Selami kisah epik Pati Unus, sang ksatria maritim Demak yang menantang Portugis, sekaligus pionir Islamisasi di Madiun. Temukan persimpangan kekuasaan, cinta, dan keyakinan di tengah runtuhnya Majapahit dan bangkitnya Demak.
INDONESIAONLINE – Angin timur membawa desiran kisah, mengabarkan senja sebuah imperium raksasa bernama Majapahit. Di tengah gemuruh reruntuhan itu, fajar sebuah peradaban baru merekah di pesisir utara Jawa, mengibarkan panji-panji Demak dengan segala ambisinya.
Kisah Madiun, yang kini sering dibingkai dalam tarian klasik dan legenda romantis Retno Dumilah, sejatinya menyimpan jejak yang jauh lebih purba, lebih fundamental: sebuah simpul transisi, jembatan antara dua zaman, antara dua keyakinan. Di sinilah, di tanah bernama Purabaya, sang Pangeran Sabrang Lor melabuhkan takdirnya, bukan hanya sebagai panglima perang yang gagah, melainkan juga sebagai penanam benih Islamisasi yang kelak bersemi.
Mari susuri lorong waktu, menyingkap tabir kisah heroik Pati Unus—Sultan Demak II—yang terlupakan dari panggung sejarah Madiun. Ini bukan sekadar catatan kronologi, melainkan sebuah epik yang digali dari serpihan babad, bisikan tradisi lisan, dan cahaya historiografi modern. Mari kita selami ideologi, spiritualitas, dan intrik politik yang mewarnai lembaran-lembaran takdir di jantung Jawa.
Ketika Sang Surya Majapahit Tenggelam, Demak Pun Bangkit
Abad kelima belas adalah saksi bisu kemunduran Majapahit. Dinding-dinding istana yang megah perlahan retak, digerogoti kudeta Girindawardhana, perang saudara yang tak berkesudahan, dan pemberontakan dari vasal-vasal yang mendamba kemerdekaan.
Gemuruh kejayaan Gajah Mada dan Hayam Wuruk hanya tinggal gema di antara puing-puing istana. Imperium yang pernah menyatukan Nusantara itu kini terhuyung-huyung di ambang kehancuran.
Menurut lontar-lontar kuno, tahun 1478 sering disebut sebagai titimangsa keruntuhan Majapahit, bertepatan dengan detik-detik berdirinya Kesultanan Demak oleh seorang pangeran berdarah campuran, Jin Bun, yang kelak dikenal sebagai Raden Patah.
Meski para sejarawan modern masih berdebat tentang akurasi tanggal ini, satu hal pasti: Demak tumbuh subur di atas abu Majapahit. Ia tak hanya menguasai urat nadi perdagangan pesisir, tetapi juga dengan gagah berani merangkak ke pedalaman, menaklukkan sisa-sisa kekuasaan Hindu-Buddha.
Di jantung pedalaman Jawa Timur, terhampar sebuah kerajaan kecil yang luput dari pusaran kekuasaan Majapahit: Gelang-Gelang, atau yang dikenal pula sebagai Pandansalas, berpusat di Ngurawan.
Sejak tahun 1375, Ngurawan telah memilih jalannya sendiri, nyaris independen, meski secara formal masih bernaung di bawah panji Majapahit. Ketika Majapahit runtuh, Gelang-Gelang tak ikut tumbang. Ia tetap tegak sebagai monarki kecil, menjanjikan ketenangan di tengah badai.
Namun, pada tahun 1528, badai itu benar-benar datang. Pasukan Islam Demak, di bawah komando Sunan Kudus yang perkasa, menyapu bersih Pandansalas. Sejak saat itu, Ngurawan tak lagi sama. Ia kini masuk dalam orbit Demak, sebuah takdir yang tak terhindarkan.
