Paradoks Elon Musk: Triliuner Gelandangan dan Ambisi Menuju Mars

Paradoks Elon Musk: Triliuner Gelandangan dan Ambisi Menuju Mars
Elon Musk (io)

Mengulik sisi lain Elon Musk, orang terkaya dunia dengan harta Rp 7.800 triliun yang memilih hidup nomaden, menjual aset properti, dan tidur di kasur berlubang demi ambisi peradaban antarplanet.

INDONESIAONLINE – Dalam tatanan sosial konvensional, kekayaan senilai USD 467 miliar atau setara Rp 7.800 triliun seharusnya identik dengan istana berlapis marmer, pelayan pribadi yang siap sedia, dan kenyamanan tanpa batas.

Namun, angka statistik Forbes yang menempatkan Elon Musk di puncak piramida kekayaan global tersebut seolah menjadi antitesis dari realitas kesehariannya. Musk adalah sebuah anomali; ia adalah raja tanpa istana, triliuner yang memilih hidup layaknya “gelandangan” elit.

Di balik berita utama tentang roket yang meluncur ke orbit dan mobil listrik yang mendominasi jalanan, terdapat narasi yang lebih intim dan membingungkan tentang bagaimana sang teknoking menjalani hidupnya.

Musk tidak sedang berhemat karena krisis, melainkan sedang menjalankan sebuah eksperimen radikal tentang pelepasan ikatan duniawi demi obsesi yang jauh lebih besar: Mars.

Asketisme Sang Miliarder

Pada tahun 2020, dunia dikejutkan oleh deklarasi Musk di media sosial. Ia bersumpah untuk “tidak memiliki rumah” dan menjual hampir seluruh harta fisiknya.

“Kepemilikan hanya akan membebanimu,” tulisnya kala itu. Kalimat ini bukan sekadar retorika kosong.

Laporan Wall Street Journal mencatat bahwa Musk membuktikan ucapannya. Jika pada 2019 ia masih memegang portofolio properti senilai USD 100 juta yang mencakup tujuh rumah mewah di kawasan elite Bel-Air, California, setahun kemudian aset-aset itu mulai dilepas satu per satu.

Sebagai gantinya, Musk kini menempati sebuah rumah prefabrikasi (rakitan) sederhana di Boca Chica, Texas, yang nilainya hanya di kisaran USD 50.000. Lokasi ini dipilih bukan karena pemandangannya, melainkan karena kedekatannya dengan fasilitas peluncuran SpaceX.

“Rasanya cukup keren,” ujar Musk tentang hunian seukuran apartemen studio tersebut. Rumah itu fungsional, dingin, dan jauh dari definisi kemewahan seorang taipan.

Kesaksian paling menohok datang dari orang-orang terdekatnya. Grimes, musisi dan mantan pasangan Musk yang juga ibu dari anak-anaknya, pernah mengungkapkan rasa frustrasinya dalam sebuah wawancara.

Menurut Grimes, Musk kadang hidup “di bawah garis kemiskinan”. Sebuah pernyataan hiperbolis namun menggambarkan situasi nyata di mana Musk pernah menolak membeli kasur baru, meskipun kasur yang ia tiduri sudah berlubang dan rusak.

“Bro tidak hidup seperti miliarder,” ujar Grimes.

Bagi Musk, mengganti kasur mungkin adalah gangguan logistik yang tidak perlu dibandingkan memikirkan desain Starship.

Nomaden di Lembah Silikon

Gaya hidup asketis ini rupanya bukan hal baru, melainkan pola yang berulang. Larry Page, salah satu pendiri Google, mengenang momen di tahun 2015 ketika Musk, yang saat itu sudah berstatus jutawan, bertingkah layaknya tunawisma.

“Dia akan mengirim email dan berkata, ‘Aku tidak tahu mau tidur di mana malam ini. Bisakah aku mampir?'” kenang Page.

Bahkan setelah menjual aset propertinya baru-baru ini, Musk mengakui bahwa jika ia harus pergi ke Bay Area—pusat rekayasa Tesla—ia akan merotasi tempat tidurnya di kamar tamu rumah teman-temannya.

Perilaku ini menunjukkan bahwa bagi Musk, rumah adalah liabilitas. Rumah membutuhkan perawatan, pajak, dan perhatian. Dengan menjadi “gelandangan” yang menumpang di rumah teman atau tidur di pabrik, ia memangkas “bandwidth” mental yang seharusnya bisa dialokasikan untuk memecahkan masalah teknik yang rumit.

