Menjelajahi dua figur “Arya Blitar” yang berbeda zaman: Adipati Arya Blitar era transisi Majapahit-Demak, dan Raden Mas Sudomo di masa Kartasura. Meluruskan sejarah untuk memahami peran mereka dalam dinamika Jawa.
INDONESIAONLINE – Dalam balutan kabut sejarah Jawa yang kerap mengaburkan garis waktu, dua figur agung bergelar “Arya Blitar” muncul, namun dari panggung dan babak yang berbeda. Pemahaman yang keliru telah sering mencampuradukkan identitas mereka, padahal masing-masing adalah penanda zaman yang vital dan tak tergantikan.
Mari kita singkap lapisan-lapisan narasi, memisahkan benang kusut antara Adipati Arya Blitar dari era transisi Majapahit ke Demak, dan Pangeran Arya Blitar (Raden Mas Sudomo) yang hidup di bawah bayang-bayang gejolak Kartasura.
Sejarah, sebagaimana sungai, memiliki hulu dan hilirnya. Mencampuradukkan dua tokoh Arya Blitar sama dengan mengacaukan peta aliran sungai itu. Adipati Arya Blitar adalah pewaris langsung trah Majapahit yang menyambut fajar Demak, berperan dalam konsolidasi Islam di Jawa Timur.
Sementara Raden Mas Sudomo, putra Pakubuwana I, adalah pahlawan perlawanan anti-VOC di abad ke-18. Jarak waktu dua abad memisahkan mereka, dengan latar politik, ideologi, dan jejak takdir yang sama sekali berbeda.
Lanskap Majapahit yang Meredup: Fajar Baru di Balitar
Bayangkan Majapahit di penghujung abad ke-15, seperti senja yang merona namun menyimpan kegelisahan. Panji-panji yang dulu perkasa mulai lusuh, gemuruh gamelan istana digantikan bisikan intrik. Desentralisasi kekuasaan dan pergeseran ideologi Hindu-Buddha menuju Islam menciptakan celah.
Di sinilah, di tengah pusaran zaman, muncul Adipati Arya Blitar. Dia bukan sekadar penguasa lokal, melainkan simbol yang menghubungkan dua era, dua peradaban.
Adipati Arya Blitar adalah cucu dari Arya Damar (Ario Abdillah), Adipati Palembang yang juga putra Prabu Brawijaya V, penguasa terakhir Majapahit. Bersama Ki Ageng Sengguruh, ia berdiri di garis depan perubahan, menjadi jembatan bagi kekuasaan Hindu-Buddha menuju Kesultanan Demak yang baru lahir. Kisahnya adalah potret awal Islamisasi yang terintegrasi dari dalam tubuh aristokrasi Majapahit itu sendiri.
Arya Damar: Sang Pembaharu dari Palembang
Sosok Arya Damar adalah kunci. Dikenal pula sebagai Ario Abdillah, ia adalah putra Prabu Brawijaya V dari seorang selir penganut Bhairawa Tantra. Dididik di luar tembok istana oleh Ki Kumbarawa, Arya Damar tumbuh menjadi prajurit sakti dan negarawan tangguh.
Kisahnya mencatat transformasinya di Palembang, tempat ia memeluk Islam setelah bertemu Sunan Ampel. Dari pernikahannya dengan Nyai Sahilan, keturunan tokoh Arab, lahirlah Raden Sahun (Pangeran Pandanarang), yang kelak menjadi Adipati Semarang.
Dari silsilah Arya Damar pula, lahir tokoh-tokoh penting di Madura, Bali, dan Jawa. Naskah-naskah kuno seperti Babad Ratu Tabanan dan Silsilah Raja-Raja Madura menegaskan posisinya sebagai leluhur raja-raja dan bupati, mencerminkan jaringan kekerabatan yang luas dan strategis dalam pembentukan elite baru Nusantara.
