Konflik Juragan Rental Mobil-Mantan Dosen, Sahara Jalani Visum Psikiatri

Konflik Juragan Rental Mobil-Mantan Dosen, Sahara Jalani Visum Psikiatri
Sahara dan kuasa hukumnya M. Zakki di Polresta Malang Kota (jtn/io)

Pemilik rental mobil Sahara, pelapor kasus dugaan TPKS verbal, dijadwalkan visum psikiatri pasca berseteru dengan mantan dosen UIN Malang. Simak perkembangan kasusnya.

INDONESIAONLINE – Babak baru perseteruan antara pemilik rental mobil Sahara dengan mantan dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Mohammad Imam Muslimin (akrab disapa Yai Mim), bergulir ke ranah hukum yang lebih dalam.

Sahara yang melaporkan dugaan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) verbal pekan lalu, dijadwalkan menjalani pemeriksaan visum psikiatri pada Jumat, 17 Oktober 2025. Langkah ini menunjukkan keseriusan kepolisian dalam menangani dugaan kekerasan seksual non-fisik.

Kanit Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Satreskrim Polresta Malang Kota, AKP Khusnul Khotimah, pada Kamis (16/10/2025), mengonfirmasi agenda penting ini.

“Ibu Sahara akan kami jadwalkan visum psikiatri, terkait laporan TPKS besok (Jumat),” ungkap Khusnul. Pemeriksaan tersebut akan berlangsung bersamaan dengan agenda pemanggilan Sahara untuk dimintai keterangan lebih lanjut.

Visum Psikiatri: Alat Bukti Kasus Kekerasan Seksual Verbal

Keputusan penyidik untuk menggunakan visum psikiatri bukanlah tanpa alasan. Dalam kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan kontak fisik, visum et repertum menjadi standar. Namun, menurut Khusnul, ketika dugaan kekerasan bersifat verbal, visum psikiatri adalah instrumen yang tepat.

“Kalau bentuknya verbal, visum et repertum tidak bisa digunakan, jadi dipakai visum psikiatri,” imbuhnya.

Proses visum kejiwaan ini akan melibatkan dokter spesialis dari rumah sakit jiwa yang telah ditunjuk resmi oleh kepolisian. Hasil pemeriksaan psikiatri ini diharapkan dapat memberikan gambaran komprehensif mengenai kondisi mental dan psikologis korban, serta menilai sejauh mana dampak psikologis yang dialami Sahara akibat dugaan kekerasan verbal tersebut.

“Hasil visum psikiatri itu nantinya akan menjadi alat bukti dalam dugaan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang dilaporkan,” tegas Khusnul.

M. Zakki, kuasa hukum Sahara, membenarkan bahwa kliennya akan memenuhi panggilan pemeriksaan dan visum. “Besok kami pemeriksaan BAP laporan pelecehan seksual,” ujar Zakki, menunjukkan kesiapan pihak pelapor untuk mengikuti seluruh prosedur hukum.

Rentetan Laporan dan Konteks Konflik

Kasus ini menambah panjang daftar laporan hukum yang melibatkan kedua belah pihak. Sahara sebelumnya telah melaporkan Yai Mim atas dugaan pencemaran nama baik dan fitnah. Dari dua laporan tersebut, Sahara baru menjalani pemeriksaan untuk dugaan pencemaran nama baik.

Di sisi lain, Yai Mim juga tidak tinggal diam. Mantan dosen UIN Malang ini telah melaporkan Sahara dan beberapa pihak lainnya atas dugaan pencemaran nama baik, persekusi, dan penistaan agama ke Polresta Malang Kota.

Yai Mim sendiri telah diperiksa terkait laporannya tentang pencemaran nama baik, di mana istrinya, Rosida Vignesvari, juga menjadi saksi. Rosida juga telah diperiksa terkait laporannya tentang penistaan agama pada Selasa (14/10/2025).

Konflik antara Sahara dan Yai Mim menjadi sorotan publik Malang dalam beberapa waktu terakhir. Laporan dugaan TPKS verbal ini, yang kini berujung pada visum psikiatri, menandakan pergeseran fokus penegakan hukum terhadap bentuk-bentuk kekerasan yang tidak selalu meninggalkan bekas fisik, namun berdampak signifikan pada mental korban.

Data Relevan: Peningkatan Laporan TPKS dan Tantangan Pembuktian

Kasus Sahara ini mencerminkan tren peningkatan kesadaran dan keberanian korban untuk melaporkan kasus kekerasan seksual, termasuk yang bersifat verbal. Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa selama periode 2015-2022, jumlah laporan kekerasan seksual di ranah personal mencapai 79% dari total kasus, dengan persentase signifikan adalah kekerasan psikis. Ini menggarisbawahi pentingnya visum psikiatri sebagai alat bukti dalam kasus-kasus tanpa bukti fisik.

Pembuktian kasus kekerasan seksual verbal seringkali menjadi tantangan. Studi dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyebutkan bahwa kekurangan alat bukti menjadi salah satu kendala utama dalam penanganan kasus TPKS, terutama yang tidak melibatkan kekerasan fisik. 

Oleh karena itu, visum psikiatri menjadi krusial untuk memperkuat posisi korban, memberikan bukti objektif mengenai dampak psikologis yang dialami.

Perkembangan kasus ini akan terus menjadi perhatian, mengingat kompleksitas hubungan kedua belah pihak dan signifikansi penggunaan visum psikiatri dalam dugaan TPKS verbal. Masyarakat menantikan bagaimana proses hukum ini akan mengungkap kebenaran di balik serangkaian laporan yang saling berkejaran (ir/dnv).