Adipati Gugur: Penjaga Terakhir Pusaka Hindu di Ngurawan
Dalam tradisi lisan yang hidup di bibir masyarakat Madiun, penguasa Ngurawan di masa genting itu adalah seorang bangsawan bernama Adipati Gugur, putra mahkota dari Sri Prabu Kertawijaya atau Brawijaya V, raja terakhir Majapahit.
Dalam nadinya mengalir darah para raja Hindu-Syiwa, memberinya legitimasi yang tak tergoyahkan di mata rakyat Ngurawan. Mayoritas penduduknya masih teguh memegang keyakinan Hindu, dengan ritus-ritus kuno yang mengakar kuat dalam denyut kehidupan mereka.
Namun, posisi Adipati Gugur bagai daun kering di antara dua badai. Di satu sisi, kekuasaan Majapahit yang telah melahirkannya kini begitu rapuh, tak berdaya. Di sisi lain, Demak, sang kekuatan Islam yang baru, bagai gelombang pasang yang tak terbendung, meluas ke seluruh pedalaman.
Di tengah pusaran takdir ini, Adipati Gugur harus menemukan jalan. Dan jalan itu, takdirnya, adalah sebuah perkawinan politik. Sebuah jembatan yang tak hanya akan mempertahankan pengaruhnya, tetapi juga membuka gerbang bagi masuknya ideologi baru ke tanah yang dicintainya.
Perkawinan Takdir: Pati Unus dan Putri Ngurawan
Dari balik tirai istana Demak, muncullah seorang pemuda gagah berani, berwibawa, dan penuh ambisi: Surya Pati Unus. Ia adalah putra mahkota Sultan Raden Patah, dari permaisuri Dewi Murthasimah binti Sunan Ampel.
Nama-namanya begitu banyak, bagai bintang di langit malam: Raden Abdul Qadir, Pati Unus, namun yang paling masyhur adalah Pangeran Sabrang Lor, julukan yang disematkan kepadanya karena keberaniannya menyeberangi Laut Jawa, dua kali, untuk menantang kegagahan Portugis di Malaka.
Lahir sekitar tahun 1488, Pati Unus tumbuh di lingkungan istana Demak yang sedang memuncak. Ia dibentuk untuk memimpin, dipersiapkan sebagai putra mahkota, dan tak lama kemudian, muncul sebagai panglima perang termuda yang paling disegani.
Catatan Tomé Pires dalam Suma Oriental, sebuah permata sejarah, melukiskan Pati Unus pada tahun 1513, di usia sekitar 25 tahun, telah memimpin ekspedisi Demak pertama ke Malaka. Meski gagal merebut kota, ia telah mengukir namanya sebagai ksatria maritim yang tak kenal takut.
Takdir membawanya naik takhta pada tahun 1518, menggantikan mendiang ayahnya, Raden Patah. Hanya tiga tahun setelahnya, ia kembali memimpin armada raksasa, menantang Portugis sekali lagi.
Namun, kali ini, nasib berkata lain. Pada tahun 1521, sang Pangeran Sabrang Lor gugur di medan laga, syahid demi keyakinannya. Masa pemerintahannya yang singkat, hanya tiga tahun, menjadi legenda. Setelah kepergiannya, takhta Demak beralih kepada adiknya, Sultan Trenggana, yang akan memerintah lebih dari dua dekade.
Kisah Pati Unus adalah paradoks. Ia adalah pahlawan maritim yang gugur di medan perang melawan penjajah asing, namun di sisi lain, ia adalah benang merah yang mengikat kekuasaan pesisir Demak dengan kekuatan pedalaman Jawa, termasuk Ngurawan, Purabaya, bahkan Ponorogo.
Peran ganda inilah yang menjadikannya bukan sekadar tokoh Demak, melainkan juga arsitek awal terbentuknya Madiun sebagai entitas politik di awal abad keenam belas.
