INDONESIAONLINE – Istilah “penerbangan hantu” sering kali dihubungkan dengan cerita-cerita mistis dalam dunia penerbangan, di mana sebuah pesawat yang pernah mengalami kecelakaan dianggap melayang kembali, mengangkut penumpang dalam keadaan misterius. Namun, apa sebenarnya yang terjadi di balik istilah yang mengundang rasa penasaran ini?

Menurut laporan dari Simple Flying, fakta penerbangan hantu sebenarnya merujuk pada kejadian di mana sebuah maskapai terus menerbangkan pesawatnya di rute tertentu meskipun tidak ada penumpang yang diterbangkan.

Mengapa sebuah maskapai melakukan hal tersebut? Jawabannya terletak pada kebutuhan untuk mempertahankan slot penerbangan di bandara. Aturan yang dikenal dengan istilah “use it or lose it,” yang diberlakukan oleh Komisi Eropa dan Federal Aviation Administration (FAA) Amerika Serikat, mengharuskan maskapai untuk terus menggunakan slot penerbangan yang mereka miliki, jika tidak, mereka akan kehilangannya.

Baru-baru ini, penerbangan hantu telah menjadi sorotan di Australia, terutama setelah Qantas Airways terkena dampaknya. Maskapai ini harus membayar denda sebesar 120 juta dolar Australia atau setara dengan Rp1,27 triliun sebagai akibat dari ‘skandal penerbangan hantu’ yang terjadi.

Baca Juga  Kisah Nyata, Begini Kondisi Jenazah sebelum Dimakamkan akibat Melakukan Pesugihan Tuyul

Denda ini menjadi yang terbesar dalam sejarah bagi maskapai penerbangan Australia dan salah satu yang terbesar secara global di sektor penerbangan.

“Hukuman ini akan mengirimkan pesan pencegahan yang kuat kepada perusahaan-perusahaan lain,” ujar Ketua ACCC Gina Cass-Gottlieb melalui keterangan resmi.

Langkah ini diambil oleh Qantas sebagai upaya untuk mengakhiri krisis reputasi yang telah melanda mereka. Sebagai bagian dari penyelesaian ini, Qantas akan membayar kompensasi kepada lebih dari 86 ribu pelanggan yang memesan tiket untuk penerbangan hantu tersebut.

Selain itu, pelanggan juga akan menerima pengembalian uang serta tambahan kompensasi sebesar 225 dolar Australia atau Rp2,3 juta untuk tiket domestik dan 450 dolar Australia atau Rp4,7 juta untuk tiket internasional.

“Kami menyadari bahwa Qantas telah mengecewakan pelanggan dan tidak memenuhi standar kami,” tutur CEO Qantas Vanessa Hudson melalui pernyataan resmi.

“(Penyelesaian ini) artinya kami dapat memberikan kompensasi kepada pelanggan yang terkena dampak lebih cepat daripada jika kasus ini berlanjut di Pengadilan Federal,” tambah Hudson.

Baca Juga  Berikut Peringkat Negara yang Warganya Keranjingan Mainan Ponsel

Meskipun pembayaran ini tampak signifikan, namun jika dibandingkan dengan laba bersih yang diperkirakan akan dilaporkan oleh Qantas pada Juni mendatang sebesar 1,47 miliar dolar Australia, maka pembayaran tersebut hanya sebagian kecil dari potensi kerugian.

Pada saat ini, Qantas masih menunggu keputusan pengadilan terkait gugatan dari 1.700 staf penanganan darat yang dipecat pada tahun 2020. Mereka mengklaim bahwa pemutusan hubungan kerja tersebut ilegal karena dimaksudkan untuk menghentikan aksi industri.

Kasus penerbangan hantu ini menjadi sorotan khususnya setelah pembatasan perjalanan internasional di Australia akhirnya dibuka kembali pada tahun 2022. Qantas berpendapat bahwa mereka menghadapi tantangan yang sama seperti maskapai penerbangan lainnya di seluruh dunia.

Namun, Australian Competition and Consumer Commission (ACCC) tetap menegaskan bahwa tindakan mereka melanggar hukum konsumen.

Dengan begitu, penerbangan hantu bukan hanya menjadi isu hukum semata, tetapi juga menciptakan diskusi tentang etika dan kewajiban perusahaan terhadap konsumen, serta tentang keterlibatan otoritas penerbangan dalam mengawasi praktek-praktek yang melanggar hukum (ina/dnv)