Beranda

MUI Haramkan Ucapkan Salam Agama Lain, Ini Pendapat Sejumlah Ulama dan PWNU Jatim

INDONESIAONLINE –  Majelis Ulama Indonesia (MUI) tengah menjadi perbincangan hangat  setelah  mengeluarkan fatwa bahwa ucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram.

Fatwa MUI tersebut  menuai pro kontra di masyarakat. Seperti diunggah oleh beberapa tokoh di X, @saidiman  turut mengkritisi fatwa yang dikeluarkan MUI tersebut.

“Jadi orang yang sekadar ucap salam agama lain akan dibakar di neraka. Sungguh sebuah ajaran kasih dan damai. Hati menjadi sangat adem. Mana ada agama lain punya ajaran semulia ini. Salut sampai ke bulan! #Serius #IniBukanSarkasme,” ujar @saidiman.

“Bagaimana mau membangun keakraban sesama anak bangsa jika salam aja dilarang,” tulis politisi PSI melalui akun X pribadinya @DedynurPalakka.

Sementara, juga ada beberapa warganet yang setuju dengan fatwa MUI tersebut. “Udah bener kalau di forum pramuka salam pramuka, di acara olahraga salam olahraga, masih harus ditambah salam 7 agama, habis waktu, haram pula, sesuai kondisi aja,” ungkap @ArifLabMed.

Merespons ramainya pro kontra soal fatwa MUI tersebut, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Huda Mergosono Malang KH Achmad Shampton MAg atau akrab disapa Gus Shampton mengatakan memang haram jika  dilihat dari sudut pandang dimensi doa.

“Kalau dilihat dari sudut pandang dimensi doa, ya tentu haram. Tapi di sana ada celah sebagaimana disampaikan NU,” jelas Gus Shampton, Sabtu (1/6).

Putra KH Achmad Masduqi Mahfudz, rais syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur (Jatim) tahun 2002-2007, itu menegaskan, dalam kondisi dan situasi tertentu demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan, pejabat muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama.

Pernyataan Gus Shampton tersebut sesuai dengan rumusan dalam keputusan Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur (Jatim) tentang Hukum Salam Lintas Agama. Dikatakan, Islam sebagai agama kerahmatan selalu menebarkan pesan-pesan kedamaian di tengah manusia.

Pesan kedamaian dalam wujud menebarkan salam secara verbal juga telah menjadi tradisi agama tauhid sejak Nabi Adam as yang terus diwarisi hingga sekarang. Dalam Surat Maryam Ayat 47  disebutkan bahwa Nabi Ibrahim mengucapkan salam kepada ayahnya yang belum bertauhid.

قَالَ سَلٰمٌ عَلَيْكَۚ سَاَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّيْۗ اِنَّهٗ كَانَ بِيْ حَفِيًّا

qâla salâmun ‘alaîk, sa’astaghfiru laka rabbî, innahû kâna bî ḫafiyyâ

Artinya: Dia (Ibrahim) berkata, “Semoga keselamatan bagimu. Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku.

Nabi Muhammad pun pernah mengucapkan salam kepada penyembah berhala dan segolongan Yahudi yang sedang berkumpul bersama kaum muslimin.

Diriwayatkan dari Urwah, sungguh Usamah bin Zaid mengabarinya Bahwa Nabi saw naik himar yang di atasnya terdapat pelana dan di bawahnya terdapat kain beludru kampung Fadak, sementara Usamah mengikuti di belakangnya dalam rangka menjenguk Sa’d bin ‘Ubadah di kampung Bani al-Harits bin al-Khazraj, peristiwa ini terjadi sebelum perang Badar, sehingga Nabi Saw melewati suatu majelis yang di dalamnya berkumpul kaum muslimin, kaum musyrikin penyembah berhala dan kaum Yahudi yang di dalamnya terdapat Abdullah bin Ubai. Di majelis itu juga ada Abdullah bin Rawahah. Kemudian ketika debu telapak hewan kendaraan menyebar ke majelis, Abdullah bin Ubai menutupi hidungnya dengan selendangnya, lalu berkata: “Jangan kenai debu kami.” Kemudian Nabi Saw mengucapkan salam kepada mereka ..” (Muttafaq ‘Alaih)

Termasuk sebagian generasi sahabat dan tabiin setelahnya, seperti Abu Usamah Ra dan Ibn Mas’ud Ra, membolehkan dan melakukan salam.

PWNU Jatim menilai sangat wajar menebarkan salam sebagai pesan kedamaian menjadi tradisi universal manusia lintas adat, budaya dan agama, dengan berbagai model, cara dan dinamika zamannya.

Senada dengan Gus Shampton, KH Syafrudin Syarif menjelaskan, salam lintas agama dibutuhkan dalam menjaga persatuan dan kemaslahatan umat dan ini tidak apa-apa untuk diucapkan. Tetapi, bukan berarti salam lintas agama dianjurkan untuk senantiasa diucapkan.

“Pejabat muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh atau diikuti dengan ucapan salam nasional seperti selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Namun, dalam kondisi dan situasi tertentu, demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan, pejabat muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama,” ujar, dilansir NuOnline, Sabtu (1/6).

“Kami tidak dalam rangka meng-counter pendapat MUI. Namun dalam kasus ini kita tidak melarang atau pun menyuruh. Jadi, kalau ada maslahat kemudian ada hajat untuk mengucapkan salam lintas agama, kami tidak masalah. Tapi kalau tidak diperlukan, sebaiknya tidak dilakukan,” imbuh Kiai Syafrudin.

Sebagaimana diberitakan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII telah menetapkan ketentuan bahwa ucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram.

“Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram,” kata Ketua MUI Bidang Fatwa Prof Asrorun Niam Sholeh.

Lebih lanjut Niam menegaskan bahwa pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi atau moderasi beragama yang dibenarkan. Sebab, pengucapan salam dalam Islam merupakan doa yang bersifat ubudiah (bersifat peribadatan).

“Karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain,” ujarnya.

Selain itu, Niam menyebut bahwa penggabungan ajaran berbagai agama, termasuk pengucapan salam, dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi atau moderasi beragama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan.

Sebagai solusinya, kata Niam, dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan assalamualaikum, salam nasional, atau salam lainnya, yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain.

Dijelaskan Niam bahwa Islam menghormati pemeluk agama lain dan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama. Hal ini sesuai dengan keyakinannya dengan prinsip toleransi dan tuntunan Al-Quran pada ayat “lakum dinukum wa liyadin” (untukmu agamamu dan untukku agamaku), tanpa mencampuradukkan ajaran agama atau sinkretisme.

“Dalam masalah muamalah, perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk terus menjalin kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara harmonis, rukun, dan damai,” ujar Niam.

Sebagai informasi, acara Ijtima Ulama tersebut digelar pada Kamis (30/5), diikuti oleh 654 peserta. Baik dari unsur pimpinan lembaga fatwa ormas Islam tingkat pusat, pimpinan Komisi Fatwa MUI se-Indonesia, pimpinan pesantren tinggi ilmu-ilmu fikih, pimpinan fakultas syariah perguruan tinggi keislaman, perwakilan lembaga fatwa negara ASEAN dan Timur Tengah, seperti Malaysia dan Qatar, individu cendekiawan muslim dan ahli hukum Islam, serta para peneliti sebagai peninjau. (bin/hel)

Exit mobile version