INDONESIAONLINE – Pakar hukum tata negara (HTN) Universitas Muslim Indonesia (UMI) Fahri Bachmid merespons wacana yang dilontarkan Ketua DPD (Dewan Perwakilan Daerah) LaNyalla Mahmud Mattalitti yang mendesak seluruh elemen pemerintah dapat memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sesuai naskah aslinya tahun 1945.
Menurut Fahri, wacana dikembalikannya UUD 1945 ke naskah asli tahun 1945 merupakan sebuah gagasan yang tidak maju. “Saya kira itu (dikembalikannya UUD 1945 ke naskah asli) gagasan yang tidak maju. Karena, kita kan sudah berpengalaman 32 tahun di bawah UUD 1945. Banyak hal juga sebenarnya menciptakan suatu sistem yang korup,” ungkap Fahri beberapa waktu lalu ditemui di Universitas PGRI Kanjuruhan Malang (Unikama).
Praktisi hukum yang sempat menjadi anggota Tim Advokasi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin pada sengketa Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu ini mengungkapkan, langkah yang tepat jika memang diperlukan untuk mengubah beberapa pasal yakni dengan melakukan amandemen kelima. “UUD 1945 harus diamandemen kelima untuk mengatasi permasalahan konstitusi yang berjalan deadlock,” ujar Fahri.
Tercatat, UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali. Yakni di Sidang Umum MPR tahun 1999 sebanyak sembilan pasal diamandemen. Kemudian di Sidang Tahunan MPR pada tahun 2000, sebanyak 25 pasal pada lima bab diamandemen. Lalu di Sidang Tahunan MPR tahun 2001, sebanyak 20 pasal diamandemen. Terakhir di Sidang Tahunan MPR tahun 2002, sebanyak 13 pasal diamandemen serta penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Pria yang merupakan ketua Mahkamah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Bulan Bintang (PBB) ini pun menjelaskan alasan tidak diperlukannya lagi penerapan UUD 1945 kembali ke naskah asli seperti di tahun 1945 lampau.
Menurut Fahri, UUD 1945 sesuai dengan naskah asli merupakan produk hukum yang dibentuk dan disusun dalam kondisi kilat. Saat itu Indonesia sebagai sebuah negara harus memiliki dasar negara yang nantinya dapat disempurnakan melalui tahapan amandemen untuk menjadi UUD 1945 permanen.
Fahri menyebutkan, penyempurnaan UUD 1945 melalui tahapan amandemen merupakan penyampaian Presiden RI pertama Soekarno yang juga merupakan salah satu tokoh bangsa perumus UUD 1945.
“Jadi, kalau pembentuk konstitusi pada zaman itu Bung Karno mengatakan bahwa ini UUD kilat, kita pakai dulu ini untuk sementara sampai dengan kita bernegara dalam keadaan tenang, baru kita buat lagi yang baru (diamandemen). Kok kita masih memimpikan yang seperti itu (kembali ke naskah asli UUD 1945),” terang Fahri.
“Padahal yang mencetuskan UUD 1945 menyadari kekurangan UUD 1945 itu. Jadi, kira-kira jangan kita putar ke situ lagi lah. Jarum jamnya jangan ke situ, tapi ke depan,” imbuh Fahri.
Akademisi sekaligus praktisi hukum kelahiran Kabupaten Buru, Provinsi Maluku, ini menuturkan, ke depan hanya perlu penyempurnaan pada beberapa hal di dalam UUD 1945. Mulai dari penguatan fungsi DPD RI, penguatan Komisi Yudisial RI, hingga sistem otonomi daerah yang juga harus dibenahi.
Selain itu, pelaksanaan pemilu yang harus dikuatkan pada beberapa aspek, seperti jangan ada hambatan konstitusional, pemilu dilaksanakan tepat waktu hingga terdapat jalan keluar untuk menunjuk seseorang jika dibutuhkan untuk mengisi kekosongan kursi presiden RI.
“Mungkin penyempurnaannya hanya sebatas itu. Jadi bukan lagi kita sight back ke belakang ke tahun 1945 dengan mengangungkan UUD 1945 (naskah asli),” tegas Fahri.
Sementara itu, disinggung mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi yang merujuk pada UUD 1945 naskah asli, Fahri pun tidak bersepakat dengan hal tersebut.
“Lembaga tertinggi itu dalam makna misalnya untuk mengisi jika (posisi) presiden kosong. Tapi bukan seperti paradigma UUD 1945 yang lama, bahwa kita mengenal suatu supremasi parlemen bahwa sumber kekuasaan negara itu ada di parlemen lalu MPR mendistribusikan ke presiden. Itu tidak begitu,” jelas Fahri.
Akademisi yang juga tergabung dalam Korps Alumni Mahasiswa Islam (KAHMI) ini menyampaikan, jika memosisikan MPR sebagai lembaga tertinggi yang merujuk pada UUD 1945 yang lampau, hal itu bertentangan dengan sistem konstitusionalisme yang menguatkan sistem presidensial.
“Kalau penguatan presidensial itu, kita tidak boleh bercorak parlementer seperti itu. Kalau MPR menjadi lembaga tertinggi, itu berarti kita bercorak parlemen. Padahal kita ini penguatannya sistem presidensial,” ujar Fahri.
Menurut dia, sistem presidensial tidak boleh tunduk pada parlemen. Namun, parlemen dapat diberikan suatu kewenangan eksekutif dalam rangka mengisi posisi jabatan presiden RI jika mengalami kekosongan.
“Tapi bukan sebagai lembaga supreme (tertinggi). Jangan lagi MPR itu sebagai (lembaga) supreme,” tandas Fahri. (ta/hel)