Keluarga korban kekerasan seksual oleh oknum Ketua RW di Malang menuntut keadilan di pengadilan. Salah satu korban anak mengalami trauma berat hingga tiga kali dirawat di RSJ.
INDONESIAONLINE – Udara di halaman Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Kota Malang terasa berat, dipenuhi campuran duka dan amarah yang membara. Senin (21/7/2025) pagi itu, bukan sekadar ruang publik, melainkan arena bagi para orang tua yang memperjuangkan masa depan anak-anak mereka yang direnggut paksa.
Mereka adalah keluarga dari tujuh anak laki-laki yang menjadi korban kebiadaban seorang predator berkedok tokoh masyarakat, Ketua RW berinisial PBS (63).
Di antara kerumunan, Alfina (bukan nama sebenarnya) berdiri tegar memegang poster. Namun, matanya yang berkaca-kaca tak mampu menyembunyikan luka yang menganga. Anaknya, A (12), adalah salah satu korban yang menanggung beban trauma paling berat.
“Anak saya sampai tiga kali masuk Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Tiga kali! Bayangkan hancurnya jiwa dia. Sekarang emosinya belum stabil, kami sangat khawatir masa depannya seperti apa,” ucap Alfina dengan suara bergetar menahan tangis saat berbicara kepada awak media.
Bagi Alfina dan keluarga korban lainnya, pertarungan ini bukan sekadar menuntut hukuman bagi pelaku. Ini adalah jeritan agar sistem hukum tidak buta. Sebuah poster yang mereka bawa menyuarakan kegelisahan itu dengan lantang: ‘Hukum Tidak Boleh Melihat Status Sosial, Tetapi Harus Melihat Keadilan di Mata Hukum’.
Luka Sistemik dan Data yang Mengkhawatirkan
Kasus yang menjerat PBS, yang ironisnya adalah tetangga bagi empat korbannya, menjadi cerminan dari fenomena gunung es kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Pelaku seringkali adalah orang terdekat atau figur yang dipercaya di lingkungan korban.
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) secara konsisten menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Sepanjang tahun 2023, KPAI menerima 2.355 pengaduan kasus perlindungan anak, di mana kekerasan seksual menempati posisi teratas dengan 878 kasus.
Angka ini hanya puncak gunung es, karena banyak korban yang tidak berani melapor akibat ancaman, rasa malu, atau relasi kuasa dengan pelaku.
Keluarga korban di Malang merasakan langsung bagaimana relasi kuasa itu bekerja, bahkan setelah kasus terungkap. Mereka mengaku harus proaktif mencari informasi jadwal sidang karena minimnya pemberitahuan resmi dari pihak terkait.
“Kami cari informasi sendiri. Kami sengaja datang supaya suara kami didengar dan tidak diabaikan. Kami hanya ingin keadilan ditegakkan tanpa memandang siapa pelakunya,” tegas Alfina.
Ancaman Hukuman dan Harapan Keadilan
Kasus ini pertama kali terungkap setelah Polresta Malang Kota, pada 6 Januari 2025 lalu, mengumumkan penangkapan PBS. “Korban saat ini sudah ada 7 orang. Empat dari satu lingkungan, sisanya dari luar,” ungkap Kapolresta Malang Kota, Kombes Pol Nanang Haryono saat itu.
Kini, proses peradilan menjadi satu-satunya tumpuan harapan. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), pelaku kejahatan seperti ini diancam dengan hukuman yang lebih berat. Pasal 7 UU TPKS mengatur pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp5 miliar bagi pelaku pelecehan seksual fisik. Hukuman tersebut dapat diperberat sepertiga jika korban adalah anak-anak.
Bagi keluarga korban, angka hukuman bukan sekadar angka. Itu adalah representasi pengakuan negara atas penderitaan yang tak terperi. Di tengah proses hukum yang berjalan, jeritan Alfina dan para orang tua lainnya di depan PN Malang menjadi pengingat keras: di balik setiap statistik kasus, ada jiwa seorang anak yang hancur dan masa depan yang butuh diselamatkan.
Putusan hakim nanti tidak hanya akan menentukan nasib PBS, tetapi juga menjadi barometer keadilan bagi anak-anak Indonesia (hs/dnv).