INDONESIAONLINE – Kabar berhentinya semburan Lumpur Lapindo di Kecamatan Porong, Sidoarjo, ramai diperbincangkan, terutama di media sosial. Video yang memperlihatkan area semburan lumpur tampak mengering viral di TikTok dan YouTube. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa fenomena yang telah berlangsung hampir dua dekade itu akhirnya berhenti.
Namun, berdasarkan pengamatan langsung di lokasi, semburan lumpur ternyata masih terjadi. Sastro (42), mantan warga Desa Jatirejo, yang penasaran dengan kabar viral tersebut, langsung mengecek ke tanggul penahan lumpur.
“Berita itu viral di media sosial sekitar seminggu yang lalu. Bahkan saya sendiri sempat penasaran. Pagi harinya saya ngecek ke tanggul penahan lumpur, ternyata semburannya masih ada,” kata Sastro, Jumat (14/3/2025).
Di lokasi lumpur Lapindo, tepatnya titik 21 dan titik 25, semburan lumpur masih terjadi, meskipun tidak sebesar biasanya. Kali ini, lebih dominan berupa asap putih yang keluar dari dalam tanah. Selain itu, beberapa pon (penampungan air) tampak penuh dengan tiga pompa besar yang berfungsi mengalirkan air ke Sungai Porong.
Sementara itu, di dua titik pembuangan lumpur di Desa Pajarakan dan Desa Besuki, dekat jembatan bekas jalan tol Surabaya-Gempol, tidak terlihat adanya lumpur yang mengalir keluar. Pipa-pipa yang biasanya mengeluarkan lumpur kini hanya mengeluarkan air.
“Setiap hari pipa pembuangan itu masih aktif. Tapi yang keluar hanya air. Tidak ada lumpur yang ikut terbawa. Airnya pun tampak jernih,” ungkap Wardiman, warga Besuki.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, kabar mengenai lumpur Lapindo yang disebut-sebut berhenti ini pertama beredar setelah akun TikTok @/dronehobbiessurabaya mengunggah sebuah video yang memperlihatkan kondisi terkini di area semburan. Dalam video itu, titik semburan tampak mengering, tidak ada asap yang biasanya mengepul dari dalam tanah, hanya gumpalan lumpur yang telah mengering.
Video serupa juga pernah diunggah oleh kanal YouTube Soelmate pada Januari 2024 lalu. Dalam rekaman tersebut, semburan lumpur tampak mengecil, dan asap yang keluar lebih samar dibanding biasanya.
“Dari jarak sedekat ini tak terlihat asapnya. Berhentikah? Semoga aja lekas berhenti lumpur Lapindo ini. Tadi terlihat asapnya dikit. Atau mungkin fluktuatif gitu ya, naik turun. Kebetulan pas ini terbang kok nggak keluar asapnya,” ujar pemilik akun dalam videonya.
Viralnya dugaan berhentinya semburan lumpur Lapindo justru memicu kekhawatiran di kalangan warganet. Banyak yang menduga bahwa perubahan ini bisa jadi tanda adanya proses geologi yang lebih besar di bawah tanah.
“Takutnya ada kejadian terra cavernosa di dasar sana,” tulis seorang pengguna TikTok dengan nama @lang**.
“Ya Allah, semoga bukan hal buruk yang terjadi. Apa itu terra cavernosa?” tanya akun @Siti Ambars*****.
“Beberapa hari terakhir kota sekitar Lapindo seperti Malang dan Kota Batu mengalami suhu yang lumayan panas/sumuk… takutnya terjadi terra cavernosa,” tulis akun @ikh***.
Sejarah Semburan Lumpur Lapindo
Lumpur Lapindo pertama menyembur pada 29 Mei 2006 pukul 05.30 WIB, berawal dari pengeboran sumur Banjar Panji-1 oleh PT Lapindo Brantas. Titik semburan berada hanya 150 meter dari permukiman warga. Saat itu, bau gas yang menyengat langsung tercium di sekitar lokasi.
Dalam waktu singkat, semburan lumpur ini menenggelamkan ribuan rumah, sekolah, rumah sakit, hingga pabrik. Jalan tol Surabaya-Gempol yang melintasi kawasan tersebut juga terdampak hingga akhirnya ditutup. Bencana ini memaksa sekitar 25 ribu jiwa dari 8 desa di 3 kecamatan untuk mengungsi dan kehilangan tempat tinggal mereka.
Hingga saat ini, masih terjadi perdebatan mengenai penyebab utama terjadinya semburan lumpur ini. Sebagian ahli geologi berpendapat bahwa insiden ini terjadi akibat kesalahan prosedur pengeboran oleh PT Lapindo Brantas. Namun, ada juga yang mengaitkan fenomena ini dengan gempa Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelumnya, meskipun teori tersebut kurang mendapat dukungan dari pakar geologi.
Teori lain menyebut bahwa semburan lumpur ini merupakan bagian dari proses geologi besar yang berkaitan dengan tekanan sedimen di bawah tanah. Namun, hingga kini, apa pun penyebabnya, persoalan ganti rugi bagi korban masih menjadi masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan. (bn/hel)