Menelusuri jejak tragis Panembahan Herucakra dalam Perang Takhta Jawa Kedua. Kisah resistensi Arya Dipanegara di Sokawati melawan hegemoni Amangkurat IV dan VOC, hingga pengasingan di Tanjung Harapan.
INDONESIAONLINE – Langit di atas Kartasura tidak pernah benar-benar cerah setelah mangkatnya Pakubuwana I pada 1719. Di balik tembok keraton yang dingin, transisi kekuasaan di tanah Jawa jarang berlangsung tanpa tumpahan darah. Saat Amangkurat IV naik takhta dengan restu Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), retakan di tubuh Mataram melebar menjadi jurang permusuhan.
Di tengah kekacauan itu, seorang pangeran memilih jalan sunyi yang terjal. Ia adalah Pangeran Arya Dipanegara—putra sah Pakubuwana I yang menolak menundukkan wajah pada kakaknya yang dianggap boneka Belanda. Ia menyingkir ke Sokawati, memproklamirkan diri sebagai Panembahan Herucakra, dan menyalakan api Perang Takhta Jawa Kedua (1719–1723).
Kisah Herucakra bukan sekadar catatan kaki tentang pemberontakan. Ia adalah personifikasi dari krisis identitas Jawa di abad ke-18: pertarungan antara legitimasi spiritual wahyu keprabon melawan realitas politik kolonial yang mencekik.

Membangun Benteng di Tanah Sokawati
Dalam historiografi Jawa, nama “Herucakra” memiliki bobot mesianis. Menurut sejarawan M.C. Ricklefs dalam bukunya A History of Modern Indonesia since c. 1200, gelar “Erucakra” sering diasosiasikan dengan sosok Ratu Adil, penyelamat yang muncul di masa krisis (kalabendu).
Pemilihan gelar ini oleh Arya Dipanegara bukan tanpa alasan; ia mengirim pesan kepada rakyat jelata bahwa ia adalah pemegang mandat spiritual yang sesungguhnya, bukan raja di Kartasura yang disokong senapan asing.
Menolak tunduk pada Amangkurat IV, Herucakra membangun basis kekuatan di Sokawati (wilayah yang kini mencakup Sragen dan sebagian Madiun). Di tepian Bengawan yang keruh, ia menggalang kekuatan dari para adipati yang kecewa, petani yang tercekik pajak, dan ulama yang merindukan pemimpin saleh.
Namun, posisi Herucakra terjepit dalam segitiga konflik. Ia tidak hanya melawan Kartasura dan VOC, tetapi juga harus berhadapan dengan faksi pemberontak lain: Keraton Kartasekar yang dipimpin Pangeran Blitar (Sultan Ibnu Mustafa) dan Pangeran Purbaya.
“Tak lazim seorang raja menghadap raja lain,” demikian penolakan tegas Herucakra saat dibujuk bergabung dengan Kartasekar. Baginya, kedaulatan tidak bisa dibagi, dan wasiat ayahandanya adalah mandat mutlak untuk menjaga martabat mancanegara (wilayah luar negaragung).
Tragedi Pengepungan dan Runtuhnya Pertahanan
Berdasarkan catatan Babad Tanah Jawi yang dikurasi oleh sejarawan H.J. de Graaf, ketegangan memuncak ketika pasukan gabungan Surabaya di bawah Adipati Jaya Puspita—yang semula bersekutu namun membelot ke kubu Kartasekar—mengepung benteng Sokawati.
Suasana pertempuran dilukiskan begitu mencekam. Dentuman meriam VOC yang mendukung operasi militer tersebut merobek kesunyian lembah Bengawan. Herucakra, dengan keris di pinggang dan tombak di tangan, sempat menantang Adipati Sasranagara untuk duel satu lawan satu di tengah hujan panah. Namun, realitas perang modern yang dibawa VOC membuat keberanian individu tak lagi cukup.
Benteng Sokawati jebol. Di tengah kobaran api yang melahap istana daruratnya, Herucakra melakukan tindakan putus asa: menjebol tembok belakang benteng untuk menyelamatkan para selir dan anak-anaknya. Pelarian ini membawanya hidup menggelandang di hutan Tembayat, sebuah ironi bagi seorang putra raja yang pernah digadang-gadang sebagai pewaris takhta.
