No Kings: Jutaan Rakyat AS Berontak Lawan Otoritarianisme Trump

No Kings: Jutaan Rakyat AS Berontak Lawan Otoritarianisme Trump
Amerika digoncang unjuk rasa atau demo ribuan warganya dalam Aksi No Kings pada 18 Oktober 2025 di Chicago, Illinois, Amerika Serikat (AS).(DANIEL BOCZARSKI/Getty Images via AFP)

Jutaan warga Amerika Serikat turun ke jalan dalam demonstrasi “No Kings” pada 18 Oktober 2025, memprotes kebijakan otoriter Presiden Trump dan krisis demokrasi.

INDONESIAONLINE – Sejarah mencatat bahwa demokrasi Amerika seringkali diuji oleh turbulensi politik, namun gelombang protes bertajuk “No Kings” yang mengguncang seluruh 50 negara bagian pada Sabtu lalu mungkin merupakan salah satu ekspresi ketidakpuasan terbesar dalam sejarah modern AS.

Diperkirakan tujuh juta warga, dari pesisir New York hingga Los Angeles, tumpah ruah ke jalanan, menyuarakan penolakan terhadap apa yang mereka sebut sebagai cengkeraman otoriter Presiden Donald Trump. Aksi ini, yang bertepatan dengan kelumpuhan pemerintahan federal akibat kebuntuan politik di Kongres selama tiga minggu, menandai titik didih bagi polarisasi yang telah lama membara.

Akar Ketidakpuasan: Dari Kebijakan Keras hingga Retorika Memecah Belah

Pemicu utama gelombang “No Kings” adalah serangkaian kebijakan dan retorika Presiden Trump yang dinilai antidemokrasi. Salah satu fokus utama adalah kebijakan imigrasi yang keras, yang disimbolkan oleh keberadaan Immigration and Customs Enforcement (ICE).

Spanduk “Bubarkan ICE” terlihat di mana-mana, mencerminkan sentimen kuat di kalangan demonstran yang melihat lembaga tersebut sebagai alat penindasan.

Data dari Pew Research Center pada awal 2020-an menunjukkan bahwa sentimen negatif terhadap imigran telah meningkat di bawah pemerintahan Trump, meskipun kontribusi ekonomi imigran tetap signifikan. Misalnya, di Houston, sebuah kota dengan hampir seperempat populasinya adalah imigran, spanduk bertuliskan “Lawan Ketidaktahuan, Bukan Migran” menjadi seruan kuat yang menggema.

Selain imigrasi, gaya kepemimpinan Trump yang “penuh kekerasan,” menyerang media, lawan politik, dan institusi demokrasi juga menjadi sorotan.

Colleen Hoffman (69), seorang pensiunan dari New York, mengungkapkan perasaannya kepada AFP: “Saya tidak pernah membayangkan hidup untuk menyaksikan kehancuran negara demokrasi saya. Kita sedang dalam krisis. Rezim ini kejam dan otoriter. Saya tak bisa tinggal diam di rumah.”

Sentimen ini diperkuat oleh laporan Freedom House yang secara konsisten menunjukkan penurunan skor demokrasi AS dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar dikaitkan dengan serangan terhadap kebebasan pers dan independensi lembaga peradilan.

Simbolisme Protes dan Kekuatan Massa

Skala aksi ini sungguh masif. Diperkirakan lebih dari 100.000 orang membanjiri New York dan 10.000 di Washington DC. Massa tidak hanya menyampaikan pesan melalui teriakan dan spanduk seperti “Lindungi Demokrasi,” tetapi juga melalui simbolisme yang kuat.

Di Los Angeles, balon raksasa bergambar Trump mengenakan popok menjadi ekspresi satir yang menyindir kekuasaan. Beberapa bahkan mengibarkan bendera bergambar tengkorak yang terinspirasi dari anime One Piece, sebuah simbol perlawanan yang kini telah mendunia.

Meski sebagian besar aksi berlangsung damai, insiden bentrokan kecil terjadi di pusat kota Los Angeles. Divisi Pusat LAPD melaporkan di media sosial X bahwa setelah ribuan orang berekspresi secara damai, sekitar seratus “agitator” berbaris dan terlibat konfrontasi dengan polisi yang menggunakan gas air mata dan peluru karet.

Insiden serupa, meskipun dalam skala lebih kecil, juga tercatat dalam beberapa demonstrasi besar sebelumnya di AS, menunjukkan adanya elemen radikal di kedua belah pihak.

Presiden Trump, melalui platform Truth Social, menanggapi protes ini dengan serangkaian unggahan provokatif, termasuk video buatan AI yang menggambarkan dirinya sebagai raja yang “menjatuhkan kotoran” ke arah pengunjuk rasa.

Sementara itu, sekutu dekatnya, Ketua DPR Mike Johnson, mengecam demonstrasi ini sebagai aksi “Benci Amerika,” menuduh mereka sebagai gabungan “kaum Marxis, Sosialis, pendukung Antifa, kaum anarkis, dan sayap pro-Hamas dari Partai Demokrat kiri ekstrem.”

Pernyataan ini langsung memicu sindiran dari para peserta aksi. Paolo (63) di Washington DC dengan sinis menyatakan, “Kalau ini kebencian, maka seseorang perlu kembali ke sekolah dasar.”

Tony (34), seorang insinyur perangkat lunak, menambahkan bahwa protes ini mencerminkan jurang politik yang semakin dalam. “Begini intinya soal sayap kanan: mereka membenci kami, dan saya tidak peduli,” ujarnya, menggarisbawahi tingkat ketidakpercayaan dan antagonisme yang tinggi.

Menegakkan Prinsip dan Perlawanan Generasi Muda

Bagi organisasi hak sipil seperti American Civil Liberties Union (ACLU), demonstrasi ini adalah penegasan kembali prinsip kesetaraan di bawah hukum. Deirdre Schifeling dari ACLU menegaskan, “Kita adalah negara hukum yang berlaku untuk semua orang. Kita tidak akan dibungkam.”

Leah Greenberg dari Indivisible Project menambahkan bahwa upaya Trump mengirim Garda Nasional ke kota-kota besar adalah “strategi klasik otoriter: mengancam, mencemarkan nama baik, dan berbohong agar orang tunduk.”

Senator progresif Bernie Sanders, yang berpidato di Gedung Capitol, memperingatkan bahaya meningkatnya kekuasaan di tangan segelintir elit dan oligarki. Pesan-pesan ini menemukan resonansi kuat di kalangan generasi muda.

Isaac Harder (16), seorang siswa sekolah menengah dari Illinois, melihat aksi ini sebagai perlawanan terhadap fasisme yang sedang mengancam. “Ini jalan menuju fasisme, dan saya ingin melakukan apa pun untuk menghentikannya,” katanya.

Gelombang “No Kings” pada 18 Oktober 2025 adalah lebih dari sekadar demonstrasi. Ini adalah manifestasi dari krisis kepercayaan terhadap institusi, ketakutan akan otoritarianisme, dan seruan lantang untuk melindungi demokrasi dari ancaman internal.

Apakah gelombang ini akan menjadi awal dari perubahan yang lebih besar atau sekadar puncak sementara dari gunung es ketidakpuasan, hanya waktu yang akan menjawabnya. Namun yang jelas, Amerika Serikat kini berada di persimpangan jalan, di mana masa depan demokrasinya dipertaruhkan.