenan dan menjadi ujian politik serius bagi Presiden Prabowo Subianto serta Partai Gerindra, partai yang menaungi Sudewo.
Amarah publik yang meledak pada Rabu (13/8/2025) bukan hanya soal kebijakan yang memberatkan, tetapi juga respons sang bupati yang dinilai arogan dan menantang warganya sendiri. Kini, nasib Sudewo tidak lagi hanya ditentukan oleh mekanisme DPRD, tetapi juga oleh kalkulasi politik di tingkat tertinggi.
Teguran Keras dari Istana dan Gerindra
Pesan dari pusat kekuasaan datang dengan cepat dan tegas. Istana, melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, menyiratkan penyesalan mendalam dari Presiden Prabowo.
“Tentunya beliau (Presiden Prabowo) menyayangkan,” ujar Prasetyo di Jakarta. “Jangan sampai mengganggu kehidupan ekonomi Pati, apalagi ini menjelang peringatan ulang tahun kemerdekaan,” tegasnya.
Pernyataan ini bukan sekadar basa-basi. Ini adalah sinyal bahwa stabilitas daerah adalah prioritas utama pemerintahan Prabowo, dan gejolak yang disebabkan oleh kader partainya sendiri dianggap sebagai gangguan serius. Istana menegaskan akan terus memonitor situasi dan berkoordinasi dengan Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi.
Teguran yang lebih tajam datang dari internal partai. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Sugiono, secara lugas memerintahkan Sudewo untuk tidak menambah beban masyarakat. Ia mengingatkan kembali pesan fundamental Prabowo kepada seluruh kader yang menjadi kepala daerah.
“Setiap kebijakan yang diambil harus selalu memperhitungkan dampak yang akan dirasakan oleh rakyat terkecil,” tegas Sugiono, menggarisbawahi DNA perjuangan Gerindra yang lahir dari suara rakyat.
Perintah ini menempatkan Sudewo dalam posisi sulit: antara mempertahankan kebijakannya atau patuh pada garis komando partai.
Dua Jalan Buntu: Pemakzulan Formal vs. Sikap Keras Kepala Sudewo
Di tengah tekanan politik dari Jakarta, dua jalur penyelesaian di Pati tampak menemui jalan terjal. Di satu sisi, DPRD Kabupaten Pati telah memulai proses formal dengan membentuk panitia khusus (pansus) sebagai pintu menuju usulan pemakzulan.
Namun, jalan ini panjang dan berliku. Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benny Irwan menjelaskan mekanisme rumit yang harus dilalui: dari hak interpelasi, hak angket, hingga permintaan fatwa ke Mahkamah Agung (MA) sebelum Mendagri bisa mengeluarkan surat keputusan pemberhentian.
“Keputusan Mahkamah Agung ini final dan mengikat,” jelasnya, mengindikasikan proses ini bisa memakan waktu yang sangat lama.
Di sisi lain, Sudewo sendiri menunjukkan sikap tak bergeming. “Saya kan dipilih rakyat secara konstitusional dan secara demokratis, jadi tidak bisa saya harus berhenti dengan tuntutan seperti itu,” katanya.
Sikap keras kepalanya ini menutup pintu bagi solusi cepat melalui pengunduran diri secara sukarela.
Jalan Ketiga: Bisikan Politik Informal Penentu Nasib?
Dengan kebuntuan antara proses formal yang lambat dan keengganan bupati untuk mundur, sorotan kini beralih pada “jalan ketiga”: intervensi politik informal. Pakar hukum tata negara STHI Jentera, Bivitri Susanti, menilai langkah ini sebagai solusi paling efektif dan cepat untuk meredam krisis.
“Sebenarnya yang bisa dilakukan… pemerintah pusat melalui Presiden entah melalui Menteri Dalam Negeri secara informal berbicara dengan bupati,” ujar Bivitri.
“Apalagi ini bupati dari Gerindra, bisa menggunakan pendekatan kepartaian untuk meminta yang bersangkutan mundur karena dampaknya akan nasional,” urainya.
Pendekatan ini melampaui prosedur legal-formal dan masuk ke ranah kalkulasi politik. Bagi Prabowo dan Gerindra, membiarkan isu ini berlarut-larut berisiko merusak citra partai dan mengesankan ketidakmampuan pemimpin dalam mengelola kadernya.
Sebuah “permintaan” langsung dari ketua umum partai kepada Sudewo untuk mundur demi kepentingan yang lebih besar bisa menjadi jalan keluar yang paling mungkin untuk mengakhiri drama politik di Pati, sebelum eskalasinya benar-benar menjadi isu nasional. Nasib Sudewo kini berada di persimpangan antara aturan hukum dan kehendak politik.