Koleksi Unik: Antara Hobi dan Efisiensi

Meski anti-kemewahan dalam hal hunian, Musk bukanlah seorang biarawan total. Ia tetap menghamburkan uang, namun hanya untuk dua kategori: benda yang memiliki nilai rekayasa tinggi dan alat yang membeli waktu.

Dikutip dari BBC, Musk memiliki koleksi mobil yang mencerminkan kecintaannya pada sejarah otomotif dan inovasi. Garasinya—atau dimanapun ia menyimpannya—menyimpan Ford Model T yang bersejarah, Jaguar E-Type Roadster tahun 1967, hingga McLaren F1 tahun 1997 yang legendaris.

Namun, permata mahkota koleksinya mungkin adalah Lotus Esprit tahun 1976. Mobil ini adalah properti asli yang digunakan James Bond dalam film The Spy Who Loved Me.

Musk membelinya dalam lelang tahun 2013 seharga hampir USD 1 juta. Uniknya, ambisi Musk bukan untuk memajangnya, melainkan ia terobsesi untuk merekayasa ulang mobil tersebut agar benar-benar bisa berubah menjadi kapal selam seperti di film. Ini adalah mainan bagi seorang insinyur, bukan sekadar simbol status.

Di sisi lain, pengeluaran terbesarnya jatuh pada armada jet pribadi. Musk memiliki beberapa model Gulfstream bernilai puluhan juta dolar. Bagi kritikus, ini adalah kemunafikan bagi seseorang yang mengampanyekan energi hijau.

Namun bagi Musk, jet adalah mesin waktu. “Kalau tidak menggunakan pesawat, aku punya lebih sedikit waktu untuk bekerja,” tegasnya.

Jet memungkinkannya membelah langit antara fasilitas SpaceX di Texas dan markas Tesla di California dalam hitungan jam. Dalam kalkulasi Musk, waktu kerjanya bernilai jauh lebih tinggi daripada bahan bakar avtur yang dibakar.

Filantropi yang Egois atau Visioner?

Sisi lain yang memicu perdebatan adalah pandangan Musk mengenai kekayaan dan amal. New York Times pernah melaporkan pola donasi Musk yang dianggap “acak” dan seringkali menguntungkan kepentingan bisnisnya sendiri. Yayasan amalnya, Musk Foundation, dilaporkan beberapa kali gagal memenuhi jumlah sumbangan minimum yang diwajibkan undang-undang, dan banyak aliran dananya bermuara pada organisasi yang terafiliasi dengannya.

Namun, Musk memiliki definisi filantropi yang berbeda dari miliarder lain seperti Bill Gates atau Warren Buffet. Ia menolak konsep filantropi tradisional yang sekadar membagi-bagikan uang.

“Jika filantropi berarti cinta terhadap umat manusia, maka mereka (perusahaan-perusahaannya) adalah filantropi,” tegas Musk.

Dalam pandangan dunia Musk, Tesla adalah amal karena mempercepat transisi energi berkelanjutan untuk menyelamatkan Bumi dari kiamat iklim.

Neuralink adalah amal karena mencoba mengatasi risiko kecerdasan buatan (AI) dan cedera otak. Dan yang paling ambisius, SpaceX adalah puncak filantropi karena bertujuan menjadikan manusia spesies multi-planet, sebuah asuransi bagi kelangsungan hidup kesadaran manusia jika Bumi hancur.

Elon Musk adalah studi kasus tentang bagaimana kekayaan ekstrem dapat mengubah persepsi seseorang tentang kebutuhan dasar. Ia memiliki Rp 7.800 triliun, namun memilih tidur di kasur rusak di dalam rumah prefabrikasi. Ia dituduh pelit dalam beramal, namun merasa sedang menyelamatkan seluruh umat manusia melalui roket-roketnya.

Gaya hidupnya yang “miskin” secara domestik namun “kaya” secara visi menunjukkan bahwa bagi Musk, uang bukanlah alat untuk membeli kenyamanan. Uang hanyalah bahan bakar—sama seperti oksigen cair dan metana dalam roketnya—yang diperlukan untuk mendorong ambisinya meninggalkan Bumi. Di mata Musk, kenyamanan duniawi hanyalah distraksi dari misi besarnya menuju bintang-bintang.