Modus Urus Surat, Kades di Jombang Diduga Gerayangi Warganya

Modus Urus Surat, Kades di Jombang Diduga Gerayangi Warganya
Ilustrasi pelecehan seksual yang diduga dilakukan Kepala Desa berinisial J di Jombang, Jatim kepada warganya (Ist)

Miris, seorang Kades di Mojoagung, Jombang, dilaporkan ke polisi atas dugaan pelecehan seksual terhadap warganya (SNA) dengan modus mengurus surat. Saat dikonfirmasi, pelaku mengaku khilaf dan hanya bercanda. Kasus ini kini ditangani Polres Jombang.

INDONESIAONLINE – Ruang pelayanan publik yang seharusnya menjadi tempat aman bagi warga justru berubah menjadi lokasi dugaan tindak asusila. Seorang kepala desa (Kades) di Kecamatan Mojoagung, Jombang, berinisial J, kini harus berhadapan dengan hukum setelah dilaporkan oleh warganya sendiri, SNA (25), atas tuduhan pelecehan seksual.

Ironisnya, perbuatan tak senonoh itu diakui sang Kades sebagai tindakan “khilaf” dan sekadar “guyonan”.

Peristiwa yang mencoreng marwah institusi desa ini kini telah resmi bergulir di meja penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Jombang, membuka tabir kelam di balik pelayanan administrasi desa.

Kronologi di Balik Pintu Kantor Desa yang Sepi

Semua bermula pada Sabtu (2/8/2025) siang, sekitar pukul 11.00 WIB. SNA, seorang ibu muda, datang ke kantor desa dengan niat baik mengurus surat keterangan untuk adiknya. Namun, karena hari libur, suasana kantor begitu lengang. Hanya ada sang kades dan seorang warga lain yang tengah mengambil bantuan sosial (bansos).

Menurut penuturan AL (26), suami korban, petaka dimulai saat warga pengambil bansos itu pamit pulang. Di ruang pelayanan, praktis hanya tersisa istrinya dan Kades J.

“Awalnya biasa saja, surat dibuatkan. Tapi saat surat itu diserahkan untuk dicek, di situlah modusnya dimulai,” ungkap AL dengan nada geram saat dikonfirmasi wartawan, Senin (4/8/2025).

Saat SNA sedang fokus memeriksa ketikan surat, tangan Kades J diduga mulai beraksi. Ia memegang pundak korban dan memijatnya pelan. Tak hanya itu, ucapan yang dilontarkan pun mulai melenceng dari urusan administrasi.

“Dari situ pelaku ngomongnya sudah jorok, dan meminta istri saya masuk ke ruang kerja staf pelayanan. Saat itu sudah memegang pundak istri saya dan memijatnya,” detail AL.

Klimaks dari aksi bejat itu terjadi sesaat kemudian. Dengan dalih surat yang dibuatnya salah, Kades J kembali masuk ke balik meja pelayanan untuk mengetik ulang.

Saat akan menyerahkan surat yang baru, ia tidak lagi menjaga jarak. Kades J tiba-tiba memeluk SNA dari belakang, merayunya, dan tangannya kembali “menjelajah”.

“Istri saya dipeluk dan dipegang-pegang. Terus istri saya langsung rebut surat itu lalu lari keluar,” kata AL, menceritakan detik-detik istrinya berhasil melarikan diri dari situasi mencekam tersebut.

Upaya Mediasi Gagal, Jalan Hukum Jadi Pilihan

Kabar perbuatan tak pantas sang kades rupanya cepat menyebar di kalangan internal desa. Pada malam harinya, sebuah upaya mediasi digelar yang diinisiasi oleh perangkat desa dan tokoh masyarakat setempat.

Dalam mediasi itu, Kades J bahkan telah membuat surat pernyataan, mengakui perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi. Namun, bagi AL dan SNA, luka batin dan pelecehan harga diri tidak bisa selesai hanya dengan selembar surat pernyataan.

AL dengan tegas menolak menandatangani kesepakatan damai tersebut. Baginya, keadilan harus ditegakkan melalui jalur hukum.

“Sempat dimediasi perangkat desa dan penengah, tapi saya nggak mau tandatangan. Ini tadi sudah saya laporkan ke Polres Jombang jam 9 pagi,” tandasnya.

Kanit PPA Satreskrim Polres Jombang, Ipda Satria Ramadhan, membenarkan adanya laporan tersebut. “Laporan sudah kami terima. Upaya selanjutnya, kami akan panggil pihak-pihak terkait untuk diinterogasi. Pemeriksaan normatif akan kami jalankan sesuai prosedur,” terang Ipda Satria.

Pengakuan Sang Kades: Antara Khilaf dan Pasrah

Terpisah, Kades J yang dikonfirmasi mengenai laporan yang menjeratnya tidak mengelak. Ia membenarkan adanya tindakan fisik yang dilakukannya terhadap SNA, namun dengan pembelaan yang sulit diterima akal sehat.

“Sesuai surat pernyataan itu, saya mengaku khilaf telah memeluk istrinya AL. Saya itu guyon (bercanda), tidak ada niat lain. Memang bagaimana pun saya salah,” ucapnya dengan nada pasrah.

Pengakuan “hanya bercanda” ini sontak menjadi sorotan, sebab tindakan memeluk paksa dari belakang jelas bukan standar candaan yang bisa ditoleransi, apalagi dilakukan oleh seorang pejabat publik kepada warganya di lingkungan kantor.

Kini, dengan laporan yang sudah terdaftar di kepolisian, Kades J mengaku siap menghadapi konsekuensi hukumnya. “Ya, dihadapi saja laporannya, mau bagaimana lagi,” pungkasnya.

Kasus ini menjadi pengingat pahit bahwa pelecehan seksual bisa berada di mana saja, bahkan di balik jabatan yang seharusnya mengayomi dan melindungi masyarakat (ar/dnv).