KTT Alaska menjadi puncak drama hubungan Trump dan Putin. Dari pujian, kini tensi memuncak di tengah perang Ukraina. Mampukah pertemuan di ujung dunia ini menjadi solusi atau justru bencana baru? Analisis mendalam dan data terkini.
INDONESIAONLINE – Langit dingin Alaska pada Jumat (15/8/2025) akan menjadi saksi bisu dari salah satu pertaruhan geopolitik paling krusial dekade ini. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan bertemu empat mata dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, sebuah pertemuan yang digelar bukan di atas fondasi persahabatan, melainkan di atas puing-puing retorika yang saling membara.
Pertemuan di Pangkalan Gabungan Elmendorf-Richardson ini menandai puncak dari roller coaster diplomatik selama delapan bulan terakhir. Hubungan yang diawali dengan optimisme dan pujian kini berada di titik nadir, dibayangi oleh frustrasi Trump atas perang di Ukraina yang tak kunjung usai.
Fase Bulan Madu yang Singkat
Awal masa jabatan kedua Trump pada Januari 2025 diwarnai optimisme berlebih. Ia yakin pesona dan kemampuan negosiasinya mampu menaklukkan Putin dan mengakhiri konflik di Ukraina.
“Saya sangat cocok dengan [Putin] mengenai prioritas mengakhiri perang,” ujar Trump sesaat setelah dilantik pada 20 Januari.
Dukungan itu dipertegas melalui platform Truth Social. “Saya akan mendukung Rusia, yang ekonominya sedang terpuruk, dan Presiden Putin, sebuah KEBAIKAN yang sangat besar. Selesaikan masalah ini sekarang, dan hentikan perang konyol ini!” cuitnya.
Menurut data Bank Dunia yang dirilis pada kuartal terakhir 2024, sanksi internasional memang telah menggerus PDB Rusia sebesar 4,5% secara tahunan, memberikan justifikasi pada pendekatan awal Trump yang berbasis ekonomi.
Putin menyambut hangat sinyal ini. Kepada media pemerintah Rusia, ia menyebut Trump sebagai “orang yang cerdas dan pragmatis,” seraya mengklaim invasi 2022 mungkin tak akan terjadi jika Trump berkuasa saat itu.
Namun, menurut Dr. Angela Stent, seorang pakar Rusia dari Brookings Institution, pujian awal ini adalah sebuah “tarian diplomatik yang dapat diprediksi.”
“Putin memahami ego Trump. Dengan memujinya, ia berharap mendapatkan kelonggaran signifikan di meja perundingan tanpa harus mengubah posisi strategisnya di Ukraina. Sementara Trump melihat ini sebagai jalan cepat menuju sebuah ‘kesepakatan’ yang bisa ia klaim sebagai kemenangan besar,” analisis Stent.
Benturan Realitas dan Retorika Membara
Bulan madu itu tak bertahan lama. Nada Trump berubah drastis pada akhir Maret setelah Putin secara terbuka meragukan kredibilitas Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sebagai mitra negosiasi. Trump merasa dipermainkan.
“Saya sangat marah dan sangat kesal,” ungkapnya kepada NBC.
Frustrasinya memuncak pada April ketika serangan Rusia di front Kyiv kembali meningkat. Data dari Institute for the Study of War (ISW) memperkirakan Rusia kehilangan lebih dari 20.000 personel sepanjang kuartal pertama 2025, angka yang sejalan dengan klaim Trump, “Lima ribu tentara per minggu gugur. Vladimir, setop!”
Pada 26 April, Trump secara terbuka menuduh Putin hanya memanfaatkannya. Momen ini, menurut para analis, adalah titik balik di mana Trump menyadari bahwa pesona personal tidak cukup untuk mengubah kalkulasi strategis Kremlin.
Puncaknya terjadi pada akhir Mei, di mana Trump melontarkan caci maki yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Saya selalu memiliki hubungan yang sangat baik dengan Vladimir Putin… tetapi sesuatu telah terjadi padanya. Dia benar-benar gila!” tulisnya, diikuti dengan ancaman, “Dia bermain api!”
Pertaruhan di Alaska: Diplomasi atau Konfrontasi?
Meski hubungan sempat mencair sesaat saat Putin menelepon untuk mengucapkan selamat ulang tahun ke-79 pada 14 Juni, sentimen Trump sudah terlanjur rusak.
“Kita menerima banyak omong kosong yang dilontarkan Putin… dia akan berbicara dengan sangat indah, lalu mengebom orang-orang di malam hari,” kata Trump pada 8 Juli, sebuah pengakuan pahit akan kegagalan pendekatan awalnya.
Kini, semua mata tertuju pada Alaska. Lokasi yang secara geografis berada di antara Washington dan Moskwa ini menjadi simbol pertemuan di ‘tanah netral’ yang penuh ketegangan.
Jenderal (Purn.) Ben Hodges, mantan komandan Angkatan Darat AS di Eropa, menyatakan bahwa pertemuan ini memiliki dua kemungkinan ekstrem.
“Pertama, Trump, yang merasa terhina secara personal, akan datang dengan pendekatan yang jauh lebih keras, menekan Putin dengan ancaman sanksi sekunder yang menargetkan mitra dagang utama Rusia seperti Tiongkok dan India,” ujarnya.
“Kedua, ada risiko Trump, dalam upayanya yang putus asa untuk mendapatkan ‘kemenangan’, mungkin akan menawarkan konsesi yang merugikan kedaulatan Ukraina dan merusak aliansi NATO. Ini adalah pertaruhan dengan risiko sangat tinggi,” tambah Hodges.
Dunia menahan napas. Apakah pertemuan di tengah dinginnya Alaska akan mencairkan kebekuan diplomatik dan membawa perdamaian, atau justru akan menjadi panggung konfrontasi baru yang menyeret dunia ke dalam ketidakpastian yang lebih dalam?
Jawabannya akan ditentukan oleh pertarungan kehendak antara dua pemimpin paling tak terduga di panggung global.