Studi BRIN mengungkap serat plastik dari pakaian hingga ban kendaraan melayang di udara Jakarta, berpotensi terhirup dan membahayakan pernapasan. Ketahui dampak dan langkah antisipasi ancaman mikroplastik tak kasat mata.
INDONESIAONLINE – Jakarta, kota metropolitan yang tak pernah tidur, kini menghadapi ancaman polusi tak kasat mata yang semakin mengkhawatirkan: mikroplastik di udara.
Sebuah penelitian komprehensif oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada tahun 2022 mengungkapkan fakta mengejutkan: serat plastik dari pakaian poliester hingga partikel ban mobil bertebaran di atmosfer ibu kota, bahkan ditemukan dalam air hujan di pesisir Jakarta.
Namun, bahaya sejati bukan pada air hujan itu sendiri, melainkan partikel-partikel mikroplastik yang melayang di udara kering dan berpotensi terhirup langsung oleh manusia.
Mikroplastik: Ancaman di Balik Rintik Hujan
Penelitian BRIN yang berlangsung selama 12 bulan di tahun 2022 menemukan rata-rata sekitar 15 partikel mikroplastik per meter persegi setiap hari di udara Jakarta.
“Bayangkan kalau ada rumah seluas 1.000 meter persegi, bisa jadi 15.000 partikel jatuh ke dalam rumah itu,” ujar Muhamad Reza Cordova, peneliti BRIN dan ahli mikroplastik yang telah meneliti fenomena ini selama satu dekade terakhir.
Partikel-partikel ini, yang menurut World Health Organization (WHO) didefinisikan sebagai plastik berukuran kurang dari 5 mm, seringkali berukuran jauh lebih kecil—mulai dari 200 mikron dalam studi BRIN—sehingga membutuhkan mikroskop untuk melihatnya. Banyak yang menyebutnya sebagai nanoplastik atau partikel nano karena ukurannya yang tak kasat mata.
Jenis mikroplastik yang paling dominan ditemukan adalah berbentuk serat, terutama dari material sintetis seperti poliester dan nilon yang banyak digunakan pada pakaian. Selain itu, ada juga partikel polimer yang terkait erat dengan keausan ban kendaraan, seperti Polybutadiene.
Studi global menunjukkan keausan ban kendaraan menyumbang sekitar 28% dari total mikroplastik yang memasuki lingkungan secara global, mencapai 6 juta ton per tahun.
Bagaimana Mikroplastik Mencemari Udara?
Mikroplastik ini erat kaitannya dengan aktivitas manusia di darat. Mereka lepas ke udara melalui berbagai mekanisme: debu jalanan, asap pembakaran, atau terbawa angin. Setelah melayang di atmosfer, partikel-partikel ini dapat terhirup oleh manusia.
Meskipun demikian, penelitian BRIN belum dapat membuktikan apakah uap air yang membentuk awan hujan juga mengandung mikroplastik.
“Yang jelas, mikroplastik berada di antara awan dan daratan,” jelas Reza.
Air hujan, pada dasarnya, justru memiliki fungsi “membersihkan” udara dengan mendorong partikel-partikel mikroplastik ke bawah, mirip dengan debu yang mengendap di dasar ember saat menampung air hujan. Namun, ini tidak berarti air hujan itu sendiri berbahaya jika terkena kulit, sebab mikroplastik di luar tubuh pada umumnya tidak bersifat racun.
Dampak Serius pada Kesehatan Pernapasan
Meskipun air hujan mungkin relatif aman, udara yang mengandung mikroplastik adalah cerita lain. Indeks kualitas udara di Jakarta yang seringkali buruk memperparah keadaan. Dalam kondisi kering, polutan-polutan lain di udara dapat menempel pada partikel mikroplastik, menciptakan “kombo polutan dan mikroplastik” yang sangat berbahaya.
“Partikel mikroplastik ini bisa masuk secara langsung lewat saluran pernapasan pada saat udara kering, atau tidak sengaja terkonsumsi,” tegas Reza.
Studi lain pada tahun 2018 di Paris dan sekitarnya telah mengidentifikasi bahwa penghirupan serat dan partikel mikroplastik seringkali menyebabkan sesak napas akibat respons peradangan di saluran napas dan paru-paru. Mikroplastik bahkan telah ditemukan dalam plasenta bayi dan pembuluh darah manusia.
Dokter spesialis paru, Wiwin Is Efendi, menjelaskan bahwa paparan mikroplastik di udara, apalagi jika bergabung dengan polutan lain seperti PM2.5 dan PM10, dapat menimbulkan efek ringan hingga jangka panjang.
“Jika sistem mukus kita sudah mendeteksi ada jumlah tertentu mikroplastik yang masuk dalam saluran pernapasan, maka sistem itu akan memberikan sinyal seperti batuk untuk mengeluarkannya,” kata dokter Wiwin.
Namun, paparan terus-menerus bisa berujung pada kondisi kronis, mulai dari Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) hingga kerusakan paru, dan bahkan risiko terparah seperti kanker paru. Kelompok rentan seperti penderita asma, komorbid, dan lansia akan merasakan dampak yang lebih parah, karena kemampuan tubuh mereka untuk membuang benda asing sudah berkurang.
Meskipun WHO menekankan perlunya penelitian lebih lanjut mengenai dampak mikroplastik di dalam tubuh manusia, temuan BRIN ini adalah peringatan penting. Untuk mengurangi risiko, dokter Wiwin menyarankan masyarakat untuk Mengenakan masker saat berada di luar ruangan, terutama di lingkungan dengan kualitas udara yang buruk dan Menjaga daya tahan tubuh dengan asupan makanan bergizi dan olahraga teratur, agar sistem pertahanan tubuh siap menghadapi “serangan” mikroplastik.
Ancaman mikroplastik di udara Jakarta adalah realitas yang tidak bisa diabaikan. Kesadaran dan tindakan proaktif dari individu serta kebijakan yang lebih ketat dari pemerintah sangat diperlukan untuk melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya tak kasat mata ini.
