Legenda Baron Sekeber: Tragedi Bangsawan Eropa yang Menjadi Kuda di Jantung Jawa

Legenda Baron Sekeber: Tragedi Bangsawan Eropa yang Menjadi Kuda di Jantung Jawa
Ilustrasi pertempuran antara Panembahan Senapati dengan Baron Sekeber (ai/io)

INDONESIAONLINE – Ombak Laut Jawa tak pernah memilih siapa yang diantarkannya ke pesisir. Suatu senja di masa kekuasaan Mataram, ombak itu menghempaskan seorang pria asing ke tanah Pati.

Tubuhnya letih, pakaiannya compang-camping, dan di matanya tersimpan cerita dari negeri yang jauh. Lidahnya kelu, hanya isyarat tangan yang menjadi jembatan komunikasinya dengan penduduk lokal yang menatapnya dengan curiga. Pria itu, yang kelak dikenal sebagai Baron Sekeber, memilih hutan sebagai rumah pertamanya.

Namun, di balik penampilannya yang merana, mengalir darah biru yang kental. Kitab tua Serat Babad Pati melukiskan potret yang jauh berbeda. Ia bukanlah sekadar petualang tersesat, melainkan Raden Baron Sekeber, bungsu dari empat bersaudara bangsawan dari Negeri Kincir Angin.

Kakak sulungnya, Baron Sukmul, disebut sebagai raja di Amsterdam. Yang lain berkuasa di Inggris dan Spanyol. Darah penakluk mengalir deras di nadinya.

Ia datang ke Jawa bukan untuk mencari rempah-rempah, melainkan takhta. Angin ambisi dari Benua Biru membawanya terbang melintasi samudra, menolak jabatan nyaman yang ditawarkan sang kakak, demi satu tujuan: menaklukkan Mataram yang saat itu baru saja menggeliat di bawah Panembahan Senapati.

Pertemuan dua adidaya itu tak terelakkan. Di bawah langit Mataram yang membentang bisu, kesaktian Eropa beradu dengan kegaiban Jawa. Panembahan Senapati, sang pendiri Mataram, bukanlah lawan yang sepadan. Dalam duel sengit itu, keangkuhan Baron Sekeber luluh lantak. Ia melarikan diri, membawa luka harga diri yang menganga, lalu menyepi di Bukit Patiayam, bertapa dalam senyap di sebuah sumur dekat mulut gua.

Dari pertapaannya, takdir yang berbelok tajam membawanya turun gunung. Di Desa Kemiri, pandangannya terpaut pada Rara Suli, seorang gadis desa jelita. Cinta terlarang bersemi di gubuk sederhana milik ibu sang gadis, melahirkan dua putra kembar: Danurwenda dan Sirwenda.

Namun, kebahagiaan itu singkat. Kabar tentang dua bocah ajaib—yang mampu memanah dengan bakat luar biasa dan bahkan masuk ke dalam tempayan kecil—sampai ke telinga Adipati Pati, Jayakusuma. Dianggap sebagai ancaman di masa depan, sang Adipati memerintahkan agar kedua putranya dibunuh.

Langit seakan runtuh bagi Baron Sekeber. Amarahnya meledak, mengubah duka menjadi api dendam. Ia menantang Jayakusuma, penguasa yang telah merenggut buah hatinya. Kali ini, arena pertarungannya adalah kedalaman laut. Lagi-lagi, ia kalah. Sesuai perjanjian, martabatnya terampas.

Tubuhnya berubah wujud, dari seorang bangsawan menjadi seekor kuda perkasa yang dinamai Juru Taman, budak dari pembunuh anak-anaknya.

Kabar tentang kuda sakti ini terdengar hingga ke Mataram. Panembahan Senapati, yang merupakan kakak ipar Jayakusuma, menukarnya dengan seekor sapi jantan bernama Pregolan. Ironi nasib pun mencapai puncaknya. Baron Sekeber, yang semula datang untuk menaklukkan Mataram, kini menjadi hewan tunggangan di jantung kekuasaan musuh bebuyutannya.

Dalam diamnya sebagai kuda, api di dadanya tak pernah padam. Suatu ketika, saat Senapati pergi, Juru Taman mengubah wujudnya kembali menjadi manusia. Ia melampiaskan dendamnya dengan menggauli semua selir raja, sebuah penistaan yang tak termaafkan. Ketika Senapati kembali dan murka, akhir riwayat sang Baron pun tiba. Ia ditangkap dan dieksekusi, menutup kisah tragisnya di tanah Jawa.

Jejak Sang Baron dalam Lensa Sejarah

Lantas, siapakah sejatinya sosok ini? Apakah ia nyata, atau sekadar gema dari dongeng yang berbaur dengan sejarah?

Para sejarawan menyibak kabut mitos itu. Dr. H.J. de Graaf menunjukkan bahwa gelar “baron” baru dikenal di Jawa setelah era VOC, jauh setelah masa Panembahan Senapati.

Nama itu kemungkinan terinspirasi dari para bangsawan Jerman yang bekerja untuk kompeni. Sementara itu, Dr. Pigeaud melacak jejaknya hingga ke Hikayat Iskandar Zulkarnaen, sebuah cerita yang disadur dan diadaptasi berkali-kali hingga mendarat di Serat Babad Pati dengan nama Baron Sekeber.

Catatan lain menyebutkan sosok bernama Juru Taman, seorang pria Italia bertubuh tinggi dan berjenggot yang bekerja di kaputren (kediaman para putri dan selir) pada masa ayah Sultan Agung. Karena perangainya yang kerap mengganggu para selir, ia dipindahkan. Sosok inilah yang diduga menjadi inti dari legenda Juru Taman sang kuda jelmaan.

Kini, legenda Baron Sekeber tak hanya hidup dalam babad. Di Weleri, Kendal, sebuah arca hitam setinggi 40 sentimeter duduk khusyuk di altar Klenteng Tridharma. Arca itu ditemukan pada tahun 1960-an di dalam batang pohon asam tua yang ditebang untuk pelebaran jalan. Dengan wajah yang tampak keras, arca itu kini dipuja sebagai Baron Skeber, tempat orang-orang yang terbelit masalah hukum memohon petunjuk.

Dari seorang penakluk yang gagal, kekasih yang merana, ayah yang berduka, hingga menjadi kuda terkutuk dan arca yang dipuja, kisah Baron Sekeber adalah mozaik kompleks tentang pertemuan dua dunia—sebuah tragedi Eropa yang larut dan menjadi legenda abadi di tanah Jawa.