Beranda

Misteri Banjir Sumatera: Jejak Chainsaw dan Boomerang Zero Burning

Misteri Banjir Sumatera: Jejak Chainsaw dan Boomerang Zero Burning
Ilustrasi kayu-kayu gelondongan besar yang terseret banjir bandang di Sumatera (io)

Investigasi banjir bandang Sumatera mengungkap jejak gergaji mesin pada kayu gelondongan. Benarkah kebijakan ‘Zero Burning’ sawit menjadi pemicu bencana ini?

INDONESIAONLINE – Banjir yang melanda Sumatera pada akhir 2024 hingga awal 2025 bukan sekadar air bah. Ia datang bersama ribuan kubik material kayu gelondongan (logs) yang menghantam pemukiman bak peluru kendali. Kini, ketika air mulai surut, sebuah fakta forensik mencuat: bencana ini meninggalkan “sidik jari” manusia.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dalam konferensi pers di Mabes Polri, Kamis (4/12/2025), mengungkapkan temuan krusial yang mengubah arah investigasi dari sekadar bencana alam menjadi dugaan tindak pidana lingkungan.

Jejak Bilah Gergaji di Antara Reruntuhan

“Kami dapati ada beberapa yang ada bekas potongan dari chainsaw (gergaji mesin). Itu yang akan kami dalami,” tegas Jenderal Sigit.

Pernyataan ini mengonfirmasi kecurigaan publik. Potongan rapi pada ujung kayu bukanlah hasil patahan alami akibat longsor, melainkan jejak tebangan mekanis. Temuan ini memicu pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Gabungan antara Polri dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) untuk menyisir Daerah Aliran Sungai (DAS) dari hulu hingga hilir.

Data historis dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa Pulau Sumatera memang mengalami tekanan deforestasi masif. Antara tahun 2001 hingga 2023, Sumatera kehilangan jutaan hektare tutupan pohon, sebagian besar didorong oleh ekspansi perkebunan. Temuan chainsaw ini mengindikasikan bahwa aktivitas penebangan—legal maupun ilegal—masih masif terjadi di zona tangkapan air.

Menhut Kerahkan “Mata Digital” AIKO

Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni tidak tinggal diam. Untuk memvalidasi asal-usul kayu tersebut secara ilmiah, Kemenhut mengerahkan teknologi AIKO (Alat Identifikasi Kayu Otomatis).

AIKO merupakan inovasi teknologi berbasis computer vision yang dikembangkan oleh peneliti Indonesia (BRIN dan KLHK). Alat ini mampu memindai penampang kayu (anatomi makroskopis) dan mencocokkannya dengan database spesies kayu dalam hitungan detik.

“Dengan AIKO ini kita akan mengetahui anatomi kayu, berikut misalkan apabila ada cacat di kayu,” ujar Raja Juli.

Teknologi ini krusial untuk menentukan apakah kayu tersebut berasal dari hutan lindung yang dijarah (spesies endemik hutan alam) atau kayu budidaya. Jika AIKO mendeteksi spesies kayu rimba campuran, indikasi illegal logging di hulu semakin kuat.

Paradoks Kebijakan Zero Burning

Namun, temuan paling mengejutkan—dan ironis—datang dari analisis Menteri Lingkungan Hidup (LH), Hanif Faisol. Ia menyoroti sisi lain dari kebijakan lingkungan yang justru berpotensi menjadi bumerang: Metode Zero Burning (Tanpa Bakar).

Selama satu dekade terakhir, pemerintah dan dunia internasional menekan industri sawit untuk tidak membakar lahan demi mencegah kabut asap (karhutla). Kebijakan ini berhasil mengurangi polusi udara, namun menciptakan residu biomassa yang masif.

“Ada indikasi pembukaan kebun sawit yang menyisakan log-log. Karena memang kan zero burning, sehingga kayu itu tidak dibakar, tapi dipinggirkan,” jelas Hanif di Gedung DPR, Rabu (3/12/2025).

Dalam praktiknya, kayu hasil pembukaan lahan (LC) seringkali hanya ditumpuk di pinggir lahan atau tebing sungai (disebut windrowing). Ketika curah hujan ekstrem mengguyur Sumatera, tumpukan kayu yang tidak terikat akar ini tersapu air, menciptakan bendungan alam di sungai, lalu jebol menjadi air bah yang membawa material kayu (debris flow).

Bencana Berlipat Ganda

Analisis ini menunjukkan kompleksitas bencana ekologis di Sumatera. Kayu gelondongan tersebut kemungkinan besar adalah akumulasi dari Sisa Land Clearing: Tumpukan kayu legal yang gagal dikelola karena aturan dilarang bakar dan Penebangan Liar: Ditandai dengan potongan chainsaw di area yang seharusnya tidak ditebang.

Kombinasi antara curah hujan tinggi, topografi curam, dan tumpukan biomassa kayu menciptakan apa yang disebut Hanif sebagai “bencana berlipat-lipat.”

Kini, bola panas ada di tangan Satgas Gabungan. Publik menanti transparansi: apakah kayu-kayu itu murni sampah pembukaan lahan sawit yang salah urus, atau bukti nyata penjarahan hutan lindung yang selama ini tersembunyi di balik rimbunnya bukit barisan? Satu hal yang pasti, jejak gergaji mesin tidak bisa berbohong.

Exit mobile version