Menurut bisikan tradisi lisan Madiun, Pati Unus menikahi putri Adipati Gugur. Sebuah perkawinan yang melampaui ikatan hati, mengikat dua dunia. Secara politik, Demak berhasil menancapkan pengaruhnya di pedalaman. Secara keagamaan, pernikahan ini adalah fajar transisi dari Hindu ke Islam di Madiun. Secara ekonomi, Demak mendapatkan akses ke lumbung pangan subur Ngurawan, menguatkan ambisinya sebagai kerajaan maritim.
Aliansi ini adalah bukti nyata bahwa Islamisasi di Jawa tak melulu lewat dakwah para wali. Ia juga meresap melalui pernikahan elite politik, sebuah strategi diplomasi yang damai namun efektif. Dengan menikahi putri Adipati Gugur, Pati Unus bukan hanya meneguhkan legitimasinya, tetapi juga memperluas jaringan Islamisasi melalui pengaruh keluarga bangsawan. Kisah cinta dan politik ini melahirkan sebuah peradaban baru.
Purabaya: Mekarnya Benih Madiun
Setelah ikatan suci terjalin, Pati Unus tidak tinggal diam. Ia membangun pemukiman baru di utara Ngurawan, sebuah cikal bakal yang kelak dikenal sebagai Purabaya. Lokasinya, di Desa Sogaten yang kini kita kenal, tiga kilometer di utara Kota Madiun, bukanlah pilihan sembarangan. Purabaya berdiri kokoh di tepian Sungai Madiun, sebuah urat nadi transportasi yang vital, menghubungkan pedalaman dengan dunia luar.
Keputusan Pati Unus untuk membangun pusat baru di Purabaya, alih-alih di Ngurawan, adalah sebuah strategi akomodasi yang brilian. Ia tak ingin memaksakan Islam secara frontal di jantung kekuasaan Hindu ayah mertuanya. Dengan mendirikan pemukiman baru, Pati Unus menciptakan ruang yang damai bagi Islam untuk tumbuh, sembari tetap menghormati tradisi lama yang telah mengakar.
Purabaya, perlahan namun pasti, tumbuh menjadi pusat permukiman yang ramai, berdenyut dengan kehidupan baru. Dari sinilah, benih-benih identitas Madiun sebagai sebuah entitas politik mulai terbentuk. Kehadiran Pati Unus, meskipun singkat, telah meletakkan fondasi awal bagi transformasi wilayah ini. Sebuah metamorfosa yang tak terhindarkan.
Kyai Reksogati: Penjaga Api Islamisasi
Takdir memanggil Pati Unus kembali ke Demak pada tahun 1518, untuk menggantikan sang ayah yang telah wafat. Ia dinobatkan sebagai Sultan Demak II, namun mahkota itu hanya bertengger di kepalanya selama tiga tahun. Ia gugur heroik di Malaka, meninggalkan Purabaya.
Namun, Purabaya tak lantas sepi. Demak, dengan kebijaksanaannya, menempatkan Kyai Reksogati sebagai pemimpin lokal, seorang tokoh yang sangat dihormati. Namanya abadi dalam toponimi Sogaten, situs makamnya hingga kini menjadi bukti bisu jejak Islamisasi awal di Madiun.
Kyai Reksogati bukan hanya pemimpin spiritual, melainkan juga jembatan antara kekuasaan Demak dan masyarakat lokal. Ia adalah simbol kesinambungan dakwah Islam, sebuah obor yang terus menyala setelah Pati Unus kembali ke pusat kekuasaan.
Purabaya di Bawah Naungan Trenggana dan Pajang
Setelah gugurnya Pati Unus, takhta Demak beralih ke tangan adik tirinya, Sultan Trenggana. Selama hampir seperempat abad, dari 1521 hingga 1546, Trenggana mengukir sejarah dengan memperluas kekuasaan Demak, sebuah ekspansi yang tak hanya bermuatan politik, tetapi juga religius.