Gelar “Kyai” yang banyak digunakan keturunannya di Gresik, Lamongan, Pasuruan, dan Bangil menjadi penanda jejaknya.
Dari Arya Damar lahirlah Raden Kusen, Adipati Terung. Uniknya, ia adalah adik seibu dari Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak. Raden Kusen menempati posisi ambigu dalam konflik Majapahit-Demak, bahkan sempat membunuh Sunan Ngudung. Namun, setelah Majapahit kalah, ia tetap diberi kepercayaan memimpin Kadipaten Terung oleh Raden Patah.
Dari Raden Kusen dan Nyai Wilis (cucu Sunan Ampel) inilah lahir dua tokoh utama kita: Arya Blitar dan Adipati Sengguruh. Mereka adalah cucu Arya Damar (dari ayah) dan cicit Sunan Ampel (dari ibu), serta keponakan langsung Raden Patah. Posisi ini menempatkan mereka sebagai perpaduan strategis antara warisan Majapahit dan misi Islamisasi Walisanga.
Tragedi di Brantas: Pengorbanan Dua Pewaris Majapahit
Di bawah panji Demak, Adipati Arya Blitar dan Ki Ageng Sengguruh menjadi motor dakwah dan konsolidasi kekuasaan di Jawa Timur bagian selatan. Arya Blitar menguasai Kadipaten Balitar (Blitar-Tulungagung), sementara Ki Ageng Sengguruh memimpin Kadipaten Sengguruh (Malang selatan).
Namun, upaya mereka tak mulus. Mereka menghadapi perlawanan sengit dari Adipati Srengat, Nila Suwarna, seorang penganut Hindu yang setia pada tatanan lama.
Kisah tragis pun terjadi. Saat pulang ziarah dari makam Sunan Giri, rombongan Arya Blitar dan Ki Ageng Sengguruh disergap pasukan Adipati Srengat di Sungai Brantas. Pertempuran tak seimbang itu merenggut nyawa kedua adipati. Arya Blitar dimakamkan di utara Kali Brantas (Kota Blitar), dan Ki Ageng Sengguruh di selatan sungai (Rejotangan, Tulungagung).
Kisah ini adalah pengingat bahwa Islamisasi Jawa bukanlah proses tanpa darah, melainkan medan perjuangan dan pengorbanan.
Peristiwa ini diikuti dengan hancurnya Kadipaten Sengguruh. Namun, rekonsiliasi politik tak sepenuhnya padam. Sunan Kudus, yang ayahnya gugur di tangan Raden Kusen, justru menikahi Dyah Ayu, putri Raden Kusen dan saudari Arya Blitar. Pernikahan ini melahirkan Panembahan Palembang dan Nyi Ageng Pembayun, menunjukkan bagaimana kekerabatan menjadi alat integrasi dalam struktur kekuasaan baru.
Referensi:
-
Djafar, Hasan. (2009). Kompleks Percandian Sri Kahuripan di Malang: Studi tentang Awal Perkembangan Islam di Jawa Timur. Jakarta: Efek Media Komunika.
-
Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford: Stanford University Press.
-
De Graaf, H.J. & Pigeaud, Th.G.Th. (1984). Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Studi Sejarah Abad ke-15 dan ke-16. Jakarta: Grafitipers.
-
Muljana, Slamet. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS.
-
Babad Ratu Tabanan. (Teks Kuno/Manuskrip, tahun dan penerbitan spesifik mungkin bervariasi).
-
Silsilah Raja-Raja Madura. (Teks Kuno/Manuskrip, tahun dan penerbitan spesifik mungkin bervariasi).
-
Tedhak Poespanegara. (Teks Kuno/Manuskrip, tahun dan penerbitan spesifik mungkin bervariasi).
-
Laporan Penelitian Arkeologi Situs Makam Adipati Arya Blitar dan Ki Ageng Sengguruh (Jika ada publikasi spesifik dari dinas terkait atau lembaga penelitian)