Beranda

KLHK Hentikan Tiga Tambang Nikel di Raja Ampat Akibat Pelanggaran Serius

KLHK Hentikan Tiga Tambang Nikel di Raja Ampat Akibat Pelanggaran Serius
Penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang membuat KLHK menghentikan sementara operasional tiga dari lima perusahaan tambang nikel (greenpeace)

INDONESIAONLINE – Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menghentikan sementara operasional tiga dari lima perusahaan tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keputusan ini menyusul temuan pelanggaran serius terhadap aturan lingkungan selama kunjungan lapangan yang dilakukan baru-baru ini.

Menteri LHK, Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan bahwa pelanggaran yang ditemukan bersifat serius. “Secara fisik memang ada tiga kegiatan di sana yang sedang kita lakukan pengawasan, jadi ketiga-tiganya kita sudah tadi kita hentikan, karena memang ada pelanggaran yang serius, ada yang jebol, ada yang seperti itu,” ujar Faisol, dikutip Antara, Senin (9/6/2025).

Berbeda dengan tiga perusahaan yang bermasalah, PT Gag Nikel, anak usaha PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, dinyatakan patuh terhadap kaidah lingkungan.

Faisol menyebut, kelihatannya pelaksanaan kegiatan tambang nikel di PT GN (Gag Nikel) relatif memenuhi kaidah-kaidah tata lingkungan. “Artinya, bahwa tingkat pencemaran (di Raja Ampat) yang tampak oleh mata itu hampir tidak tidak terlalu serius,” ujarnya.

Detail Pelanggaran dan Perizinan

Berdasarkan data Kementerian ESDM, total ada lima perusahaan yang mengantongi izin resmi penambangan nikel di Raja Ampat. Dua di antaranya mengantongi izin dari pemerintah pusat: PT Gag Nikel dengan izin operasi produksi sejak 2017, dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP) sejak 2013.

Tiga perusahaan lainnya, yakni PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham, memperoleh izin usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah daerah atau Bupati Raja Ampat.

Dari hasil peninjauan udara pada 26-31 Mei 2025, PT Anugerah Surya Pratama (ASP), yang disebut merupakan perusahaan asal Tiongkok, diduga melakukan pelanggaran dengan beroperasi di Pulau Manuran seluas 746 hektare tanpa sistem pengelolaan lingkungan dan manajemen air limbah yang layak.

Kasus serupa ditemukan pada PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) yang membuka lahan seluas lima hektare di luar kawasan izin lingkungan dan di luar areal penggunaan kawasan hutan (PPKH). Sementara itu, PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) terbukti tidak memiliki dokumen lingkungan serta izin PPKH, yang merupakan syarat wajib dalam aktivitas pertambangan.

Faisol juga menyoroti aspek legalitas penambangan di pulau-pulau kecil. Ia menegaskan, secara hukum, aktivitas tersebut tidak diperbolehkan, diperkuat oleh putusan Mahkamah Agung (MA) tahun 2022 dan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2023.

“Di undang-undang, pulau-pulau kecil tidak ada pengecualian. Jadi tidak ada pengecualian,” tegas Faisol, menjelaskan bahwa sebagian izin tambang yang ada saat ini, seperti kontrak karya PT Gag Nikel sejak 1998, terbit sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pemerintah berencana mengkaji ulang secara yuridis praktik pertambangan di pulau-pulau kecil, termasuk aspek konservasi. Menteri LHK tidak segan-segan mencabut izin perusahaan tambang yang terbukti merusak ekosistem.

“Pulau-pulau kecil ini memiliki nilai ekologis yang tinggi. Dan kami tidak akan ragu untuk mencabut izin usaha pertambangan apabila ditemukan kerusakan yang tidak bisa dipulihkan,” pungkas Faisol (bn/dnv).

Exit mobile version