Di Purabaya, Sultan Trenggana menempatkan putra bungsunya, Pangeran Timur, sebagai penguasa baru. Penempatan ini menegaskan status Purabaya sebagai daerah vital bagi Demak di pedalaman, sebuah simpul perdagangan yang menghubungkan pedalaman Jawa dengan jalur pesisir utara. Purabaya adalah jantung strategis bagi politik, ekonomi, dan penyebaran Islam.
Namun, kejayaan Demak tak abadi. Setelah wafatnya Sultan Trenggana pada 1546, perseteruan antara Arya Penangsang dan Jaka Tingkir membuat Demak goyah. Purabaya pun tak lagi di bawah bayang-bayang Demak, melainkan masuk ke dalam lingkaran Kesultanan Pajang, di bawah kepemimpinan Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya.
Di bawah Pajang, Purabaya tetap menjadi wilayah penyangga strategis. Namun, ketika Pajang melemah di akhir abad keenam belas, Purabaya perlahan masuk ke dalam orbit kekuasaan Mataram Islam yang dipimpin Panembahan Senopati. Sejak abad keenam belas, Purabaya, yang kelak dikenal sebagai Madiun, adalah sebuah arena tarik-menarik antara berbagai kekuatan besar: peninggalan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram.
Dari Purabaya ke Banten: Warisan Pati Unus yang Melintas Zaman
Jejak Pati Unus di Madiun memang singkat, namun warisan genealogis dan politiknya tak berhenti di medan Malaka. Dari perkawinannya dengan putri Adipati Gugur, lahirlah Pangeran Panggung dan Raden Ayu Pager Gunung, namun keturunan yang paling menonjol adalah Raden Abdullah, putra keduanya.
Setelah gugurnya Pati Unus, Demak dilanda kekacauan politik. Perebutan takhta membahayakan garis keturunan Pati Unus. Para penasihat khawatir Raden Abdullah akan menjadi korban intrik. Sebagian elite Demak menolak klaim keturunannya karena Pati Unus dianggap hanya menantu Raden Patah, bukan pewaris langsung.
Selain itu, garis ayah Pati Unus berakar pada tradisi Arab yang selaras dengan Kesultanan Banten dan Cirebon, berbeda dengan Raden Patah yang masih ditopang legitimasi Majapahit.
Untuk menyelamatkan Raden Abdullah, ia tak dibawa kembali ke Demak. Ia diturunkan di Banten, mengikuti arah politik armada. Di sinilah ia menemukan perlindungan dan disintesiskan ke dalam garis politik baru Kesultanan Banten.
Menurut tradisi, Raden Abdullah, yang juga dikenal sebagai Pangeran Yunus, dinikahkan dengan putri ketiga Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten. Perkawinan ini tak hanya menyelamatkan garis keturunannya, tetapi juga mempererat hubungan kekerabatan antar kesultanan Islam di Jawa.
Demikianlah, warisan Pati Unus tak hanya terhenti pada kisah heroiknya sebagai Pangeran Sabrang Lor, syuhada maritim Demak. Ia juga meninggalkan jejak genealogis yang melintasi batas geografis dan politik, dari Purabaya di pedalaman Madiun menuju Banten di ujung barat Jawa.
Kisah ini mengajarkan bahwa sejarah Jawa abad keenam belas bukanlah sekadar kisah runtuh dan bangunnya kerajaan, melainkan juga tentang kesinambungan darah, percampuran tradisi, dan transformasi identitas yang tak pernah putus. Dari Majapahit ke Demak, lalu dari Demak ke Banten, benang takdir terus terajut, mengukir sejarah bangsa ini.
Referensi:
-
Pires, Tomé. The Suma Oriental of Tomé Pires and the Book of Francisco Rodrigues. Diterjemahkan dan disunting oleh Armando Cortesão. London: Hakluyt Society, 1944.
-
De Graaf, H.J. dan Th.G.Th. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1985.
-
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.
-
Babad Tanah Jawi: Edisi Meinsma. Terjemahan W.L. Olthof. Yogyakarta: Narasi, 2007.
-
Tradisi Lisan Masyarakat Madiun.