Pengasingan di Ujung Dunia: Dari Ceylon hingga Cape Town
Tahun 1723 menjadi epilog kelam bagi para pangeran pemberontak. Setelah Sultan Ibnu Mustafa wafat karena sakit dan Pangeran Purbaya menyerah, Panembahan Herucakra akhirnya tertangkap.
Di sinilah data sejarah sering kali tumpang tindih, namun arsip VOC memberikan sedikit pencerahan. Herucakra tidak dihukum mati, melainkan diasingkan. Bersama para pengikut setianya seperti Adipati Natapura dan Surapati, ia dibuang jauh dari tanah Jawa.
Beberapa sumber menyebutkan Sri Lanka (Ceylon), namun catatan lain yang lebih spesifik, termasuk penelitian dari Dr. Peter Carey, mengindikasikan pembuangan ke Kaap de Goede Hoop (Tanjung Harapan, Afrika Selatan).
Di Tanjung Harapan, Herucakra hidup dalam sunyi, jauh dari hiruk pikuk politik Mataram. Ia membawa serta luka sejarah dan dua selir setianya, Raden Ayu Badri dan Raden Ayu Daba, yang menemaninya hingga akhir hayat di tanah asing.
Keberadaan makam-makam keramat “Tuan Guru” atau tokoh Islam asal Nusantara di Cape Town menjadi saksi bisu jejak para buangan politik ini, yang kelak membentuk komunitas Melayu Cape (Cape Malays).

Darah yang Mengalir ke Yogyakarta
Meski Herucakra wafat dalam pengasingan dan jasadnya kemudian dipulangkan ke Astana Pajimatan Imogiri pada 1752, garis darahnya tidak terputus. Sejarah mencatat sebuah ironi yang indah: putri sulungnya dari permaisuri Raden Ayu Sulbiyah, yakni Gusti Kanjeng Ratu Kencana, kelak menikah dengan Pangeran Mangkubumi.
Pangeran Mangkubumi inilah yang kemudian mendirikan Kesultanan Yogyakarta sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana I. Dengan demikian, darah pemberontak Herucakra—sang penentang kolonial—mengalir deras dalam nadi raja-raja Yogyakarta, simbol perlawanan yang tak pernah benar-benar padam.
Dua Dipanegara, Satu Semangat
Penting bagi pembaca sejarah untuk membedakan dua tokoh besar ini. Panembahan Herucakra adalah Pangeran Arya Dipanegara (abad ke-18), paman buyut dari Pangeran Harya Dipanegara (abad ke-19) yang memimpin Perang Jawa (1825–1830).
Namun, kesamaan nama ini bukan kebetulan. Gelar Dipanegara—yang bermakna “Pelita Negeri”—adalah simbol harapan. Herucakra mungkin gagal secara militer di Sokawati, namun ia berhasil menanamkan benih perlawanan: bahwa martabat dan kedaulatan adalah harga mati yang layak diperjuangkan, meski harus berakhir di pengasingan atau kematian.
Seperti yang pernah dikutip Julius Knoerle dari Pangeran Diponegoro (Pahlawan Nasional), nama tersebut adalah doa: “Seseorang yang memberi pencerahan, kekuatan, dan kemakmuran kepada negara.” Sebuah doa yang pertama kali dirapalkan oleh Herucakra di tengah kecamuk Perang Takhta Jawa.
Referensi:
Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200. Palgrave Macmillan. (Data mengenai konteks Ratu Adil dan fragmentasi Mataram).
De Graaf, H.J. (1987). De regering van Sunan Mangku-Rat IV. KITLV Press. (Detail mengenai konflik suksesi Amangkurat IV).
Carey, Peter. (2012). Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Kepustakaan Populer Gramedia. (Validasi pembedaan dua tokoh Dipanegara dan konteks pengasingan ke Afrika Selatan/Ceylon).
Babad Tanah Jawi. (Sumber primer historiografi tradisional Jawa mengenai silsilah dan narasi perang).












